Kepergian ayah bisa di bilang tidak mendadak. Kami semua sudah menduga hal itu akan terjadi tak lama setelah kami berkumpul di sisi ranjangnya malam itu. Masih sadar dan berpikiran jernih, pria itu memelukku yang terus terisak menelungkup di da*danya yang kurus kering.
Membisikkan kata kata terakhirnya padaku, “Kyra, ayah tahu kau selalu merasa kesepian selama ini. Tapi sebagai seorang petualang, dirimu sudah ditakdirkan untuk mengarungi hidup ini sendiri. Sampai suatu hari, bila kau beruntung, kau akan menemukan orang lain yang bersedia untuk mengikuti perjalanan hidupmu. Yang paling penting, melangkahlah terus dan jangan berhenti. Jangan menerima belas kasihan orang lain karena kau adalah anak yang cerdas, mandiri dan kuat.”
Malam itu, kanker prostat akhirnya berhasil merenggut pria yang melindungiku, menjagaku dan kusebut pahlawanku.
Sehari setelah dikuburnya ayah, tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan ibu tiriku dan seorang pria. Meminta pria itu untuk datang malam hari ketika semua tamu sudah pergi.Dan menyeretku dari kasurku. Akhirnya wanita itu melakukannya juga, pikirku waktu itu. Menjualku, sebagai ganti lunasnya hutang hutang mereka.
Tapi malam tidak pernah tiba bagiku. Saat itu juga aku langsung berlari dan terus berlari tanpa menoleh ke belakang.
Enam belas tahun umurku saat itu.
***
Pagi itu aku habiskan dengan mengaduk aduk isi lemariku. Mencari baju yang paling sempurna untuk kupakai. Menyerah, aku akhirnya memilih untuk memakai kaos putih agak longgar dan jeans ketat yang sobek di lutut. Dilengkapi jaket berwarna hitam. Sedikit make up, boots, dan aku duduk di meja makan merasa gelisah. Kulirik sekali lagi jam di dinding, masih pukul 7. Masih ada dua jam lagi hingga Ian menjemput dan aku sudah siap pergi.
Kupencet tombol start di laptop bututku yang langsung menderu mirip bunyi mesin vacum cleaner. Menunggu loptop menyala, aku membuka kulkas dan melongok ke dalam mencari apapun untuk di makan. Tidak banyak pilihan, kuraih keju lembaran dari dalam kulkas dan kuselipkan diantara dua lapis roti tawar dari dalam lemari. Lalu, berjalan kembali ke meja makan dan duduk menatap layar laptop yang sudah menyala.
Menggunakan internet wifi gratisan milik apartemen tetangga sebelah yang tidak di kunci sembari menggigit roti tawar isi keju yang barusan kubuat,iseng, kuketikkan nama Ian Roshan ke dalam search engine. Berbagai berita tentang kesuksesannya berikut foto dirinya di berbagai acara langsung muncul. Aku sudah beberapa kali melakukan ini dan sudah membaca hampir semua berita tentangnya. Kutambahkan kata “adik” di belakang nama Ian Roshan sebelum kupencet “enter”.
Hanya dua bersaudara, Ian mempunyai adik perempuan bernama Gianna Roshan yang akan menikah bulan depan. Kupandangi wajah Giana dan tunangannya yang bernama Alex Garret di foto yang terpampang di laptopku. Berambut coklat kemerahan dan memiliki wajah cantik, senyum wanita itu mengingatkanku pada kakak nya. Disebelahnya berdiri seorang pria bertubuh jangkung dengan wajah lonjong dan senyuman terlebar yang pernah kulihat. Kebahagiaan mereka berdua di dalam foto itu membuatku tersenyum seolah olah ikut merasakannya.
Ditulis mewarisi usaha keluarganya yang adalah pabrik tekstil, Giana memiliki kekayaan dengan estimasi yang cukup fantastis. Walau tidak sekaya kakak nya, tapi jelas mampu membuat orang biasa sepertiku minder berada di dekatnya. Sementara itu, tunangannya, Alex, adalah seorang peternak kuda balap yang lumayan terkenal. Memiliki sebuah peternakan di pinggir kota, Alex dituliskan sudah berpacaran dengan Gianna sejak SMA. Menjadikan hubungan percintaan mereka sudah berjalan hampir selama 10 tahun sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah.
Pekerjaan mematai mataiku terinterupsi oleh sebuah ketukan di pintu apartemenku. Kulirik lagi jam di dinding, 8:30. Siapa yang berkunjung pagi pagi begini?
Kubuka pintu apartemen dan langsung terbelalak menatap pria yang berdiri di depan pintuku.
“Ian?”
“Sorry aku kepagian.”
Kutatap pria tampan yang berjaket kulit di depanku.
“Tunggu dulu, bagaimana kau tahu yang mana apartemenku? Aku tidak ingat pernah menyebutkannya.” Ucapku mencoba mengingat.
“Uhmm..Aku minta Kelly mengikutimu masuk setiap mengantarmu pulang. Bukan untuk memata matai atau apa. Aku hanya ingin memastikan kau masuk ke dalam apartemen dengan selamat.”
“Hmm….sebagai seseorang berbadan sebesar itu, Kelly mempunyai kemampuan mengintai yang cukup hebat. Aku tidak pernah merasakan kehadirannya sama sekali. Um... masuk lah dulu kalau begitu.” Ujarku menyingkir dari pintu.
Ian melangkah masuk sambil membuka jaket yang dikenakannya. Terlihat sangat casual, badan nya hanya terbalut sebuah kaos putih polos dan celana jeans gelap yang semakin memperlihatkan bentuk tubuhnya yang berotot.
Sembari meletakkan jaket di kursi meja makan, matanya memandang ke sekeliling ruangan apartemenku yang berantakan sebelum menatap layar laptop yang masih menyala di meja makan.
Buru-buru kututup laptop di meja makan yang masih menampakkan foto Giana dan tunangannya.
“A..Aku cuma tidak ingin datang tanpa persiapan. Aku ingin adikmu menyukaiku.” Jawabku membela diri. Ada kesungguhan di jawabanku. Dari fotonya, Giana terlihat seperti orang yang bisa kau jadikan seorang teman, dan biasanya aku cukup pandai dalam mengenali sifat seseorang dari wajahnya.
Ian mendudukkan badannya di kursi.
“Kau bisa menanyakannya padaku. Kebanyakan berita yang ada di internet belum tentu terbukti kebenarannya.”
“Uhm..ok. Seperti apa adikmu? Apakah dia akan menerima kakak nya membawa wanita biasa sepertiku?”
“Tentu saja. Percayalah padaku, tidak ada yang perlu kau takutkan. Dia pasti akan menyukaimu seperti aku menyukaimu.”
Aku bisa merasakan pipiku memanas mendengar ucapannya.
“Dan kamu bukanlah wanita biasa.” Lanjutnya. “Tidak ada wanita biasa yang mampu membuatku betah berada di apartemen seberantakan ini sepertimu.”
Sebuah senyuman tersungging di bibirnya yang simetris.
Aku ikut tertawa malu, “Sorry, kau datang tanpa pemberitahuan. Aku tidak sempat beberes.”
Sekilas kupandangi sekeliling ruangan dan melihat tumpukan baju yang kucoba diatas ranjang, sepatu yang tercecer di kolong, dan buku buku yang masih berantakan di lantai. Belum lagi gelas dan piring yang masih menumpuk di tempat cucian, membuatku sedikit mengagumi Ian yang masih bertahan berada di dalam apartemenku.
“Apakah kau ingin minum?” tanyaku sambil membuka kulkas yang kosong. “Aku masih ada..um..” Kucoba melongok ke freezer dan hanya menemukan sebotol vodka di dalamnya.
“Vodka atau air putih.” Kataku akhirnya. Menyerah.
“Air putih.”
Kutuangkan segelas air untuknya dan kuletakkan diatas meja. Ian meraih tanganku ketika aku mendekat dan menarik badanku kearahnya. Ku lingkarkan pahaku keatas pangkuannya agar aku bisa menatap wajahnya. Ku elus sisi wajahnya dengan kedua tanganku, sementara mataku terpaku pada pandangan gelapnya yang menarikku bagaikan magnet. Perlahan aku menunduk memberikan ciuman hangat di bibirnya yang disambutnya dengan elusan tangannya di punggungku.
Kegalauan di benakku menghilang sementara, terbenam dalam luapan air tenang yang ada di dalam ciuman pria itu. Ian menghentikan ciumannya dan memundurkan wajahnya dari wajahku.
“Tahukah kau seberapa aku menginginkanmu?” bisiknya membuat sekujur tubuhku terbakar.
Kusandarkan dahiku kedahinya seakan berusaha memindahkan seluruh pikiranku padanya. Mengungkapkan identitas asliku dan tujuanku yang sebenarnya. Semua kebohongan ini semakin lama semakin menyiksa.
Terlebih pada detik ini, aku akhirnya menyerah dan mulai menerima kenyataan bahwa aku telah jatuh cinta padanya.
Aku bangkit berdiri dan membalikkan badanku menghadap wastafel cuci piring. Berusaha menahan diriku untuk tidak membeberkan kebohonganku.
Ian yang tidak sadar akan gemelut di batinku, menenggak air di dalam gelas dan berjalan menuju ranjangku. Tubuhnya menunduk memungut buku buku yang beserakan di lantai.
“Goosebumps?” tanyanya tertawa.
Aku menoleh membalikkan badan. Sedikit senyuman terlepas dari bibirku melihat pria itu menatap koleksi buku remaja tentang monster dan hantu itu.
“Aku menyukainya. Aku dulu memiliki semua seriannya, sebelum ibuku menjualnya.” Jawabku.
“Apa? Kenapa?”
Aku mengangkat bahu pura pura tidak ingat kemarahan apa yang mengakibatkan dijualnya seluruh koleksi buku dan komik yang kumiliki ketika itu. Hukuman karena telah menjual bros kesayangan miliknya.
“Sudah hampir jam 9. Tidakah kita sebaiknya pergi?” tanyaku tidak ingin Ian makin menguak jati diriku.
“Ok. Yuk!” Pria itu menyusun buku yang dipegangnya kembali ke dalam rak dan melangkah mengambil jaket dan memakainya.
Ian berjalan keluar gedung sambil menggandeng tanganku. Aneh sesuatu yang sederhana seperti bergandengan tangan bisa membuat d**a ku terasa hangat dan penuh.
“Nih. Pakailah.” Ian menyerahkan sebuah helm hitam ke arahku.
Kusibakkan rambutku yang tergerai ke samping sebelum memasukkan helm bertali itu ke kepalaku. Melihatku kesulitan dengan klip untuk mengunci helm, Ian meraih tali strap di daguku dan memasangkannya untukku. Sentuhan tangannya membawa aroma cologne nya yang berbau cendana, membuat jantungku melompat kegirangan.
“Ah..terima kasih.” Jawabku.
“Naiklah.” Perintahnya.
Kuperhatikan sejenak sepeda motor besar itu dan ragu ragu bagian mana yang harus kuinjak untuk menaiki nya. Ian menoleh.
“Apakah kau tidak apa apa?”
“Uhmm..yang manakah injakan kakinya?”
Ian tertawa dan menunjuk ke arah tengah sepeda motor. Berbeda dengan sepeda motor bebek yang memiliki injakan kaki di belakang.
“Oh..” jawabku pelan.
Berpegangan pada bahu Ian aku mengalungkan kakiku menaiki sepeda motor itu dengan susah payah.
“Ok, kau sudah siap?”
“U huh..” anggukku tidak yakin. Paling tidak tempat duduk itu terasa nyaman untuk diduduki, pikirku.
Kupeluk tubuh Ian dari belakang ketika motornya mulai melaju diiringi oleh suara derungan mesinnya yang menggetarkan telinga. Kurasakan hembusan angin yang menerpa wajahku ketika aku melongokkan kepalaku disisi helm Ian. Perasaan bebas yang membuatku tersenyum. Ku rentangkan telapak tangan kananku ke samping menyalami terpaan angin yang menghembuskan janji akan masa depan.
Ian mengatakan padaku, sekitar setahun kemudian, bahwa di saat inilah dirinya memutuskan bahwa aku adalah wanita yang dicarinya. Ketika melirikku dari spion motornya dan melihat ku gembira akan hal hal yang sederhana. Tapi tentu saja perjalanan panjang cinta kami tidaklah di capai tanpa adanya pengorbanan, darah dan air mata.
Motor melambat ketika kami mulai memasuki pinggiran kota. Gedung-gedung tinggi mulai digantikaan oleh pepohonan dan kebun teh, membuat suasana hiruk pikuk perkotaan menghilang. Bahkan udara terasa lebih segar di sini karena tidak banyaknya mobil dan motor yang berlalu lalang. Ian membelok masuk ke sebuah jalan setapak ber plang “Perkebunan Garret” dan berhenti di depan sebuah rumah bercat putih diujung jalan.
Ian sedang membantuku melepaskan helm yang kupakai ketika pria yang kukenali sebagai Alex dari foto yang ku lihat tadi pagi, muncul. Senyuman khas nya yang lebar terbentang di bibirnya.
“Ian!” sapanya dengan tangan terbuka siap menyalami Ian yang masih berkutat dengan tali di daguku. Berhasil, Ian langsung berjalan menuju Alex dan menjulurkan tangannya membalas salamannya.
“Hei Alex, kenalkan. Ini Elena. Kuharap kau dan Giana tidak keberatan aku mengajaknya hari ini.”
Alex menoleh menatapku. Senyuman masih terpampang wajahnya ketika dirinya mengulurkan tangannya kini ke arahku.
“Apaaaa…? Ian membawa kencan…?”
Aku menjulurkan tangan membalas sapaannya.
“GIANNA!!” jerit Alex dengan senyum masih tertahan di wajahnya dan memandangiku seakan aku adalah mahkluk planet lain yang datang untuk di teliti.
“IAN SUDAH DATANG!!” teriaknya lagi. “DENGAN SEORANG GADIS!”