Sean mengusap kasar wajahnya, langkah kakinya terasa berat. Atmosfir rumah orangtuanya begitu menyesakkan, seolah Sean tahu apa maksud sang mama menyuruhnya pulang.
Sean berhenti di ambang pintu, menatap datar pada mereka yang berada di meja makan. Sesuai dugaannya, pertemuan ini bukan sekedar makan malam biasa. Pasti ada udang dibalik bakwan. Betapa liciknya sang mama, menjebaknya pada pertemuan antar keluarga.
"Malam," sapa Sean, memaksakan senyum tipisnya. Ia duduk di hadapan Kimmy yang sejak tadi memandang takjub dirinya.
"Apa kabar, Sean? Makin sibuk aja kayanya udah jadi bos." Sean hanya tersenyum tipis mendengar calon mertuanya membual. Rasanya muak!
Sean hanya menanggapi seadanya, tak banyak bicara. Ia sama sekali tak berminat. Hingga percakapan itu sampai di babak paling penting. Sean melongo mendengar pernyataan sepihak sang mama.
"Jadi, pertunangan kalian bakal diadain minggu depan. Mama juga udah urus semuanya."
Bukan hanya terkejut, rasanya Sean seperti dihempas dari langit, terjun bebas ke jurang. Kenapa mamanya tidak berdiskusi dengannya terlebih dahulu? Ini hidupnya! Sean yang menjalani, tapi sang mama seenak jidat bertindak sebagai dalangnya.
"Ma!" hardik Sean.
"Tenang saja Sean, semua sudah mama atur." Seolah tak peduli dengan protes Sean, sang mama terus berceloteh membicarakan perihal pertunangan.
"Cukup!!" bentak Sean, bahkan dengan berani menggebrak meja makan. Semua orang jelas terkejut, terutama Kimmy tampak tegang.
"Sean," tegur sang papa yang sedari tadi diam.
"Apa Papa juga setuju? Papa juga ikut merencanakan semua?" Papanya hanya menggeleng dramatis, kemudian Sean beralih menatap mamanya.
Wanita itu tampak murka, siap meluapkan sumpah serapahnya namun ia tahan. Tidak mungkin dirinya berteriak di depan calon besan.
"Sean kamu apa-apaan si?" bisik mamanya penuh penekanan.
"Mama yang apa-apaan? Ma, apa Mama gak bisa diskusiin ini terlebih dahulu? Kenapa Mama selalu memaksakan kehendak Mama!!" Habis sudah kesabaran Sean. Ia meluapkan semua kekecewaan dan kemarahannya.
Selama ini, Sean merasa seperti gerandong dan sang mama Mak Lampirnya. Di mana gerandong selalu tunduk dan pasrah di bawah perintah Mak Lampir.
Tapi Sean tidak akan bernasib seperti itu. Kali ini Sean akan berontak, apa pun yang terjadi. Persetan dengan kutukan malin kundang. Sean tak akan membiarkan nasibnya seperti Siti Nurbaya.
"Ma, aku sudah punya pacar. Jadi kumohon jangan pernah urusin masalah jodoh Sean lagi." Mamanya melotot mendengar pernyataan Sean. Lalu Sean beralih menatap Kimmy. "Dan kamu, maaf tapi sampai kapan pun aku hanya menganggap kamu teman. Gak lebih. Jangan terlalu berharap lebih."
"Sean!" teriak mamanya, saat melihat Sean beranjak pergi. "Sean berhenti! Dasar anak durhaka! Sean!" Sean mengabaikannya, ia tak peduli dengan semua itu.
——————
Beruntung Sean ada acara keluarga, sehingga Vina bisa menyempatkan diri mampir ke kafe Reyvan.
Vina melangkah memasuki kafe yang cukup ramai, duduk di tempat favoritnya paling ujung. Reyvan memang selalu menyediakan tempat ini khusus bagi Vina saja, sementara pengunjung tak diperkenankan duduk di sana.
"Tumben muka lo berseri-seri, abis dapet undian sabun colek ya?" Reyva menghampiri Vina, membawakan segelas es Mochacino kesukaannya.
"Emang masih jaman pakai undian, yang ada juga sekarang give away. Give away permasalahan hidup," sahut Vina asal. Keduanya terkekeh. "Bos gue lagi ada urusan keluarga, jadi gue seneng banget. Berasa kaya baru lepas dari belenggu setan yang menguasai jiwa ... awww!" Vina mengusap kepalanya yang baru saja dijitak Reyvan.
"Bahasa lo, gak banget."
"Kan biar seimbang sama lo, yang novelis sok puitis." Vina memasang senyum lebarnya.
Senyum yang selalu menggetarkan hati Reyvan. Tak puas sekedar memandang, rasanya Rey ingin selalu mengabadikan setiap momen ini.
"Lo kenapa si, senyum-senyum sendiri. Gila?" celetuk Vina. Menyadarkan lamunan Reyvan.
"Eh, gak." Rey membenarkan posisinya, menatap ke segala arah. "Ngomong-ngomong, tumben lo ke sini."
"Kenapa? Gak boleh?"
"Ya, boleh. Tapi biasanya lo ke sini pasti ada sesuatu." Tebak Reyvan. Melihat senyum jail Vina, sepertinya tebakan Reyvan tepat.
"Tahu aja lo, belajar jadi cenayang lo sekarang." Vina terkekeh. "Kalau gitu, ramalin jodoh gue dong." Vina memajukan wajahnya tepat ke depan wajah Reyvan.
Reyvan tertegun, bahkan ia hanya diam tanpa bergerak. Menatap bola mata Vina yang bercahaya, bibir ranum yang selalu jadi bahan fantasinya. Astaga! Apa yang sedang ia pikirkan? Hampir saja Reyvan berfantasi liar akan Vina.
"Jodoh lo masih dikurung." Rey menoyor kepala Vina, membuat Vina mendengus kesal.
"Gak asyik lo!"
"Dasar tukang ngambek," cibir Reyvan sambil mengacak-ngacak rambut Vina. "Itu PR lo?" Reyvan melihat Vina mengeluarkan proposal dan laptop dari tasnya.
"PR, lo kira jaman SMA. Ini kerjaan gue, bos gue nyuruh ngerjain dan besok musti diserahin buat rapat direksi." Vina mengembuskan napas sejenak. "Berhubung lo kan pinter matematika, bantuin gue ya? Please." Vina memohon dengan puppy eyes yang menggemaskan, mana mungkin Reyvan bisa menolak.
"Udah gue tebak." Reyvan mendengus. Tapi ia tetap membantu Vina mengerjakan semuanya.
Vina terus memperhatikan Reyvan yang begitu cekatan mengerjakan laporan miliknya. Otak Reyvan memang encer tidak seperti miliknya yang sudah tumpul, d***u pula.
"Daebak! Secepet itu lo kerjain semua? Gue seminggu kerjain tapi gak kelar-kelar," ujar Vina, menatap takjub laporannya yang sudah jadi. "Awww!" pekik Vina, karena Reyvan lagi-lagi menyentil keningnya.
"Makanya dikerjain bukan dilihatin." Vina terkekeh dengan wajah tanpa dosa.
"Tahu aja lo, emang bakat lo jadi cenayang."
"Udah makan? Makan yok, kayanya nasi bebek enak?" ajak Rey.
"Ayok, gue beresin ini dulu." Vina bergegas membereskan proposalnya, kemudian memasukkan laptop ke dalam tas. Baru akan beranjak, Tiba-tiba ponselnya berbunyi. "Halo," jawab Vina saat sambungan telepon diangkat.
Vina segera menjauhkan ponselnya, ketika suara dentuman musik yang terdengar sangat keras menghantam gendang telinganya. Vina mengedikkan kedua bahu, ketika Rey menatapnya penuh tanya.
"Iya, ada apa ya?" Kini suara musik itu mulai terdengar sayup-sayup. "Apa?" Vina melebarkan mata, menoleh pada Reyvan. Hal itu jelas membuat rasa penasaran Reyvan mengebu-gebu. "Baik, saya segera ke sana?"
"Ada apa Vin?" tanya Reyvan, setelah Vina menutup panggilan telepon.
"Sorry, Rey. Kayanya makan nasi bebeknya next time aja. Gue musti jemput bos gue." Vina merasa bersalah, melihat raut kecewa di wajah Reyvan.
"It's okay. Kalau gitu biar gue anterin ya."
Vina mengangguk, menerima tawaran Reyvan. Lagi pula sudah malam begini kemungkinan mendapat taksi sangat sulit. Lebih baik ia diantar Reyvan, jauh lebih aman juga.
Rasanya Vina ingin sekali mengutuk Sean. Kenapa pria itu selalu menyusahkannya. Meski ada sedikit rasa khawatir, karena tadi yang menghubungi temannya Sean. Menyuruhnya segera datang untuk menjemput Sean.
Di dalam club, hingar bingar lampu disko diiringi musik dari Dj. Segerombolan manusia tengah berkumpul, ditemani para wanita penghibur. Sementara salah satu dari mereka sudah teler, meracau tak jelas.
"Ini semua gara-gara Mak Lampir s****n! Dia pikir gue barang, bisa dilelang sana sini!" cerocos Sean, sambil menenggak botol di tangannya.
"Parah emang si k*****t, emaknya sendiri dibilang Mak Lampir," celetuk Arsen.
"Anak gak ada ahlak ya begitu," sahut Bagas, mereka pun tergelak tak kuasa menahan tawa.
"Padahal si Kimmy cakep loh, dadanya aja segede semangka," ucap Devan sambil memperagakan lekuk tubuh Kimmy.
"Diem lo semua! Lo gak tahu apa-apa? Gue cuma suka sama Ana," balas Sean yang entah masih sadar atau tidak.
"Sadar woy! Ana tuh udah jadi bininya sepupu lo sendiri. Ya kali lo mau jadi pebinor."
"Persetan, gue cuma suka sama Ana. Titik!"
"Ana atau Davina," sahut Davin yang baru saja kembali.
"Davina?" beo Sean, mendongak menatap Davin yang masih berdiri. Sean tertawa, membuat teman-temannys saling bertatapan merasa heran sekaligus bingung.
"s***p nih bocah." Devan geleng-geleng kepala. Menatap miris Sean.
"Davina, dia sekarang cantik ya." Ketiganya melongo mendengar pernyataan Sean yang terdengar ngelantur. "Dia selalu jadi fantasi liar gue, padahal buat bayangin Ana aja gue gak berani. Tapi Davina, justru selalu hadir di otak gue. Berasa kaya jaelangkung, datang gak diundang tapi gak mau pulang." Sean tertawa.
"Lo sudah telepon sekretarisnya?" tanya Arsen pada Davin yang duduk di sebelahnya.
"Sudah, paling bentar lagi datang," jawab Davin sambil menyalakan rokok di tangannya.
Ketiganya memandang prihatin Sean yang masih tertawa sambil terus berceloteh perihal Davina. Seperti yang mereka tahu, Sean memang belum move on. Tapi pria itu terlalu naif untuk mengakuinya. Harga diri Sean terlalu tinggi, egonya lebih besar ketimbang perasaannya sendiri.
Tak lama seorang wanita tergopoh-gopoh menghampiri meja mereka. Baik Davin, Arsen dan Devan. Ketiganya cengo melihat kehadiran Davina di hadapan mereka.
"Sean! Ngapain si lo di sini?!" bentak Vina pada Sean yang sudah merebahkan diri di sofa.
"Lo manggil sekretarisnya apa Davina?" bisik Arsen.
"Gue telepon sekretarisnya, orang di ponsel Sean aja namanya sekretaris k*****t. Mana tahu kalo ternyata itu Davina," jawab Davin.
"Kayanya bakal ada drama CLBK," sahut Devan. Ketiganya terus memperhatikan perdebatan Sean dan Vina.
"Lo nyusahin banget si? Sean! Sean Davichi!!" Rasanya bisa gila Vina kalau terus begini. Sean benar-benar cobaan terberat baginya.
Vina sangat tidak nyaman berada di ruangan ini, untuk pertama kalinya ia menjejakkan kaki di tempat laknat seperti ini. Dan itu semua gara-gara bos kampretnya.
"Butuh bantuan?"
Vina tersentak ketika suara bass itu menginterupsinya. ia mendongak, betapa terkejutnya mendapati Davin ada di depannya. Vina pun beralih memandang sekitarnya, s**l. Kenapa Vina bisa tidak menyadari jika ada teman-teman Sean di sana.
Lalu untuk apa mereka menyuruh Vina yang menjemput Sean? Apa ini konspirasi?
"Ayo," ucap Davin. Dia membantu Vina mengangkat Sean. Membawa Sean menuju mobilnya. "Lo bisa nyetir kan?"
Diberi pertanyaan seperti itu Vina terdiam, tak bisa menjawab. Terakhir kali, ia membuat mobil Sean menabrak trotoar. Mungkin kali ini Vina akan membawa Sean menabrak batas alam baka.
"Kalau ada apa-apa hubungi gue." Davin menyodorkan kartu namanya. Vina hanya diam, menerimanya. "Titip Sean. Hati-hati di jalan." Davin menepuk bahu Vina, kemudian pergi meninggalkannya.
Sesaat Vina memandangi punggung Davin yang mulai menjauh, lalu bergegas masuk ketika Sean meneriakinya. Vina memasangkan sabuk pengaman Sean. Baru akan memasang, tiba-tiba Sean menangkup pipi Vina. Membuatnya membeku, menatap Sean yang berjarak sangat dekat.
"Kenapa lo selalu menghantui pikiran gue?"
Vina hanya diam, mendengarkan perkataan Sean. Bibirnya kelu untuk menjawab pertanyaan yang tak ia pahami.
"Gue gak ngerti lagi, tapi gue selalu bayangin ini." Vina tersentak ketika Sean mengusap bibir bawahnya. Vina berusaha mendorong Sean namun pria itu tak melepaskannya, justru semakin menepis jarak.
"Sean! Sad———" Vina mengerjapkan mata, saat Sean membungkam bibirnya.
Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Bibir gue gak perawan lagi! Jerit Vina dalam hati.