Sekitarumur 12 tahun ayah mengajakku ke pasar malam yang baru di buka di alun alun di kotaku bersama Riri yang kala itu masih 8 tahun.
Pertama kalinya menikmati keramaian dan nyala lampu yang warna warni, aku meminta ayah untuk mencoba semua atraksi yang ada. Kincir angin, komidi putar, rumah kaca, tidak ada satupun yang kulewati.
Sebelum pulang, aku melihat masih ada satu tenda yang belum kukunjungi, terpasang di sudut pasar malam. Tenda bertuliskan Rumah Hantu itu menarik perhatianku. Aku memohon dan merengek pada ayah agar memberiku ijin untuk masuk ke dalamnya. Tapi Riri yang sudah lelah mulai rewel dan ingin segera pulang.
Sadar bahwa aku tidak mungkin bisa kembali lagi kesini, aku memaksa agar diijinkan masuk sendirian ke dalam Rumah Hantu. Ayah akhirnya mengijinkanku. Tapi karena was was, beliau kemudian meminta bantuan salah satu pria yang bertugas di dalam rumah hantu untuk mengawasiku dengan imbalan uang lebih. Tanpa sadar bahwa wajah pria kurus berambut botak itu akan terpatri dalam ingatanku sebagai pria yang pertama kali melecehkanku.
Sepanjang perjalanan di dalam Rumah Hantu yang remang remang itu, tangan pria yang seharusnya menggandengku dan menjagaku, malah menggerayangi d**a ku dan meremas remasnya.Menggiringku ke sudut tenda yang sepi, memojokkanku, dan mencegatku untuk lari.
Entah bagaimana caraku akhirnya berhasil keluar dari Rumah Hantu itu dalam keadaan utuh. Tapi aku yang saat itu masih terlalu kecil, tidak paham bahwa apa yang barusan ku alami adalah pelecehan seksual. Yang kuingat hanyalah perasaan tidak suka, jijik, kotor, dan betapa malunya aku untuk menceritakannya pada siapapun. Menjadikan kejadian itu sebagai sesuatu yang kusimpan sendiri dalam dalam di ingatanku.
***
Aku tersentak kaget terbangun dari tidurku dan langsung terduduk. Mataku berkedip sejenak kebingungan dengan keberadaanku sebelum otakku mulai mengisinya dengan informasi tentang hal yang kulakukan semalam.
Haiss.. Aku ketiduran..
Kulirik jam dinding yang menunjukkan pukul 5:30 pagi. Kuraih sepatu hak tinggiku dari lantai dan berjalan keluar kamar. Suara-suara pukulan menarik perhatianku. Kulangkahkan kakiku mengikuti asal suara menuju ke bagian belakang rumah.
Aku menghentikan langkahku di dapur rumah yang berdinding kaca itu ketika kulihat sosok Ian. Pria itu sedang melayangkan pukulan-pukulannya ke sebuah sansak yang tergantung di teras dengan tangan terbungkus kain perban berwarna hitam. Hanya memakai celana panjang, aku bisa melihat lengan dan tubuh nya yang kurus tapi berotot.
Bagaimana mungkin pria ini sudah bangun dan oleh raga, padahal kulihat kemarin jam 2 dia masih belum tidur.
Merasakan sepasang mata sedang mengamati, Ian menghentikan pukulannya dan memberikan sebuah tatapan tajam yang membuat jantungku berdetak sedikit berbeda dari biasanya. Pria itu melangkah masuk sambil melepaskan ikatan perban di tangannya. Keringat mengalir di wajah dan tubuhnya yang kekar membuatku ingin melepaskan bajuku dan dengan rela kugunakan untuk mengelapnya.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil melemparkan gulungan perban ke sebuah keranjang cucian.
“Uhmmm….Apa yang terjadi?..Dimana kah aku?” tanyaku pura pura bingung.
“Apakah kau ingat kejadian semalam?”
Aku mengerutkan kening berusaha terlihat seperti berpikir keras, “Aku ingat seseorang memasukkan obat obius keminumanku, dan menabrakmu. Tapi aku lalu tidak ingat apa apa lagi setelah itu. Apakah kamu telah..meniduriku?”
“Apa?! Kau langsung pingsan setelah menabrakku. Aku hanya membawamu ke rumahku agar tidak di manfaatkan pria yang meracunimu. Kita tidak melakukan apa apa.”
“Oh..Terima kasih kalau begitu.”
Ian membuka kulkas dan menarik keluar sebotol air minum sebelum menyerahkannya padaku yang kebetulan kehausan sehingga langsung kutenggak habis. Pria itu hanya menatap sambil mengeluarkan sebotol air minum lagi untuknya.
“Rumah ini besar sekali. Kau pasti orang kaya, yah??”
Ian tertawa kecil mendengar ucapanku, “Mengapa kau mengira aku pemilik rumah ini? Bisa saja kan aku hanya security di sini.”
“Akan aneh bila security di rumah ini berani membawa pulang seorang gadis asing yang tidak sadarkan diri dari club malam, lalu menidurkannya di kamar di tengah rumah majikannya.” Jawabku merasa menang.
Ian tertawa lebih keras mendengar jawabanku. Mungkin sedikit terhibur dengan percakapan ini.
“Aku Ian.” Ucapnya setelah tawanya mereda.
“Elena.” Jawabku memberikan nama tercantik yang muncul di benakku. Nama ibu kandungku. Entah kenapa muncul keinginan untuk tampil sempurna di hadapan pria ini.
“Baguslah kalau kamu baik baik saja, Elena. Dan jika kau menyebutku orang kaya karena memiliki rumah yang lebih luas dari kebanyakan, bukan berarti semua ini kuraih dengan mudah. Semuanya butuh kerja keras dan usaha.”
“....dan keberuntungan terlahir pada keluarga kaya.” gumamku sepelan mungkin.
Bukankah salah satu artikel menyebutkan Ian dilahirkan dari keluarga yang berpengaruh, pemilik pabrik tekstil. Lulusan universitas terkemuka di luar negeri pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Dukungan dan biaya dari orang tua, pastilah membantu menunjang keberhasilannya saat ini.
Makanya orang kaya makin menjadi kaya. Sementara yang miskin ya..nasib lah
Wajah Ian memandangiku seolah mencoba membaca pikiranku membuatku canggung karena diamati.
“Uhmm sorry, terima kasih sekali lagi sudah menolongku. Kurasa sebaiknya aku segera pulang. Teman ku pasti sudah panik mencariku.” ucapku berusaha sopan, tidak ingin menyinggung perasaan pria ini.
“Juru masakku akan muncul sebentar lagi, tinggallah sebentar untuk sarapan.”
“J..jangan..Aku tidak ingin mengganggu lebih lama lagi.” tolakku walau sebenarnya tawaran inilah yang kutunggu tunggu.
“Jangan khawatir tentang itu. Aku tidak merasa terganggu. Jadi, ceritakan padaku tentangmu. Apa perkerjaanmu?”
Aku menggali otakku memikirkan jenis pekerjaan apa yang paling bersahaja di dunia ini karena tentu saja aku tidak bisa mengatakan kalau aku adalah wanita panggilan. Dia pasti langsung menendangku keluar rumah bila tahu.
“Aku hanyalah seorang guru.” jawabku akhirnya.
Ian menganggukkan kepalanya. Matanya terlihat makin penasaran denganku. “Dimana kau mengajar?”
Ummm…. “Sekolah Dasar Lokal dekat tempat tinggalku. Kau tidak akan tahu namanya.”
“Selamat pagi.” sapa seorang wanita menyelamatkanku dari pertanyaannya lebih lanjut.
Kaget akan keberadaan ku, wanita setengah baya itu memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki sementara tangannya memegang baju kaos yang mungkin hendak diberikannya kepada Ian.
Masih memakai baju clubbing yang serba mini semalam, aku pasti terlihat bagaikan seorang wanita mura*han. Bukannya aku menyangkal kalau aku wanita mu*rahan, tapi saat ini peran yang kujalani adalah seorang guru SD yang mempunyai harga diri.
“Selamat pagi, Martha. Ini Elena, bisakah kau membuatkan sarapan untuk kita berdua pagi ini?” tanya Ian meraih kaos yang di pegang Martha.
“Hai Martha.” Sapaku melambaikan tanganku.
Wanita bernama Martha itu hanya mengangguk kearahku sekilas sebelum menjawab, “Baiklah.”
Martha mengalihkan pandangannya dariku karena kini dirinya sibuk membuka tutup kulkas mengeluarkan bahan bahan yang akan di masaknya.
“Elena, bagaimana kalau kita ke ruang tengah sementara menunggu Martha memasak. Kau tidak ingin berada di dekatnya saat dia sedang sibuk atau wajan bisa melayang ke arahmu hanya karena kau menghalangi jalannya.” Ajak Ian sambil mengangkat tangannya menunjuk ke sofa.
Martha tertawa terbahak bahak mendengar ucapan majikannya.
Aku mengikuti Ian yang berjalan didepanku. Pria itu mulai memakai kaos yang dibawakan Martha, menutup pertunjukan otot perutnya yang ku nikmati dari tadi.
“Jadi, Ian..Apa perkerjaanmu hingga mampu mempunyai rumah sebesar ini?” tanyaku begitu kita berdua duduk di ruang tengah.
Sebuah majalah dengan wajah pria itu di sampulnya tergeletak diatas meja.
Aku memungutnya dan setengah menjerit berpura pura kaget aku berucap, “Tunggu dulu, kau adalah Ian Roshan?! Pemilik Neocyber?!?”
Ian mendengus tampak tidak senang aku sudah mengenalinya. Aku membalik balik halaman majalah menuju sebuah artikel yang menceritakan tentang dirinya.
“Ian Roshan masuk menjadi salah satu dari top Ten orang terkaya di negara ini dengan estimasi kekayaan mencapai $33 Billion setelah melonjaknya saham Neocyber di Stock market.” Bacaku sambil melirik wajah kusam Ian.
“Ini berita yang baguskan, kenapa kau tampak tidak senang?” Kataku ketika pria itu masih saja terdiam.
“Aku hanya tidak suka ketika orang mulai mengenaliku. Mereka bertingkah berbeda begitu tahu siapa aku.”
“Hm..kalau begitu sebaiknya kau tidak menyimpan majalah yang membahas tentang kesuksesanmu di atas meja. Kau tahukan kebanyakan orang sekarang sudah bisa membaca?” jawabku sambil meletakkan majalah kembali ke atas meja.
Bibir Ian tersungging mendengar ucapanku yang sok pintar dan sikap tubuhnya agak sedikit berubah kembali menjadi bersahabat.
Bobby selalu mengeluh ketika aku mulai bersikap sarkastik padanya, tapi pria ini tampaknya menyukai keunikan kata kata yang keluar dari bibirku.
Kutatap wajahnya sekilas dan bisa kulihat bagaimana tampannya sosok yang duduk di dekatku itu. Rambutnya yang hitam tersisir kebelakang masih tampak basah oleh keringat dari olahraga yang habis di lakukannya.
“Okay .. bagaimana kalau kita membahas hal lain. Jam berapa kau bangun? Bagaimana mungkin ada manusia yang bisa berfungsi, apalagi olahraga berat di hari minggu pagi sepertimu?” tanyaku berharap memecah kecanggungan.
Usahaku berhasil karena Ian kemudian tergelak sambil menjawab, “Aku menderita insomnia, jadi kadang susah tidur. Olahraga berat membuat badanku lelah dan berharap aku bisa istirahat sesudahnya.”
“Jadi kau belum tidur semalaman?” tanyaku.
Pria itu menggeleng. “Lagipula aku suka bekerja di malam hari saat suasana lebih tenang. Otakku lebih bisa jalan saat tidak ada gangguan.”
“Hm.. ya tentu saja aku paham. Kadang aku juga suka begadang di kasur hanya untuk melamun memikirkan alur cerita yang kutulis.” Sebuah kebenaran terselip dari bibirku membuatku tersentak. Bercakap cakap dengan pria ini membawa keluar sedikit jati diriku.
“Kau penulis?”
“Aa..a..hanya sebagai hoby. Tidak menghasilkan uang atau apapun. Cuman sebagai pengalihan perhatian sejenak.” Jawabku.
“Ada yang pernah k****a?”
Aku tertawa, “Aku yakin tidak. Aku memasukkan nya ke aplikasi baca online hanya sekedar iseng dan tidak berharap banyak. Hanya ingin membagi sedikit khayalan yang sering muncul di kepalaku kepada siapapun yang cukup nganggur untuk membacanya.”
“Aku paham. Kadang akupun ingin bisa keluar dari kepalaku sejenak. Meninggalkan masalah-masalah yang sudah mengikutiku sepanjang hari. Sebuah pelarian.”
Kutatap Ian yang balik menatapku dengan mata gelapnya. Aku mengangguk. Kesepakatan tidak terucap yang membuat kami mulai sedikit paham satu sama lain karena percakapan berikutnya mengalir begitu saja tanpa paksaan.
Ian banyak menceritakan tentang keluarganya. Bagaimana orangtuanya adalah keluarga yang masih sangat menjunjung tradisi. Sehingga ketika adik perempuannya hendak menikah sebelum dirinya, semua orang mulai panik dan jadi sering menjodohkannya dengan anak anak perempuan kenalan keluarganya.
Aku tergelak mendengarnya, “Tunggu dulu, kamu suka wanita kan?”
Ian melemparkan bantal kecil sandaran sofa ke arahku sambil tertawa, “Tentu saja. Bukan itu masalahnya. Wanita yang kutemui selama ini sangat membosankan dan kurasa kebanyakan hanya menyukaiku karena kekayaanku.”
“Ah.. kau melupakan satu hal lagi, tidak sadarkah kalau dirimu bisa melamar menjadi model bila kau mulai kehilangan kepintaranmu.” Jawabku diikuti gelak tawa kami berdua.
Martha muncul dengan alis berkerut mendengar suara tawa yang menggema di dalam rumah.
“Sarapan sudah siap.”ucapnya singkat.
“Akhirnya, ayo kita makan. Terima kasih Martha.” ucap Ian sambil berjalan ke arah ruang makan.
Aku menatap aneka makanan diatas meja panjang ruang makan dengan mata terbelalak. Terbiasa sarapan mi instan, jejeran makanan yang di sajikan Martha terlihat seperti sarapan dari hotel bintang 5. Sereal, omlet, sosis, salad, bubur ayam, nasi goreng dan aneka kue tersaji berderet diatas meja.
“Semua makanan ini untuk kita berdua? Apa yang terjadi jika ada 5 tamu yang menginap di rumahmu, Ian? Martha perlu memasak semalaman hanya untuk menjamu tamumu.”
Aku tersenyum sembari melirik Martha yang menyipitkan matanya. Jelas wanita itu tidak menyukai kehadiranku, yang membuatku makin ingin menggodanya.
“Kau harus mencoba masakan Martha, dijamin ketagihan. Wanita ini sudah bekerja pada keluargaku sejak aku masih kecil. Dan aku selalu bersyukur dia mau ikut aku ke kota ini dan mengurus keperluanku.” sambung Ian sambil tertawa.
Tampak jelas bagi Ian, Martha bukan dianggap hanyalah seorang juru masak, tapi lebih ke keluarga.
“Terima kasih Martha, aku tidak sabar mencoba masakan ini. Jauh sekali dari mi instan yang biasa ku makan untuk sarapan pastinya.” Ucapku yang hanya dijawab oleh anggukan sopan dari wanita itu.
“Sepertinya Martha tidak terlalu suka dengan keberadaanku.” Bisikku ke arah Ian ketika wanita itu di dapur.
“Jangan khawatir, kurasa dia hanya tidak biasa aku menerima tamu.”
“Ohh ya..? Dengan kekayaan dan wajah penuh misterimu, masa sih kau tidak pernah membawa pulang kencanmu?” tanyaku sambil menyuapkan sepotong omlet ke mulutku. Ucapan Ian memang tidak keliru, omlet yang kumakan ini bisa dibilang omlet terenak yang pernah kucicipi. Lembut, dan creamy di dalam. Penuh keju dan isian lainnya yang tidak kukenali. Jamur? Ham?
Aku sedang mengamati omlet dipiringku ketika Ian berucap, “Enak kan?”
“Oh my god!” seruku dengan mulut penuh makanan. “Bisakah aku memiliki Martha?” tanyaku yang di jawab oleh pelototan mata Martha yang masuk lagi ke ruang makan membawakan minuman.
“Sorry, tapi ini benar benar omlet terlezat yang pernah kumakan.” Pujiku ke arah wanita itu.
“Oh..,” sahutnya kaget akan pujianku. “Terima kasih banyak, Nona.” lanjut Martha tersenyum tipis sambil meletakkan segelas jus di hadapanku.
“Panggil saja aku Elena.” Ucapku yang dijawab oleh anggukan kepala wanita itu.
Aku melirik kembali kearah Ian, sebelum mengulang pertanyaanku. “Kau belum menjawabku. Seberapa banyak wanita yang sudah kau kenalkan pada Martha.”
“Kenapa kau ingin tahu?” wajahnya tampak sedikit tersinggung mendengar pertanyaanku yang mengusik.
“Um.. aku hanya tidak ingin menghabiskan rayuanku pada pria playboy atau yang sudah memiliki kekasih.” Jawabanku berhasil membuat Ian tersenyum.
Pria itu kembali menyuapkan makanannya sambil berucap, “Kau benar benar berbeda dengan orang orang yang pernah kutemui.”
“Hmm masih belum mau menjawab rupanya. Ok, begini saja. Bagaimana kalau sabtu malam minggu depan gantian aku yang mentraktirmu. Sebagai ucapan terima kasih sudah menolongku kemarin, plus memberiku sarapan yang enak ini. Tidak ada pria yang memiliki kekasih yang bisa diajak pergi malam minggu. Jika kau bersedia maka, membuktikan kalau kau paling tidak masih single?”
Ian terdiam sejenak. Terlihat memikirkan dan tertarik dengan tawaranku.
“Aku yang memilih tempatnya ya, karena gajiku sebagai guru belum tentu mampu mentraktirmu untuk makan di tempat yang bisa kau kunjungi. Ada sebuah restauran masakan rumahan yang enak di dekat tempat aku tinggal.” Imbuhku.
“Baiklah.” Jawabnya akhirnya.
Yess.. jeritku dalam hati berusaha tidak menampakkan senyuman di wajahku. Aku hanya mengangguk sambil berkata, “Ok..baguslah. it’s a date.”
Aku berpamitan pulang tak lama setelah selesai sarapan. Ian memasukkan nomor handphone ku ke handphonenya dan menawarkan untuk mengantarku pulang yang sengaja aku tolak agar terlihat sebagai wanita mandiri. Aku berjalan keluar dari rumah megah milik pria itu dengan langkah ringan, yakin telah berhasil menarik perhatian Ian untuk mengenalku lebih jauh.
***
Jangan lupa follow author dan tekan hati ungu di cerita ini.