13.PACAR

1165 Words
Selepas kepergian Vina, Sean memutar kursinya menghadap keluar gedung berdinding kaca. Sean menghela napasnya, memejamkan mata sejenak. Bayangan bibir Vina terus mengusik otak kotornya. Sepertinya Sean perlu jasa rukiyah, agar jiwa mesumnya tak semakin menggila. "Gue bukan Rey, tapi makin ke sini kenapa gue berhasrat buat jadi seperti Rey," gumam Sean. Ceo m***m! Sean berdecih, ketika hal itu terlintas di otaknya. "Gak, gue gak boleh jadi mesum." Sean menggelengkan kepalanya. "Aisshh, Davina!" geram Sean ketika mendengar derit pintu yang terbuka. "Apalagi si, Vina ...!" Sean tercekat ketika memutar kursinya. Bukan Vina yang masuk, melainkan sosok Kimmy. "Vina?" Kimmy berdecak, tak suka. "Siapa Vina? Wanita mana lagi yang buat kamu goyah?" Sean memutar bola matanya, malas menanggapi ocehan Kimmy. Ia beranjak dari duduknya, suara Kimmy membuat telinganya pengang tak karuan. "Ngapain si lo ke sini?" "Aku bawain kamu makan siang. Aku baru aja belajar resep baru," ucap Kimmy sembari menata bekal yang di bawanya ke atas meja. Sean termenung melihat kotak bekal berisi kimbab, makanan khas Korea. Mengingatkannya akan seseorang. "Enak?" Sean mengangguk, mulutnya mengunyah kimbab. "Gak sia-sia aku bangun pagi bikin itu buat Kakak." "Tapi aku lebih suka sushi," balas Sean, setelah menelan habis makanannya. "Em, bukannya sama aja?" "Bedalah Sayang." Sean yang gemas mencubit hidung kekasihnya. "Kalau kimbab itu dari Korea tapi sushi dari Jepang." Gadis itu manggut-manggut tanda ia mengerti. "Kalau begitu, besok aku buatin sushi mau?" "Mau banget. Pacar aku pinter masak ya ternyata. Ntar kalau nikah bisa masakin aku tiap hari." Sean mengacak-ngacak rambut pacarnya. "Kak Sean, ngapain bahas nikah si. Kita kan masih SMA. Jadi malu." Pipi gadis itu bersemu merah, tak mampu menampik perasaan berbunga-bunga dalam hatinya. Mata Sean berkedut melihat makanan itu sudah tertata rapi di atas meja. Sean benci Kimbab, bahkan ia sudah lama tidak makan itu. Semenjak waktu itu, Sean tak lagi memakan makanan yang berhubungan dengan mantannya. "Ayo makan." Kimmy tersenyum lebar. Sean berjalan mendekat, bukan untuk mencicipi makanan buatan Kimmy. Melainkan menyingkirnya dari meja. "Sudah berapa kali gue bilang, lo gak usah bawa makanan lagi!" bentak Sean. Ia mengambil kota bekal itu, membuang isinya ke tempat sampah. "Sean!" Kimmy menatap nanar kotak bekal yang sudah kosong. Apa Sean tidak bisa menghargai sedikit saja pengorbanannya? Kenapa harus dibuang? Padahal Kimmy berusaha keras untuk membuatnya. "Pergi lo! Muak gue liat muka lo!" Sean sudah berbalik, namun dengan cepat Kimmy menghalangi langkahnya. Sean menaikkan sebelah alisnya, menatap heran Kimmy yang berdiri di depannya. "Apa kamu gak bisa hargai kerja keras orang lain?" Tatapan Kimmy begitu tajam. Sean refleks mundur saat Kimmy terus bejalan maju. "Lo ngapain si? Pergi sono lo, husss!" Sean mengibaskan tangannya. "Gak, aku gak akan pergi sebelum kamu minta maaf!" Kimmy terus maju, menepis jarak antar keduanya. "Jangan mimpi!" Sean berdecih, mahluk di depannya memang sangat menyebalkan. "Oh, iya." Kimmy menyeringai. Namun tanpa diduga Kimmy justru tersandung, tubuhnya tersungkur menabrak d**a Sean hingga keduanya terjengkang ke atas sofa. Mata Sean membulat. "Minggir lo!" "Gak." "Kimmy!" "Kita makan siang bareng, baru aku mau bangun." "Najis!" "Yaudah terserah, aku gak mau bangung." Tiba-tiba saja pintu terbuka, membuat keduanya refleks menoleh. "Pak ini kopi ... nya." Betapa terkejutnya Sean saat melihat Vina berdiri di ambang pintu, namun langsung berbalik hendak pergi. "Vina!" pekik Sean. Sean langsung mendorong Kimmy, hingga wanita itu terjungkal ke lantai. Tak peduli dengan ringisan Kimmy, Sean justru memanggil Vina masuk. "Saya gak lihat kok tadi Pak, mata saya tiba-tiba burem. Jadi, kalau masih mau lanjut saya bisa keluar———" "Siapa yang izinin kamu keluar," sergah Sean. Kamu? Vina gak salah dengar 'kan? Kesurupan apa dia, manggil kamu? Pikir Vina. Bertanya-tanya, namun terjawab ketika melihat wanita yang berdiri di dekat sofa. Oh, ada wewegombel. Batin Vina. Terkikik geli melihat perseteruan antara setan dan wewegombel. "Bukannya kamu pembantu Sean?!" Mata Kimmy menatap sinis Vina. "Ralat, bukan pembantu tapi sekretaris. Catet ya Ibu," ucap Vina, mengulas senyum kemenangan. "Ibu?" Kimmy semakin melotot, tak terima dipanggil ibu. "Lo ...." "Dia pacar gue." Pernyataan Sean membuat kedua wanita itu nyaris jantungan. Terutama Vina, seolah petir menyambar mendengar pengakuan sepihak dari Sean. Bahkan dengan tidak tahu malu, Sean merengkuh pinggangnya. "Kamu belum makan kan Sayang? Ayo kita makan siang di luar." Sean menggandeng lengan Vina keluar dari ruangannya. Sementara Kimmy terpaku memandangi kepergian Sean. Tangannya terkepal erat dengan urat-urat yang menegang, menahan gejolak emosi menggebu-gebu di dalam d**a. "Lihat saja Sean, gue pastiin nyokap lo tahu semua ini." Kimmy menyeringai. ——————— Vina memandang sebal Sean, bahkan setelah mengklaim dirinya sebagai pacar. Sean sama sekali tak ada itikad untuk menjelaskan, apalagi meminta maaf. Sean justru termenung, mengaduk-aduk makanannya yang sama sekali belum disentuh. Vina menghela napasnya, kenapa juga dirinya harus berharap kalau Sean akan menjelaskan. Gak penting! "Masih banyak orang diluaran sana yang gak bisa makan," celetuk Vina. Sean tersentak, ia mengangkat wajahnya. Menatap Vina yang tengah menikmati makanannya. Wajah itu tak pernah berubah, meski kini Vina terlihat lebih cantik dengan kulit putih s**u dan bibir ranum. Bibir? Arrrghh!! Sean merutuki mata dan otaknya yang berkonspirasi membuat gejolak aneh di dalam d**a. "Why?" tanya Vina yang merasa risih ditatap Sean tanpa berkedip. "Mata lo juling lama-lama baru tahu rasa lo!" Ucapan ketus Vina menyadarkan Sean, ia segera memalingkah wajahnya. Menatap ke segala arah. "Pede banget si lo," gerutu Sean. "Lo masih lama? Gue musti balik ke kantor lagi. Kerjaan gue banyak." Vina sudah akan beranjak, namun Sean menahan lengannya. Menginteruksinya untuk kembali duduk. "Suapin." Sean mendorong piringnya ke depan Vina. "What?" Vina melongo. Apa Sean sudah tidak waras? Kenapa kelakuan pria itu semakin aneh? "Suapin buruan!" perintah Sean setengah melotot. "Harus?" "Harus!" Vina menghela napasnya, kemudian menurut saja menyuapi bayi bajang di depannya. Sementara Sean terus melirik ke meja paling ujung. Dugaannya benar, Kimmy pasti mengikutinya. Dasar wanita gila! Umpat Sean dalam hati. "Pelan-pelan!" pekik Sean, ketika suapan Vina melenceng. "Maaf," ucap Vina, tangannya refleks mengusap sudut bibir Sean yang belepotan. Sean terkesiap, sesaat mereka terdiam. Saling pandang sama-sama terkejut. Melihat wajah Vina sedekat ini, membuat Sean kembali teringat masa-masa mereka berdua dulu. "Kak Sean gak makan?" tanya Vina. Keduanya tengah berada di kantin. Sean menggeleng. "Liat kamu aja udah bikin aku kenyang." Sean tersenyum lebar, bertopang dagu menatap Vina. "Dasar gombal. Udah ah jangan lihatin aku mulu, kan malu." Vina menundukkan kepalanya. Menyembunyikan rona merah di pipi. "Gemes deh kolau lihat kamu malu-malu begini. Jadi pengen nyium." Sean terkekeh, berhasil membuat Vina semakin tersipu. "Kakak makan ya, atau mau aku suapin?" Mendengar tawaran Vina dengan senang hati Sean mengangguk, membuka mulutnya lebar-lebar. "Dari tadi kek, gak peka banget," ucap Sean. Vina hanya tersenyum, menanggapi ucapan Sean yang membuat pipinya semakin memerah. "Kakak kalau makan gimana si, belepotan." Tanpa segan Vina mengusap bibir bawah Sean. Refleks Sean menahannya. Menggenggam tangan lentik itu, lalu mencium punggung tangan Vina. "I love you." "Vina?" Vina yang merasa terpanggil pun menoleh, ia segera menarik tangannya. Tampak terkejut dengan kehadiran orang yang memanggilnya. "Reyvan!" Reyvan? Sean langsung menoleh, tatapannya bertemu dengan pria yang berdiri di samping meja. Benar dugaan Sean, dia memang Reyvan. Rivalnya sejak SMA.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD