6. Di Klab Malam

1382 Words
Terbiasa merantau, kuhabiskan masa SMA ku tinggal jauh dari keluarga. Masuknya supermarket supermarket franchise ke kota kota kecil membuat swalayan milik keluargaku makin sepi. Ibu tiriku meneleponku suatu hari mengabarkan bahwa mereka tidak akan lagi mengirimkan uang untuk biaya sekolahku. Riri masih membutuhkan banyak biaya untuk pendidikannya yang baru masuk SMP, ditambah kondisi ayah yang sakit sakitan makin menjadikan kondisi keuangan keluargaku morat marit. Aku mengalah dan memutuskan untuk berhenti sekolah. Tahun tahun berikutnya kulalui dengan menjalani berbagai pekerjaan. Mulai dari pelayan restoran, penjaga stand baju, tukang cuci rambut di salon, hingga SPG. Kusisihkan gajiku tiap bulan dan kukirimkan kepada ibu tiriku untuk membantu biaya kehidupan mereka sehari hari. Masih teringat di benakku cibirannya saat menerima uang transferanku, “Halah..uang segini mau dipakai untuk apaan!? Beli beras 20 kilo juga ngga cukup.Tahu ngga sekarang bapak mu membutuhkan biaya berapa di rumah sakit? Uang sudah habis banyak buat biaya sekolahmu dulu waktu SMP. Sekarang mana balasannya?” Lima belas tahun umurku saat itu. *** Kususun buku-buku yang baru kudapat dari Ian di rak buku kecil di apartemenku, disebelah novel novel klasik favoritku. The Great Gatsby, Little Women, Pride and Prejudice, The Count of Monte Cristo, Oddysey. Kubawa satu buku naik ke atas ranjang untuk k****a sebelum tidur tepat ketika handphone ku bergetar di dalam tas. Kuraih benda itu dari dalam tas dan membaca pesan yang tertulis di dalamnya. Bagaimana, princess? Kupandangi pesan singkat dari Ken sesaat sebelum membalasnya. Sorry Daddy sudah mengecewakanmu. Ian langsung mengantarku pulang, tapi kita akan bertemu lagi minggu depan. Kau boleh menghukumku saat kita berjumpa lagi nanti. Ku silent handphoneku sebelum kulemparkan masuk kembali ke dalam tas. Malam itu akupun  tertidur pulas dengan sebuah buku dalam pelukanku dan seorang pangeran dalam benakku. Hari hari berikutnya berjalan seperti biasanya. Aku tidak terlalu suka nongkrong di tempat tempat yang ramai kecuali ada tujuan. Lebih suka berada di apartemen, aku menghabiskan waktuku di depan laptop. Menuliskan khayalanku, atau membaca buku yang baru kudapatkan. Ditambah dengan bayaran 3x lipat yang sudah kudapatkan dari Ken, aku punya sedikit waktu untuk tidak menerima pelan*ggan. Bobby menelponku saat aku selesai mempostingkan cerita tulisanku di salah satu platform penulis online. “Kyra” teriaknya di dalam telingaku. “Kau masih hidup?” “Hah? Apaan sih?” “Dari kemarin di telepon susah bener.” “Oh..sorry. Kemaren lupa handphonenya di silent seharian.” Jawabku memberi alasan. Padahal aku memang sengaja tidak mengangkat panggilan Bobby karena lagi asik membaca novel. “Memang kenapa?” “Malam ini aku jemput ya. Kita mau nongkrong. Mimi ulang tahun.” Aku berpikir sejenak mengingat hari apa sekarang. Hanya keluar untuk membeli makanan membuat hari berlalu membaur menjadi satu. “Hari apa sih ini?” “Jumat, Kyraaa!” “Oh..” jawabku. Ian berjanji akan menelpon ku untuk kencan berikutnya. Tapi sekarang sudah jumat dan belum ada kabar darinya. “Ok. Mau kemana kita?” “Ada Club baru di tengah kota. The Bunker. Kujemput jam 8 ya.” Ku iyakan ajakan Bobby sebelum menutup telepon. Sebuah notifikasi muncul di layar laptopku menandakan ada yang memberikan “like” ke cerita baruku. Lucu bagaimana, hal sederhana seperti itu bisa membuatku merasa senang. Ku angkat lagi hendphone dari atas meja, mencari nomor telepon milik Riri. Terdengar nada sambung sejenak sebelum sebuah suara lembut memanggil namaku dari ujung sambungan. “Kak Kyky!” panggilnya. “Hai Ri, gimana kabarnya?” “Baik kak. Kakak bagaimana?” “Sehat juga Ri. Bagaimana kuliah?” “Baik kak. Semester baru mulai jadi belum terlalu susah sih.” “Bagus deh. Ibu bagaimana?” Riri terdiam sejenak, “Ibu makin jarang keluar kamar kak, kerjaan nya tidur terus setiap hari. Riri sudah sering mengajaknya sekedar jalan jalan di depan rumah tapi selalu ditolak. Malu alesannya.” Aku termenung. Sejak kematian ayahku yang meninggalkan hutang dimana mana, ibu tiriku memang makin menarik diri. Mungkin karena stress didatangi tukang tagih atau memang karena tidak peduli padaku. “Uang yang kemarin kakak kirim cukup Ri?” tanyaku. “Masih kak, terima kasih.” “Nanti kakak transfer lagi ya. Kalau kamu butuh biaya tambahan buat apapun, kabari kakak ya.” “Baik kak.” “Omong omong, bagaimana kabar Dillan?” tanyaku menanyakan kabar pemuda yang mengejar ngejar adikku dari SD itu. Riri tertawa mendengar pertanyaanku. Dia tahu bahwa aku mendukung Dillan untuk jadian dengan nya sejak lama. Selain sopan, Dillan selalu konsisten akan perjuangannya mendapatkan adikku selama ini. Ciri-ciri pria yang setia lah, ucapku berulang kepada Riri yang masih saja jual mahal. Kami meneruskan pembicaraan kami selama hampir sejam sebelum teriakan Ibuku memanggil nya terdengar membuat kami memutuskan percakapan. Jam 8 malam, sesuai janji, Bobby menjemputku. Mengenakan dress ketat pendek warna biru dan sepatu heel aku duduk di kursi belakang bersama Raina. Hembusan aneka bau parfum langsung menyeruak masuk ke dalam hidungku begitu masuk mobil. “Selamat ulang tahun, Mi!” teriakku ke arah wanita berambut hitam sebahu yang duduk di sebelah Bobby. “Thank you, beb!” sautnya. “Umur berapa sih kamu, Mi?” tanya Raina “Tujuh belas donk..” sahutnya diikuti cekikikan kami ber empat. “Bob, Jumat malem kok pada ngumpul gini? Emang lagi sepi bookingan semua?” tanyaku. Bobby mendengus, “Garing Ky. Selain tawaran untukmu yang kamu tolak, mereka berdua sudah tidak menghasilkan. Sudah saatnya aku mencari gadis baru yang lebih kinclong.” Mimi mencubit lengan Bobby mendengar ucapannya. “Eh..gini gini aku juga pernah menjadi langganan Bupati, tau!” “Bupati apaan. Mentok juga sama Kades.” canda Bobby. Kulirik sekilas handphone yang bergetar di tasku. Cuman sms dari service provider menawarkan tambahan kuota murah. Aku mendengus lumayan keras membuat Bobby melirik dari spion kaca tengah. “Nunggu telepon, Ky?” tanya nya. “Eh..Enggak kok.” Jawabku. “Oiya, denger denger bukannya kamu lagi deket sama seseorang ya? Kemarin Bobby melarang kita datang ke restaurant Jade karena kamu sedang ada kencan.” Tanya Raina yang disusul oleh pertanyaan dari Mimi. “Wahhh..jangan-jangan kamu sudah mau pensiun kerja, Ky?” Aku melayangkan pandangan sewot kearah Bobby yang sudah menyebabkan diriku dicerca oleh berbagai pertanyaan. “Aduhh..gosip ah gosip..Mana ada. Udah ah, tuh udah sampai. Siapa yang bayar nih?” tanyaku mengalihkan perhatian. Usahaku berhasil karena mereka mulai berdebat akan siapa yang hendak membayar ongkos kami malam ini. Suasana di luar club baru itu tampak sangat ramai. Berlokasi di pusat kota dan di tambah grand opening yang baru digelar hari ini menambah membludaknya pengunjung. Untung saja Bobby kenal dengan bouncer/ security yang bekerja malam itu, jadi kami diijinkan masuk tanpa harus mengantri panjang di depan. Berdesak desakan, kami berjalan menuju bar dan memesan minuman. Raina dan Mimi langsung menenggak habis pesanan mereka sebelum berteriak hendak turun ke dance floor meninggalkan aku dan Bobby berdiri di dekat bar. Alunan musik disco mengiringi sorotan lampu yang berkedip kedip membuat badanku ikut mengalun pelan. Ku habiskan minumanku sebelum setengah berteriak ke telinga Bobby mengatakan kalau aku akan mengikuti Raina dan Mimi di dance floor. Bobby mengangguk dan aku pun langsung kembali berdesakan mencari kedua temanku di tengah kerumunan lautan manusia. “Hei Beb!” jerit Mimi melihatku. Raina asik berjoget disebelahnya tepat ketika lagu “Birthday” milik Selena Gomez diputar. Kami bertiga  berteriak kegirangan mendengarnya. Aku menutup mata sambil menggerakkan badanku menikmati alunan lagu ketika kurasakan sepasang tangan mulai menggerayangi tubuhku dari belakang.  Kubuka mataku dan menoleh kebelakang sambil berjalan mundur kearah kedua temanku. Tidak sadar akan penolakanku, pria yang masih terlihat seperti anak kuliahan itu makin meringsak maju dan menggesekkan badannya ke arahku. “Heh..bisa mundur nggak sih!” teriakku. “Ahh…ayolah say.” Jawab anak ingusan itu. “Mundur atau pacarku marah!” Kutunjuk Bobby yang mulai berdiri tegak memandang ke arahku. Melihat bahwa aku tidak sendirian, bocah itu melangkah mundur sambil mengumpat, “Cih..jual mahal!” Aku mengacungkan tanda OK ke arah Bobby dan kembali menikmati alunan lagu ketika sekilas kulihat sosok yang kukenali di sedang duduk di sofa VIP. Ian dan seorang pria yang pernah kulihat bersamanya di club dua minggu yang lalu. Mereka duduk ditemani dua orang wanita berpakaian mewah. Mengenakan pakaian rapi, Ian duduk dengan segelas minuman ditangannya, berbincang dengan salah satu wanita yang duduk di sebelahnya. Cantik dan mengenakan dress bermerk, aku bisa melihat bahwa wanita itu berbeda dengan wanita yang menemaninya dua minggu lalu. Kali ini, Ian tampak lebih memperhatikan teman kencannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD