5. Pada Suatu Malam

2217 Words
Ibu tiriku mendesak ayahku untuk memasukkan aku ke SMP berasrama diluar kota. Dengan dalih akan bagus untukku bersekolah di sekolah yang penuh disiplin mengingat kenakalanku yang semakin menjadi akhir akhir ini. Mengungkit ungkit ulahku yang menjual bros kesayangannya demi membeli buku cerita. Kenakalan yang dibalas dengan hukuman oleh ibuku dengan cara menjual semua buku buku cerita dan komik milikku. Enggan beradu argumen dan mungkin lebih aman bagiku untuk berada jauh dari jangkauan Ibu, Ayah menyetujui usul wanita itu. Sebagai pemilik satu satunya swalayan di kota kecil tempat tinggalku, usaha Ayah waktu itu sedang berada di puncak kejayaannya. Menjadikan biaya sekolah yang tidak murah bukanlah halangan. Berurai air mata, aku memeluk Riri yang saat itu berumur 8 tahun sambil mengucapkan perpisahan dan berjanji akan pulang setiap minggu dan liburan. Janji yang sering tidak kutepati karena banyaknya alasan yang di luncurkan ibuku untuk mencegahku pulang. Mulai dari mobil mogok, tidak ada supir, ada tamu, keluarga datang berkunjung,hingga sakitnya ayah dipakai sebagai penyebab tidak adanya yang menjemputku pulang. ***  Kuketikkan pesan singkat ke Ken Norman menyebutkan kegagalanku untuk mengupload virus dari USB yang diberikannya pada perjumpaan pertamaku dengan Ian. Tapi jangan khawatir, Daddy. Akan kucoba lagi Sabtu nanti saat kencan kita, ketikku. Ken membalas, Kau membuatku cemburu, princess. Bagaimana kalau Jumat kita kencan dulu sehingga kau tidak melupakan Daddy saat kencan dengan Ian? Ingin aku menolak, tapi mengingat kondisi keuanganku yang mulai menipis aku menjawab, Okay, buatlah janji dengan Bobby. Kiss Hug, Krystal. Aku kembali menatap layar laptopku membenamkan pikiranku kedalam tokoh yang ada di dalam dongeng yang sedang kubuat berusaha melupakan keberadaanku di dunia nyata. Diingatkan oleh perutku yang mulai keroncongan, aku melirik jam. Kaget ketika aku baru sadar sudah duduk di depan laptop seharian. Aku membuka kulkas mencari makanan yang bisa kupakai untuk mengganjal perut, dan menarik nafas ketika hanya menemukan sebuah apel di dalamnya, yang sudah mulai keriput. Kuraih kunci, tas dan jaket dari gantungan di dekat pintu depan sebelum berjalan keluar apartemen menuju market di bawah. Handphoneku berdering ketika aku sedang membayar barang yang kubeli. Bobby memberitahuku tentang bookingan Ken yang langsung kusanggupi. “Bagaimana dengan Ian kemarin?” tanyanya kemudian. Aku sedang berjalan kembali ke apartemen menjinjing kresek di satu tangan. “Aku berhasil mengajaknya makan malam sabtu nanti.” Sambil tertawa Bobby berkata, “Benar benar perayu ulung kamu, Ky. Bilioner pun bertekuk lutut padamu.” “Cuman makan malam biasa sih.. Aku mungkin akan mengajaknya ke Restoran Jade. Aku berjanji mentraktirnya sebagai ucapan terimakasih.” “Apakah rumahnya sebesar yang diceritakan di media media? Aku dengar dia mempunyai garasi yang luas untuk koleksi motornya.” “Entahlah, aku belum sempat berkeliling dan meninjau kompleks rumahnya. Akan kubari jika ada.” tawaku. Aku berpamitan hendak makan setibanya di apartemen dan menutup telepon. Kukeluarkan sebungkus roti coklat yang barusan kubeli dan sekantung kripik. Malas memasak dan mencuci piring, kulahap makanan seadanya itu sambil membayangan omlet lezat buatan Martha yang kumakan minggu pagi kmaren. Untung saja dengan metabolismeku yang tergolong cepat, membuatku tidak gemuk walau menyantap makanan yang menjijikkan hampir setiap harinya. Hari berjalan bagaikan siput minggu itu. Ketika akhirnya jumat datang, Bobby menjemputku seperti biasa pukul 5:30. Aku mengikat rambutku menjadi ponytail kebelakang hari itu untuk kencanku dengan Ken dan sesuai keinginan pria itu, hanya memakai jaket panjang untuk menutupi tubuh telanjangku. Melewati rutinitas yang sama, kuketik nomor kamar yang kutuju sebelum kukirimkan kepada Bobby yang menanti di lobby hotel. Aku masuk ke dalam kamar yang terletak di lantai 7 itu diikuti tatapan mata Ken. Setelah mengunci pintu, pria itu melucuti pakaiannya dan mendudukkan tubuh gemuknya di atas ranjang. “Kau sudah membuatku cemburu dengan kencanmu besok, princess. Hukuman harus di berikan atas tindakanmu.” Seringai pria itu kearahku yang masih tidak paham apa yang di maunya. “Kemari dan tengkurapkan badanmu diatas pangkuanku. Kurasa tamparan cocok untuk menghukum mu.” Mengerti apa yang dimauinya, aku memikirkan tindakanku selanjutnya untuk menolak. “Daddy..” rengekku, “Kau tahu kalau bosku tidak akan tinggal diam jika kau menyakitiku kan? Bisa bisa dia tidak mengijinkanku untuk bertemu denganmu.” “Tenang saja, akan kubayar dua kali lipat biasanya.” Dua kali lipat bayaran akan cukup untukku tidak menerima langganan selama 2 minggu, pikirku. “Tiga kali lipat, dan aku akan merahasiakannya dari bosku.” Tawarku. “Ah..baiklah, sini cepatlah!” Aku meletakkan tasku ke atas meja dan berjalan kearah Ken. Kutengkurapkan badanku ke pangkuannya. Tubuhnya yang berkeringat dan berbau asam membuatku sedikit menahan nafas. Pria itu menyibakkan jaket yang kupakai keatas memperlihatkan bagian belakang tubuhku yang mulus. Tangannya mengelus kulitku sejenak sebelum mulai melancarkan tamparan demi tamparan. Aku menjerit pelan kesakitan yang membuat pria itu semakin beringas karena pukulan pukulan berikutnya semakin menyakitiku. Kugigit bibirku untuk mencegahku berteriak. Setelah tidak mendapat respons dariku selama beberapa pukulan, Ken akhirnya menghentikan tamparannya. Jemarinya mengelus celah pahaku sejenak sebelum tiba tiba menyelipkan jari tengahnya dalam-dalam membuatku tersentak. “Oh..Princess..basah sekali dirimu..Bisa kubayangkan bagaimana enaknya memasukimu.” Seringainya. Ken kemudian menggosok gosokan jari gendutnya keluar masuk tubuhku sambil mengerang kegirangan. Kupejamkan mataku rapat rapat menanti 2 jam siksaan itu berakhir. Kuguyur badanku di kamar mandi dengan air dingin. Pantatku masih terasa pedih akibat tamparan yang kuterima dari Ken kemarin. Ian meneleponku tadi pagi untuk memastikan jadwal kita masih berjalan sesuai rencana. Tidak ingin Ian menjemput ke apartemen kumuhku, kami sepakat untuk bertemu di restauran jam 7 malam. Usai mandi kulirik sekilas pantatku yang terlihat masih merah di depan cermin. Aku menghela nafas berusaha mengeluarkan ingatan pukulan tangan Ken dari benakku. Kupilih gaun bercorak bunga bunga berenda dari gantungan baju yang kupadankan dengan sepatu heel rendah berwarna krem. Sempurna, seperti seorang gadis normal yang keluar untuk kencan pertama, pikirku sambil mengagumi bayangan ku sendiri di depan cermin. Kupoleskan lipbalm dan blush on ke pipiku sebelum berangkat. Aku turun dari taxi di seberang restauran dan langsung yakin bahwa Ian sudah ada di dalamnya dari sosok salah satu bodyguardnya yang berdiri di luar restauran. Kulirik jam di handphone ku, 7:06. Wow pria itu benar benar ontime. Aku berlari menyeberangi jalan dan masuk ke dalam restaurann sembari menyapa bodyguard Ian yang menjawabku dengan anggukan. Aku melihat ke sekeliling restauran yang terang benderang mencari sosok Ian. Penuh dengan pengunjung  yang membawa anak kecil membuat suasana di dalam restauran terdengar makin bising oleh jeritan dan teriakan anak anak. Tidak lama untukku menemukan wajah tampannya dalam kerumunan. Memakai kemeja yang tergulung sampai ke siku dan celana jeans, Ian terlihat menonjol diantara tamu lain. Aku berjalan menghampiri meja Ian yang terletak di dekat jendela. Pria itu menyadari ke hadiranku dan langsung mengembangkan senyumannya sembari berdiri. Tangannya menarik kursi di hadapannya mempersilahkanku untuk duduk. “Maaf aku agak terlambat. Susah sekali mendapatkan taxi di hari Sabtu. Aku benar benar harus berdiri ditengah jalan agar mereka berhenti untukku.” “Benarkah? Menolak berhenti untuk wanita secantik dirimu, supir taxi itu sudah pasti buta!” jawab Ian pura pura marah membuatku tergelak. “Aku tahu, benar benar aneh kan.” Kami bertukar pandang sekilas dengan senyum lebar. Tatapan matanya yang tajam membuatku tanpa sengaja menunduk berusaha mengalihkan pandangan. “Um..sudahkah kau memesan?” tanyaku. Ian menggeleng, “Aku sengaja menunggu yang berjanji untuk mentraktir datang dan memesan untukku.” “Pria yang penuh sopan santun.. Kukira spesies yang sudah punah.” jawabku tersenyum kecil. Aku memanggil pelayan dan memesan beberapa masakan. Terkenal dengan rasanya yang enak dan harganya yang murah, Bobby sering sekali mengajakku kemari. Kadang hanya berdua tapi kadang juga bersama Raina atau Mimi.  Agak was was Raina dan Mimi muncul membongkar penyamaranku, aku sudah menginstruksikan Bobby untuk melarang mereka mendekati lokasi ini malam ini. “Jadi bagaimana kabarmu dari terakhir kita bertemu minggu lalu?” tanyaku menunggu makanan kami datang. “Membosankan. Pekerjaan menyita banyak waktuku.” “Apakah kau sedang mengerjakan sesuatu yang baru? Seperti mesin waktu mungkin?” Ian tertawa, “Mungkin suatu saat nanti, hanya saja bukan aku yang akan menemukannya. Teknologi yang kita miliki masih sangat jauh untuk mengetes teori perjalanan waktu.” “Ohh sayang sekali, padahal aku ingin kembali ke satu bulan yang lalu.” “Kenapa? Ada apa satu bulan yang lalu?” Ian mengerutkan keningnya penasaran. “Ada diskon besar besaran di toko buku favoritku, dan aku terlambat mengetahuinya.” Jawabku jujur. Pria itu tertawa, “Masuk akal bila seorang guru menyukai buku. Bagaimana kalau habis ini kita datangi toko itu dan kau bebas memilih buku apapun yang ingin kau beli. Kutraktir.” Giliran aku yang mengerutkan kening. Pria ini berniat membawaku ke toko buku di kencan pertama? Dari pengalaman yang pernah kualami, biasanya mereka lebih memilih untuk membawaku ke bar atau club malam. Memastikan diriku penuh alkohol dan dalam keadaan mabuk, sebelum membawaku pulang. “Ok.” Jawabku akhirnya. Makanan datang dan kamipun melanjutkan percakapan kami tentang hal-hal ringan yang tidak penting. “Omong omong, apakah kita tidak perlu mengajak bodyguardmu untuk makan malam?” tanyaku melirik ke pria berbadan kekar yang masih berdiri didepan dengan tangan terlipat di d**a. “Kau tidak ingin dia pingsan sementara menjagamu kan? Akan cukup susah untuk menggendongnya mengingat badannya yang jauh lebih besar darimu.” Ian tergelak, “Kurasa Yanni sudah makan sebelum kemari. Aku pernah menawarinya untuk ikut makan bersamaku. Tapi setelah ditolaknya 3x aku menyerah. Belum pernah ada yang menolak tawaran makan dariku kecuali dirinya.” Aku tertawa sebelum melanjutkan. “Tunggu dulu, pria kekar itu bernama Yani?” tanyaku menahan tawa. Ian mengangguk, “Bodyguardku yang satu lagi bernama Kelly.” Tawaku meledak mendengarnya. Jenis tawa yang mengeluarkan suara mengorok dan mendengking disaat yang bersamaan.Beberapa pengunjung restauran melemparkan lirikan ke arahku dan Ian, entah karena merasa terganggu oleh suara tawa kami yang cukup keras atau mengenali wajah Ian. Aku tidak peduli. Tidak sadar bahwa restauran sudah tutup, pelayan mengangkat piring terakhir di atas meja kami sebelum menyodorkan tagihan ke arah Ian yang langsung kusambar dan kubawa ke kasir. Mobil hitam Ian sudah menunggu di depan restaurant ketika kami keluar. “Terimakasih, Yanni.” ucapku sambil tersenyum ke arah sang bodyguard yang membukakan pintu mobil. Ian tertawa kecil mengikutiku masuk ke dalam mobil. Dirinya memerintahkan Yanni untuk mengantarkan kami ke toko buku yang kumaksud  dan betapa kecewanya kami ketika mendapati toko itu sudah tutup. Ian mempunyai ide lain dan meminta bodyguardnya untuk mengantarkan mereka ke kantor. “Kenapa?” tanyaku. “Kau akan lihat nanti.” Jawabnya singkat diikuti sebuah senyuman misterius di wajah tampannya. Aku hanya pernah melihat gedung kantor Neocyber dari gambar di majalah dan internet. Terletak di bukit pinggiran kota, gedung Neocyber dibangun dikelilingi taman, air mancur, playground bahkan kolam berenang di dalamnya. Mobil berhenti di gerbang depan yang di jaga oleh security. Yanni mengeluarkan kartu pengenalnya yang langsung di persilahkan masuk. Mobil melaju menuju sebuah bangunan terbesar di kompleks itu dan berhenti di depannya. Ian turun dari mobil dan mengulurkan tangannya kearahku hendak membantuku keluar. Kuraih pegangan tangannya membuat jantungku berdetak sedikit lebih keras. Oh tidak..Aku tidak boleh membiarkan diriku menyukainya. Ian hanyalah pekerjaan, seperti pria lain. Kutarik tanganku melepaskan genggamannya ketika kami berdua sudah turun. Sadar akan penolakanku untuk menggandengnya membuat pria itu mengerutkan keningnya sambil menatapku. Terlihat sekilas kepedihan dimatanya membuatku merasa bersalah. “Kau tidak akan membunuhku disini kan?” gurauku memecah kecanggungan. Ian hanya tersenyum kecil dan berjalan masuk ke dalam gedung. “Ikuti saja aku.” Aku berjalan mengikuti Ian melewati loby, ruang meeting, dan ruang kerja yang sepi dan gelap. Hanya sedikit lampu yang masih menyala menerangi gedung itu. Mataku terbelalak ketika Ian menghentikan langkahnya dan mempersilahkanku masuk ke bagian yang berada di tengah gedung. Ruangan dengan atap setinggi 3 lantai itu penuh dengan buku yang disusun tinggi. “Selamat datang ke perpustakaan Neocyber.” Ucap Ian sambil menyalakan lampu . Pria itu berdiri menatap wajahku yang tercengang. Sekilas kuperhatikan tangannya yang dimasukkannya ke dalam saku celananya, mungkin tersinggung karena penolakanku.  “Woa..” gumamku melayangkan pandanganku ke sekeliling ruangan. Ruangan yang didominasi warna kayu itu nampak nyaman. Deretan komputer di tengah ruangan diselingi sofa sofa yang bisa di pakai untuk bersantai sambil membaca, membuatku langsung merasa betah. “Kebanyakan buku kami sudah di masukkan secara digital sehingga bisa di akses secara online, tapi perpustakaan Neocyber masih mempunyai koleksi buku cetak terlengkap paling tidak di kota ini. Mungkin kau bisa menemukan buku yang kau cari.” Entah karena terpukau oleh deretan buku yang memang adalah salah satu kelemahanku, atau terenyuh oleh niat baik Ian, perlahan aku berjalan mendekati pria itu. Mengabaikan otakku yang menjerit memintaku untuk berhenti melangkah. “Terima kasih. Sudah membawaku ke mesin waktu ini,” bisikku ketika wajahku sudah berjarak beberapa jengkal dari da*danya.  Aku menengadah menatap Ian yang masih berdiri dengan tangan di sakunya. Kuraih kerah bajunya dan kutarik turun tubuhnya kearahku sementara kakiku berjinjit. Bisa kurasakan kehangatan bibirnya yang lembut. Perlahan tubuhnya yang kaku, mulai melemas. Tangannya yang semula disimpannya di saku kini mengelus wajahku sementara bibirnya membalas ciumanku. “Kau benar benar satu diantara ribuan wanita diluar sana yang mampu membuatku penasaran, Elena.” Bisiknya di antara ciuman. Suaranya ketika memanggil nama samaranku kembali membuatku tersadar akan tujuanku. Aku menghentikan ciumanku dan mendorong tubuhnya menjauh. Aku memutar otak mencari cara untuk menolaknya tanpa menyinggung perasaannya. “Ian..Aku tidak ingin terburu buru dalam menjalin hubungan. Kuharap kau mengerti. Karena aku berharap, kepada suamiku lah kelak kuberikan kesucianku.” Da*daku terbakar mendengar kebohongan yang kuutarakan padanya. Tapi Ian mengangguk, “Aku mengerti. Kita jalani saja seperti air yang mengalir. Nah sekarang..buku apa yang kau cari?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD