Aku ingat duduk di kasur putih rumah sakit. Ayah menggenggam kaos yang dipakainya untuk menahan darah mengucur dari punggungku. Tepat dimana mendaratnya pisau yang dilempar ibu.
Sesuatu telah menyebabkan kemarahannya ketika melihatku pulang sore itu. Entah apa aku juga tidak tahu. Mungkin pakaianku yang kotor dan berlumpur. Mungkin aku lupa membereskan mainanku, atau mungkin meninggalkan Riri yang sebenarnya merengek ingin ikut aku bermain.
Aku hanya ingat pisau yang sudah tergenggam di tangannya, dan sakit yang kurasakan di punggungku ketika wanita itu merobek baju dan kulitku bersamaan.
Dokter bertanya, “Apa yang terjadi?” padaku.
“Aku terjatuh.” Jawabku berbohong.
Sesuatu yang sudah kupelajari sejak aku berumur 8 tahun.
***
Sesuatu menekan dadaku ketika melihat wanita itu memegang lengan Ian dan menjorokkan mulutnya ke telinga pria itu membisikkan sesuatu yang membuatnya tersenyum tipis. Seketika keinginanku menari lenyap. Aku berpamitan ke kedua temanku dan berjalan kembali ke bar dimana Bobby menunggu.
“Kenapa? Bocah itu balik lagi?” tanyanya melihat wajahku yang kusut.
Aku menggeleng dan menunjuk ke arah kursi VIP dengan daguku. Bobby menoleh kearah yang kutunjuk.
“Ian Roshan?” Teriaknya di telingaku.
Bobby mensejajarkan wajahnya ke wajahku sebelum berucap, “Ky, bukan maksudku untuk meletuskan balon harapanmu. Tapi Ian hanyalah seharusnya menjadi pekerjaan bagimu. Tidak peduli bahwa kau lebih cantik dari wanita itu, orang seperti Ian tidak akan pernah berakhir dengan orang seperti kita. Kurasa sebaiknya kau menolak permintaan Ken. Tidak berakhir baik untukmu.”
Kulirik lagi wanita yang duduk di sebelah Ian. Walau dari kejauhan, bisa kulihat kepercayaan dirinya terpancar dari bahasa tubuhnya. Siapapun dia, terlihat Ian memperhatikan apapun yang keluar dari mulut wanita yang terpoles lipstik merah itu. Entah kenapa, membuat dadaku panas.
“Kau benar. Ini hanyalah pekerjaan.” Jawabku menyambar gelas yang di pegang Bobby dan menenggaknya habis.
“Hei..pesan sendiri minumanmu.”
Aku meneriakkan pesananku ke arah bartender yang menyipitkan mata berusaha menangkap suaraku.
“Gin! Shot!” teriakku kedua kalinya sebelum pria itu mengangguk. “Tiga!”
“Tuh sudah.” Jeritku ke arah Bobby.
Kubayar minuman yang datang dan langsung kusambar dua gelasku yang kutelan dalam dua tegukan sebelum kembali ke dance floor. Kutemui Raina dan Mimi yang kini mulai menarik perhatian beberapa pria disekelilingnya yang terlihat makin senang melihat kehadiranku. Dengan kepala mulai melayang aku memejamkan mata dan mulai berjoget tidak mempedulikan tangan tangan yang mulai meraba badanku dengan tidak sopan.
Seseorang berteriak di telingaku dari belakang, “Kamu seksi sekali!”
“Terima kasih! Aku sudah tahu!” jawabku tanpa membuka mata atau menghentikan gerakan badanku. Semakin larut, beat musik yang mengalun semakin kencang membuatku semakin larut dalam dentuman bass yang menggetarkan. Suasana di dalam juga semakin ramai dan berdesakan. Ketika pria dibelakangku mulai menabrakku terus terusan aku membuka mata dan tersadar kalau sudah terpisah dari Raina dan Mimi. Aku menoleh ke sekeliling dance floor. Hanya lautan kepala kepala orang tak dikenal sejauh mata memandang.
Aku berjalan hendak kembali ke bar mencari Bobby ketika pria yang dari tadi menabrakku menarik tanganku. “Mau kemana, say?”
Kupelototi pria itu. “Lepaskan tanganku!” perintahku. Bukannya takut, pria itu malah makin menjadi dan menarik tubuhku ke pelukannya. Kudorong badannya sambil berusaha menemukan Bobby yang tidak terlihat di manapun.
Pria itu mulai meraba raba pahaku ketika seseorang menarik kerahnya dari belakang dan membantingnya ke lantai. Kaget, mataku terbelalak melihat tubuh kekar bodyguard Ian, Yanni berdiri menjulang diatas badan pria itu.
Seseorang meraih tanganku dan menarikku menjauh dari keramaian yang makin heboh karena ada pertikaian.
“Apa yang kau lakukan disini?” tanya Ian ketika kami sudah berdiri di area VIP miliknya.
Kulirik wanita cantik teman kencan Ian yang masih duduk dengan 2 orang temannya. Mereka semua tampak memandangiku dengan mata penasaran.
“Memang ada larangan aku disini?” jawabku ketus.
Tampak jelas Ian tidak suka mendengar jawabanku karena dia langsung mengerutkan alisnya yang tebal.
Wanita cantik tadi berjalan mendekati kami dan langsung menggandeng lengan Ian dari belakang sambil bertanya, “Siapa temanmu ini, Ian?”
Aku menoleh menatap wajah Ian yang tampak canggung oleh gandengan dari wanita itu.
“Betul sekali, Ian.. Kenapa kau tidak memperkenalkan TEMANMU ini, Ian?” tanyaku sengaja menekankan kata “teman” dalam pertanyaanku.
“Kau sudah mabuk. Kuantar saja kau pulang. Club ini juga semakin ramai membuat kepalaku pusing.” Ucapnya mengacuhkan perkataan kami berdua.
“Memang siapa yang mau pulang?! Aku sedang merayakan ulang tahun temanku dan kami sedang bersenang senang sebelum kau menyeretku kemari.” lanjutku berhasil membuat pria itu makin murka karena dia langsung menarik lepas lengannya dari gandengan wanita itu dan menyambar lenganku sebelum menyeretku keluar dari Club.
Ian melemparkan kunci sepeda motornya ke Yanni ketika kami hendak masuk ke dalam mobil hitamnya yang sudah menunggu di depan club. Pria itu mendorongku masuk dan memberikan alamat apartemenku kepada Kelly yang memegang kemudi.
“Apa apa an sih?” protesku setelah mobil melaju.
Ian menoleh, tatapannya langsung menuju mataku yang masih menantang. “Kau bilang kau ingin menyimpan dirimu untuk suamimu kelak, tapi dua kali aku bertemu denganmu di dua club malam yang berbeda. Mabuk hingga tidak bisa berdiri tegak.”
Aku terdiam tidak bisa membantah ucapannya yang mengenaiku telak. Ditambah efek alkohol membuat otakku jadi susah untuk memikirkan kebohongan untuk menjawabnya.
“Yah..lalu.. Bagaimana denganmu yang bermesraan dengan wanita lain setelah menciumku minggu lalu? Kau berjanji akan menelepon, tapi mana? Setelah aku tunggu tunggu, tidak ada kabar darimu sama sekali.” Jawabku berusaha membelokkan tuduhannya dengan tuduhan lain.
“Kau..menunggu telepon dariku?”
“Menunggu bukan seperti mengintip handphone setiap jamnya yah..jangan ge er!” sahutku walaupun itulah yang kulakukan sejak dirinya mengantarku pulang minggu lalu.
Dahi Ian yang semula berkerut marah melemas dan bibirnya mulai tersenyum kecil.
“Sudah kubilang jangan ge er. Aku hanya berharap orang yang sudah berjanji padaku untuk menepatinya.” Ucapku.
“Sorry.” Jawabnya berusaha menghapus senyuman di wajahnya. “Kau benar, maafkan aku. Aku sudah berjanji akan menghubungimu. Hanya saja seperti biasa pekerjaan menyita banyak waktu dan otakku membuatku lupa.”
“Huh.. Hanya janjiku sepertinya yang kau lupakan! Buktinya kau sedang bersenang senang dengan wanita itu malam ini.”
“Maksudmu Anabelle?”
“Entahlah! Kita belum sempat kenalan karena kau sudah menyeretku keluar dari Club.”
Ian tertawa melupakan emosinya yang meluap beberapa saat yang lalu.
“Ana hanyalah teman lama. Kami sama sama diundang ke pembukaan The Bunker yang mana adalah milik teman kuliah kami berdua.”
Penjelasan Ian membungkamku. Kehabisan alasan untuk marah, bunyi handphone yang berdering memecahkan kesunyian di dalam mobil. Kulirik handphone sekilas, Bobby.
“Sorry, ini temanku yang pasti mencariku. Sebaiknya ku beri tahu bahwa aku baik baik saja sebelum mereka memanggil polisi ke club temanmu.”
Ian mengangguk. Kuangkat telepon dan kuberitahu Bobby bahwa aku baik baik saja, dan bertemu teman yang mengantarkanku pulang. Bobby langsung paham siapa teman yang kumaksud dan mengakhiri pembicaraan dengan sebuah wejangan.
“Berhati hatilah, Ky. Aku harap kau tahu apa yang kau lakukan.”
Jujur saja aku tidak tahu apa yang aku lakukan. Semakin aku berusaha menolak karisma Ian, semakin terpikat aku padanya. Seperti ngengat yang terbang menuju api.
Ian menurunkanku di depan gedung apartemenku dan menarik lenganku kearah tubuhnya sebelum melandaskan ciuman ke bibirku dibawah pengawasan canggung Kelly yang membukakan pintu mobil untukku. Bisa kurasakan pipi ku yang memerah dan terheran sendiri akan tingkahku yang mirip anak SMA hanya karena sebuah ciuman.
“Jika kau tidak ada acara besok. Bagaimana kalau kujemput jam 9 pagi?” tanyanya setelah membuatku kehabisan nafas hanya dengan sebuah ciuman.
“Mau kemana kita?”
“Adikku mengajakku untuk brunch bersama tunangannya besok di peternakan mereka.”
“Oh..” jawabku singkat tidak menyangka Ian akan membawaku untuk bertemu adiknya.
Wejangan Bobby berputar lagi dikepalaku. Berhati hatilah, Ky. Ragu untuk menerima undangannya aku balik bertanya, “Tidak adakah wanita lain yang bisa kau ajak selain aku?”
Alis Ian kembali berkerut mendengar jawabanku yang aku yakin membingungkan baginya. “Aku belum pernah mengajak wanita manapun untuk bertemu keluargaku. Lagipula bukankah beberapa saat yang lalu kamu juga yang cemburu aku bersama wanita lain di Club?”
“Aku…” Kulirik sekilas ke arah Kelly yang kini berdiri memunggungi kami setelah menutup kembali pintu mobil. Mungkin bisa merasakan bahwa percakapan kami makin merembet dan tidak akan selesai dalam waktu singkat.
“Aku hanya merasa tidak pantas. Bayangkan saja jika gedung apartemen kumuhku ini dibangun di dekat area elit rumahmu. Pasti akan banyak yang komplain karena akan menurunkan harga jual kan?”
Ian tertawa kecil. “Kau membandingkan kita dengan properti?”
“Kau tahu maksudku.” Sahutku cepat.
“Elena, kau kira aku peduli perkataan orang? Kau membuatku penasaran, dan aku ingin mengenalmu lebih jauh.” jawabnya tanpa memalingkan pandangannya dari mataku.
Aku terdiam menunduk tidak mampu menatap matanya ketika dia memanggil nama palsuku. Otakku mengalah, aku akhirnya mengangguk, “Ok, baiklah.”
“Bagus kalau begitu. Pakailah sesuatu yang nyaman. Aku bawa motor.”
Dan dengan itu berakhirlah diskusi kami, meninggalkan aku menghabiskan malam itu untuk membayangkan lobang apa yang akan kugali besok untuk menutupi kebohongan kebohonganku.