14.MANTAN GEBETAN

1442 Words
"Lepas! Sean ... sakit," cicit Vina, ketika tangannya di tarik Sean. "Lo apa-apaan si?" Sean sama sekali tidak menanggapi ocehan Vina. Ia terus menyeret Vina menuju parkiran. “Sean!!" Habis sudah kesabaran Vina, ia menghempaskan tangan Sean dari pergerlangan tangannya. "Lo kenapa si?" Vina tak mengerti dengan sikap Sean yang main tarik dirinya saja, padahal Vina belum sempat say hello dengan Reyvan. Pasti pria itu masih berdiri di sana, sendirian. Bukankah sikap Sean berlebihan? "Kita pulang!" tukas Sean, kembali meraih tangan Vina namun langsung ditepis oleh Vina. "Gak! Gue mau susulin Rey ... Sean!!" Vina berontak karena Sean lagi-lagi menyeretnya secara paksa. "Lo gak denger omongan gue, kita pulang!" "Gak mau! Emangnya lo siapa? Bisa atur-atur gue seenak jidat!" protes Vina, berusaha menahan kakinya yang terus terseret. Sean berhenti, berbalik menghadap Vina. Tatapannya yang tajam seolah mengintimidasi Vina. "Gue bos lo. Dan lo gak lupa kan? Omongan bos mutlak, bawahan gak boleh protes!" ucap Sean dengan angkuhnya. Bos? Bos pala lo peyang! Haruskah Vina menyantet Sean? Sepertinya begitu, kesabarannya benar-benar diuji. Baru Vina ingin membuka mulut untuk meneriaki Sean, namun suara merdu itu menginterupsi keduanya. Bahkan Sean sampai berbalik. "Sean?" "Ana." Ana? Vina memiringkan kepalanya agar bisa melihat wanita yang berdiri di depan Sean. Jadi dia yang namanya Ana? Tapi kenapa mukanya kaya gak asing? Pikir Vina, mengamati dengan seksama wajah wanita itu. "Kamu sama siapa?" tanya Sean, terlihat kikuk. Kamu? Vina berdecih, emang dasar fakboi! Sikapnya bisa berbanding 180° dari sebelumnya. Padahal tadi, Sean baru saja marah-marah dan membentaknya. Tapi sekarang, bahkan sikapnya sangat manis dan lucu. Iya, lucu. Tampang Sean sangat lucu, seperti kucing oren bertemu induknya. Bahkan wajah garang itu bisa hilang seratus persen. Daebak!! "Mama!" Suara teriakan anak kecil mengalihkan perhatian ketiganya, mereka menoleh ke belakang Ana. "Itu Rey," kata Ana sembari melambaikan tangan pada anak kecil yang digendong suaminya. Rey? Sepupu Sean? Wuah, kenapa Vina bisa lupa jika mereka memang pernah bertemu di toko roti. Pantas saja wajah wanita itu tidak begitu asing bagi Vina. Dia istrinya Rey, lalu kenapa Sean tampak salah tingkah. Pikiran Vina mulai berkecamuk, menerka-nerka hubungan Sean dan Ana. Atau mungkin mantan gebetan? Cinta gak kesampaian? Miris! "Kamu sama siapa?" tanya Ana. "Sama ... pacar aku." Sean refleks merengkuh pinggang Vina, membuat Vina nyaris mengumpat saking kagetnya. "Sean ...!" bisik Vina penuh penekanan, matanya melototi Sean. Pacar bapak lo bau menyan! umpat Vina dalam hati. "Kalian balikan?" celetuk Rey yang baru saja tiba. "Wuah, emang jodoh gak ke mana ya." Rey terkekeh geli, ditimpali senyuman manis Ana. Sean memutar bola matanya, sementara Vina rasanya ingin melempar Sean ke tungku api. Lagi-lagi dia mengklaim sepihak dirinya, tanpa meminta persetujuan Vina lebih dulu. "Mereka cocok ya Rey," kata Ana. "Iya cocok, cuma kasian Vina dapet kadal b***k begini ... awww!" Rey memekik, karena Ana mencubit pinggangnya. "Jangan gitu," bisik Ana, tetap menampilkan senyumnya pada Sean dan Vina. "Maaf ya Sean, Rey mulutnya belum sempat aku rukiyah." "Bee, kok gitu si." Rey mengerucutkam bibirnya. "Reyana lihat, Mama nakal deh sama papa. Masa cubit-cubit papa." Bocah perempuan berusia dua tahun itu hanya tersenyum. Sean mulai muak, ada rasa iri melihat keharmonisan Rey dan Ana. "Kalau gitu aku pulang dulu ya Ana, Rey. Kayanya Vina udah kecapekan." Vina mendesis, kenapa harus dirinya yang dijadikan alibi? Dasar MAGADIR! Mantan gak tau diri! "Hati-hati!" teriak Ana. Sean hanya melambaikan tangannya. ————— Mobil Sean memasuki parkiran, Sean segera melepas sabuk pengaman bergegas untuk keluar. Namun suara bunyi ponsel Vina membuatnya urung untuk keluar. "Halo. Rey," ucap Vina ketika mengangkat panggilan masuk dari Reyvan. "Sori soal ta—————" Vina melotot saat Sean merampas ponselnya dan mematikan sambungan telepon. "Sean!" bentak Vina, menatap nanar layar ponselnya yang meredup. "Lo apa-apaan si?" hardik Vina, emosinya tak lagi bisa dibendung. "Kenapa? Lo gak terima?" Sean menaikkan sebelah alisnya. Tak merasa bersalah sama sekali. "Mau lo apa si? Kenapa lo perlakuin gue kaya boneka!!" Gue bukan kekeyi bancat!! "Emang siapa yang perlakuin lo kaya boneka?" "Lo!!" teriak Vina dengan lantanganya. "Lo sadar gak si? Lo selalu maksain kehendak lo ke gue, padahal gue bukan siapa-siapa lo! Bahkan lo gak minta maaf setelah lo cium gue malam itu!" Sean terdiam, tak menduga jika emosi Vina akan meledak-ledak. "Lo gak mikir, kalau ciuman lo bikin gue frustasi hampir gila! Semalaman gak bisa tidur. Bahkan lo juga ninggalin bekas gigitan di leher gue. Lo pikir lo vampir apa? Yang bebas gigit leher orang lain tanpa permisi!!" Sean melongo, tak menyangka Vina akan mengeluarkan semua unek-uneknya. Terlalu frontal atau emang kelewat jujur. "Harusnya lo bersyukur karena digigit vampir ganteng." "Bersyukur lo bilang?" Vina berdecih. "Setelah lo renggut ciuman pertama gue," gumam Vina, yang jelas masih terdengar oleh Sean. Ciuman pertama? Jadi, gue yang merawanin bibir Vina? Tanpa sadar Sean tersenyum tipis, namun tiba-tiba ia justru teringat kejadian di belakang sekolah. Sean menepis pikirannya. "Ciuman pertama lo bilang?" Sean mendengus. "Gak usah sok drama jelas-jelas lo aja pernah ciuman sama Reyvan kan di belakang sekolah. Lo ngomong gitu biar gue merasa bersalah, gak mempan!" Vina menolehkan kepalanya, menatap tajam Sean. Ia mencoba mencerna ucapan Sean barusan. Ciuman? Reyvan? Belakang sekolah? Kepingan memorinya mulai berkumpul, mengingat-ingat kejadian hari itu. " Awww ... mata gue!" pekik Vina. Meringis sembari mengucek matanya yang kemasukan debu. "Vina?" Reyvan yang melintas pun segera menghampiri Vina yang tengah duduk di bangku belakang. "Lo ngapain di sini? Terus itu kenapa?" "Kemasukan debu nih ... perih banget." "Jangan dikucek, sini gue tiupin." Reyvan meniupi sebelah mata Vina yang terkena debu. "Hati-hati Vin, lagian lo ngapain di sini sendirian bukannya pulang." "Gue nyari jepit rambut, tadi kayanya jatuh di sini." "Emang penting? Beli lagi aja si." Vina menggeleng. "Penting banget, itu hadiah dari Kak Sean." Reyvan terdiam sesaat, melihat wajah murung Vina membuatnya tak tega. "Ayo, gue bantu cari." "Makasih Rey, lo emang temen terbaik gue." "Jadi itu, alasan lo putusin gue?" Vina tersenyum kecut. "Menurut lo? Emang siapa yang mau pacaran sama tukang selingkuh!" Kata-kata Sean menyakiti hati Vina, membuat gejolak pemberontakan di dalam sana. Selingkuh? Yang benar saja. "Siapa yang selingkuh? Apa lo punya buktinya gue selingkuh?" "Tentu, buktinya lo ciuman sama Reyvan!" tukas Sean. "Gue gak ciuman sama Reyvan!!" teriak Vina, napasnya memburu menatap tajam Sean yang langsung terdiam. "Apa lo gak bisa cari tahu dulu kebenarannya sebelum ambil kesimpulan sendiri?" Vina berdecih, rasanya percuma saja kalau Vina harus menjelaskan tak akan merubah apa pun. Vina mengambil sesuatu dari balik blazernya, benda kecil yang selalu ia jadikan jimat keberuntungan selama ini. Vina lalu melemparkannya pada Sean. "Harusnya dari dulu gue buang!" Vina langsung melepas sabuk pengaman dan bergegas keluar dari mobil Sean. Sean termenung, memandangi jepit rambut yang dilemparkan Vina barusan. Ia sangat ingat dengan jepit rambut itu, jepit rambut yang Sean berikan pada Vina saat mereka pertama kali jalan. Dan ternyata Vina masih menyimpannya? Lalu, kenapa Vina harus marah? Dia juga bersikeras kalau dia tidak berciuman dengan Reyvan. Tapi foto itu .... Sean mulai bimbang, sepertinya ia harus meminta penjelasan pada Vina. "Vina, tunggu!!" Vina terus berjalan, mengabaikan panggilan Sean. Ia segera masuk lift, namun dengan cepat Sean berhasil menahan lift yang akan tertutup. Sean masuk. Keduanya saling diam di dalam lift. "Lo gak mau jelasin sesuatu sama gue?" tanya Sean. "Gak!" Vina memalingkan wajahnya, tidak sudi menatap Sean. "Davina!" Sean merengkuh bahu Vina, hingga ia menghadap Sean. "Kenapa lo masih simpen ini?" Sean menunjukkan jepit rambut mutiara itu ke depan Vina. Vina diam enggan menjawab. Sean menghela napasnya yang berat. "Jawab! Apa lo masih suka sama gue?" "Gak!" Vina memalingkan wajahnya. "Yakin?" "Iya." Vina mencengkram ujung roknya, meremasnya. Menyalurkan gejolak perasaan yang menggebu di dalam d**a. Vina menggulum bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang entah kenapa ingin menerobos keluar. "Tatap mata gue?" Sean memaksa Vina menatapnya, namun Vina justru menundukan kepala. "Bilang kalau lo gak cinta sama gue?" Sean tak mengerti dengan dirinya sendiri, kenapa ia ingin sekali mendengar kata cinta dari bibir Vina. Entah karena perasaan yang teramat dalam atau hanya emosi sesaat. "Katakan!" "Gue gak cinta sama lo! Gue benci sama lo!" Vina mendongak, memaksakan diri untuk menatap Sean. Matanya yang bulat, terlihat bening dengan air mata yang menumpuk dipelupuk matanya. Sean melepaskan tangannya dari bahu Vina. Entah kenapa kata-kata yang Vina lontarkan begitu menyakitkan bagi Sean. Ada apa ini? Entah dorongan dari mana Sean menarik lengan Vina ketika pintu lift terbuka. Vina yang sudah akan melangkah keluar justru tertarik mundur menabrak d**a bidang Sean. Dan hal tak terduga terjadi, Sean menciumnya. Membuat tubuh Vina terpaku, tak mampu bergerak. Sementara di depan lift, beberapa karyawan melongo melihat adegan itu. Termasuk Bian, ia mengembuskan napasnya dengan kasar. "Bakal jadi skandal besar ini, siap-siap negara Api menyerang," gumam Bian, geleng-geleng kepala.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD