12.SALAH PAHAM

1303 Words
Vina berjalan sempoyongan. Ia merangkul Sean menuju unit apartemennya. Sesampainya di depan pintu, Vina bingung karena tidak tahu apa pasword-nya. "Sean, Pasword-nya apa?" Vina menepuk-nepuk pipi Sean. "Sean!" hardik Vina karena Sean sama sekali tak menggubrisnya, pria itu justru meracau tak jelas sedari tadi. Kaki Vina sudah pegal, ia bingung harus bagaimana. Kunci tidak ada, kartu akses juga tidak ada. Pasword pun Vina tidak tahu. Vina mengembuskan napas kasar. Sepertinya tak ada pilihan lain, mau tidak mau Vina membawa Sean ke dalam unitnya. "Sean!! Lo bisa diem gak si?!" Vina benar-benar gondok dengan Sean. Pria itu terus menduselkan kepalanya di ceruk leher Vina. "Sean!!" "Hm." Sean mengangkat wajahnya, bau alkohol menyeruak ke hidung Vina. Vina mendesis, berniat menjauhkan tubuhnya namun Sean justru menarik pinggang Vina hingga keduanya jatuh di atas ranjang. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi Vina, karena Sean terjatuh tepat di atasnya. "Minggir!" Bukannya minggir Sean justru terdiam, matanya yang sayu memandang sendu wajah Vina. "Sean ...!" Untuk kedua kalinya, Vina kecolongan. Sean kembali menciumnya. Gak bisa, gak bisa dibiarin! Vina berontak, ia mendorong d**a Sean. Vina terus menggelengkan kepalanya, menghindari serbuan bibir Sean. "Sean! Lo gila!" teriak Vina, mulai frustasi karena Sean mencengkram pergelangan tangannya. Vina berharap ada sadako yang tiba-tiba muncul dan menyeret Sean dari sini. Dasar fakboi gak ada ahlak, seenak jidat mencium dirinya. "Sean!!!" Teriakan Vina membuat Sean seketika terdiam. Namun tatapannya masih tertuju pada bibir Vina. "Why?" gumam Sean. "Kenapa gue gak bisa benci sama lo?" Vina tertegun, matanya terkunci oleh sorot mata Sean. "Kenapa lo selalu muncul di pikiran gue?" "Sean," cicit Vina ketika Sean memajukan wajahnya. "Gue sayang lo, gue masih cinta sama lo." Vina tercekat mendengar pernyataan Sean. Benarkah Sean masih mencintainya? Degup jantung Vina kembali berpacu dengan cepat. Rasanya sama seperti delapan tahun silam, ketika Sean menyatakan cinta di depan teman-teman sekelasnya. Vina berdiri di depan kelas, memandang Sean yang tengah berlutut di depannya. Sementara teman-temannya sudah heboh, berteriak histeris. Bagaimana tidak? Mereka semua jelas tahu siapa Sean. Cowok paling populer di sekolahan. Cowok tampan yang selalu jadi idaman para cewek. "Vin, lo mau jadi cewek gue?" Vina memang sudah berharap lama akan pernyataan Sean, setelah pendekatan mereka selama tiga bulan. Benih-benih cinta yang selalu di pupuk Sean, kini tumbuh subur di hatinya. Perlakuan manis Sean berhasil merebut hati Vina. "Mau!" "Mau!" Terdengar teriakan teman-temannya, menyuruh Vina untuk menerima Sean. "Gue belom siap patah hati. Jadi gue harap jawabannya mau." Sean meringis sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Aku mau," jawab Vina. "Serius?" Sean langsung beranjak berdiri, memeluk Vina membuatnya terpaku dengan tatapan tak percaya. "Ana." Vina terkesiap ketika mendengar gumaman Sean. Pria itu menjatuhkan kepalanya ke samping kepala Vina. Ana? Jadi sedari tadi, Sean tengah membayangkan Ana? Sungguh gak punya ahlak! Setelah merenggut ciuman pertama dan keduanya dengan tidak tahu diri menyebut nama wanita lain. "Ishh!!" Saking kesalnya, Vina menghempas tubuh Sean secara kasar dari atas tubuhnya. Ia bangkit berdiri meninggalkan Sean dengan perasaan dongkol. Terdengar suara pintu dibanting. Sean membuka matanya, menatap langit-langit kamar Vina. Tangannya terulur mengusap bibir bawahnya. "Gue pikir itu mimpi, tapi ternyata gak. Itu beneran Davina. Rasanya manis." Sean tersenyum tipis, membayangkan bibir Vina. "Lo gak pernah tahu bagaimana gue sangat mendambakan bibir itu dari dulu," cerocos Sean sebelum akhirnya terlelap. ————— "Banjir!!" teriak Sean. Ia sampai terbangun dalam posisi duduk, menyeka wajahnya yang basah. "Bangun juga lo?!" Sean menolehkan kepalanya, ia melotot mendapati Vina tengah berdiri sambil berkacak pinggang sambil memegang gayung di tangannya. "Ngapain lo di kamar gue?!" hardik Sean. "Kamar lo?" Vina mendengus. "Ini kamar gue? Gara-gara lo mabuk semalem, gue jadi tidur di sofa. Badan gue pegel-pegel se———" Vina terkesiap saat Sean menekan bibirnya dengan telunjuk. "Berisik! Jam berapa sekarang?" Sean tampak panik, ia melirik jam di atas nakas. "Mampus!" Sean menepuk jidatnya. Hal itu jelas membuat Vina bertanya-tanya. Ada apa dengan Sean? "Vina siapin pakaian gue cepet. Hari ini ada rapat direksi!" Sean berlari ke apartemennya. "Davina!!" teriak Sean karena Vina tak mengikutinya. Vina berdecak, memutar bola matanya. "Iya, iya!!" Dengan malas Vina berjalan menuju apartemen Sean. "Nyusahin banget si orang!" Sean keluar dari kamar, ia sudah rapi dengan pakaian kerjanya bersiap untuk ke kantor. "Makan supnya dulu, buat ngilangin pengar." Suara Vina menginterupsi Sean. Sean berjalan menghampiri Vina yang tengah menyiapkan sup di meja. "Lo yang bikin?" "Bukan. Sadako yang bikin!" Vina mendecih. Ia masih kesal dengan kelakuan Sean semalam dan pagi ini pria itu tampak biasa saja seolah tak terjadi apa-apa. "Pantes, tampilannya gak menarik." Vina melotot, Sean memang kurang ajar. "Tapi, sebagai bentuk gue menghargai jerih payah sadako. Gue bakal makan supnya." Sean tersenyum lebar. Tahu begitu gue tambahin sianida tadi!! Berkat sup buatan Vina, Sean dapat melalui rapat pagi ini dengan lancar. Meski kepalanya masih sedikit berdenyut akibat efek alkohol, Sean memang tidak terbiasa meminum minuman laknat itu. Sean termenung, sedari tadi pikirannya terus berputar pada kejadian semalam. Jelas saja ia ingat, bagaimana dirinya dengan berani mencium Vina. Hal yang tak seharusnya Sean lakukan. Beruntung Vina tak menggubris celotehannya, ketika ia menyebut nama Ana. Padahal jelas semua ucapannya itu tentang Vina bukan Ana. Seandainya Vina tak melakukan kesalahan, mungkin kini mereka masih bersama. Sean tak pernah bisa melupakan kejadian delapan tahun yang lalu. Sean berjalan menuju parkiran, ia sudah akan bersiap pulang ketika Davin menghampirinya. "Ada apa?" tanya Sean. "Lo musti lihat ini." Davin menunjukkan foto di ponselnya. Mata Sean membulat, bagaimana tidak? Jika di foto itu ada Vina dan Reyvan yang sedang duduk berdua di taman belakang sekolah. Reyvan yang memunggungi kamera dan Vina yang tampak di hadapan Reyvan dengan jarak sangat tipis. Semua orang jelas akan mengira mereka tengah berciuman dan pemikiran Sean pun begitu. "Gue gak nyangka kalo Reyvan bakal khianati lo begini? Padahal dia jelas tahu kalo Vina pacar lo," ucap Davin. Sean menolehkan kepalanya, menatap tajam Davin. "Cukup gue sama lo yang tahu, jangan sampai bocor. Gue bakal bikin perhitungan sama mereka berdua!" "Siap." Davin tersenyum miring. "Permisi Pak." Sean tersentak dari lamunannya, ia beralih menatap Vina yang sudah berdiri di hadapannya. "Lo gak bisa ketuk pintu dulu?" Sean mendengus, sebal melihat Vina. Emosinya semakin menggebu. Vina menghela napasnya, berusaha sabar menghadapi Sean. Ia memasang wajah datar. "Kan Bapak tadi yang nyuruh saya ke sini? Gimana si Pak. Yaudah kalau gitu saya balik lagi, kerjaan saya masih banyak." Vina sudah akan berbalik, namun suara Sean menginterupsinya. Vina kembali berbalik. "Buatin saya kopi." "Baik, Pak Sean." Vina memutar bola matanya, bergegas keluar. "Pake gula, jangan garam!" teriak Sean. "Pake sianida kalau perlu," gerutu Vina setelah keluar dari ruangan Sean. Vina segera pergi ke pantri. Ia memandangi diri di depan cermin sambil menunggu air panas. Vina menyingkap kerah kemejannya, mengembuskan napas kasar saat melihat tanda merah kebiruan di leher. "Bahkan lo gak sadar lakuin ini ke gue," gumam Vina. Vina terdiam, seharian ini kerjanya tidak fokus gara-gara bayang-bayang Sean yang terus mengusik pikirannya. Bahkan semalaman Vina tak bisa memejamkan mata. "Mba Vina, airnya sudah panas." Vina tersadar ketika suara di belakangnya terdengar. Ia segera merapikan kerah bajunya kembali. "Ah, iya. Makasih Din," ucap Vina. "Mba Vina bikinin kopi buat tamunya pak Sean ya?" tanya Dini. "Tamu?" beo Vina. Bahkan ia tidak tahu kalau ada tamu, hari ini juga tidak ada jadwal Sean bertemu client. Lalu, siapa? "Iya tamunya pak Sean, tadi ...." Dini menggantungkan ucapannya saat ponselnya berbunyi. "Aku duluan ya Mba." Dia bergegas keluar pantri. Vina mengenyahkan rasa penasarannya, itu bukan urusannya. Untuk berjaga-jaga, Vina membuatkan dua kopi. Ia berjalan cepat menuju ruangan Sean. Vina mengetuk pintu, namun tak ada respon dari dalam. Kembali lagi Vina mengetuk pintu, lagi-lagi tak ada jawaban. Vina pun berinisiatif masuk. Tapi sepertinya timing-nya tidak tepat. "Pak ini kopi ... nya." Vina membulatkan mata, melihat posisi Sean berbaring di sofa dengan wanita di atasnya. Mereka ngapain si? Mata gue terzdolimi! Dasar fucekboy! "Vina!" pekik Sean.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD