Episode 3 : Perasaan

1366 Words
Episode 3 Satu tahun kemudian. Prang. Suara kaca pecah yang berasal dari ruang tamu membuat Amora langsung berlari ke sumber suara. "Apa yang terjadi? Apa kali ini Zein dalam mood yang buruk lagi? Akhir-akhir ini dia benar-benar terlihat kacau." gumam Mora. Saat tiba di ruang tamu, Mora memperhatikan Zein yang duduk di sofa dengan tangan menjambak rambutnya sendiri. Tanpa menunggu persetujuan Zein, Mora langsung membersihkan pecahan gelas yang beberapa saat lalu sengaja dipecahkannya. Pemandangan seperti ini sudah sering kali Mora lihat sejak Mora tinggal di rumah Zein. Ya, setahun yang lalu saat Mora pingsan dalam pelukan Zein, lagi-lagi Zein menyelamatkan gadis itu. Sejak itu pula Zein menawarkan Mora tinggal di rumahnya. Setahun yang lalu, saat Mora menghubungi ibunya, beliau mengabarkan kalau Reihan kecelakaan dan koma di rumah sakit. Ibunya melarang Mora menghubungi mereka karena takut telpon mereka disadap. Saat itu Mora menyadari kalau orang yang berurusan dengan ayahnya adalah orang yang sangat berbahaya. Jika nekat sedikit saja, nyawa seseorang bisa melayang. Dunia Mora seakan runtuh. Mora kehilangan segalanya. Keberadaan Zein, seperti penerang dalam dunianya yang tiba-tiba jadi gelap. Mora menerima tawaran Zein karena tidak punya tujuan dan juga tidak tau harus kemana. Lagipula pertemuan mereka seperti sebuah takdir. Pertama kali mereka bertemu mungkin bisa disebut sebuah kebetulan. Tapi di pertemuan kedua, bagi Mora itu adalah takdir yang digariskan. Zein sudah ditakdirkan untuk jadi penyelamatnya. Mora menghampiri Zein yang kini sudah lebih tenang. Gadis itu tidak berani bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Tapi sedikit banyak Mora tau apa penyebabnya. Ya, pasti wanita itu. Dia, si dokter cantik yang sampai sekarang tidak menyadari kalau Zein bukan hanya menganggapnya sebagai teman. "Kau pasti terkejut. Lagi-lagi aku tidak bisa mengontrol emosiku Mora." ujar Zein. Zein menghela nafas berat. Seperti biasa, Zein tidak akan mengatakan apapun. "Aku mulai terbiasa menghadapi pemandangan seperti ini sejak setahun yang lalu, Zein. Sekarang pecahan gelas atau piring jika kau sedang marah merupakan hal yang biasa bagiku." balas Mora. "Tidak terasa sudah setahun sejak kau disini. Bagaimana kabar keluargamu?" tanya Zein mengalihkan pembicaraan. "Terakhir menelpon, Mama marah. Mama memintaku menyembunyikan diri dengan baik dan tidak usah mempedulikan apapun yang terjadi pada mereka. Mama takut telponnya disadap. Mama percaya aku bisa menjaga diri dengan baik." jawab Mora sedih. "Apa laki-laki itu masih mencarimu?" tanya Zein lagi. "Karena sejauh ini perusahaan Papa baik-baik saja, artinya laki-laki itu masih belum melakukan apapun pada papa. Sepertinya yang diinginkan laki-laki itu bukan harta. Aku sendiri bingung apa yang diinginkannya." jawab Mora. Zein menepuk-nepuk pundak Mora memberi semangat dan kekuatan. "Kau bisa tinggal disini selama yang kau mau Mora. Aku tidak akan mengusirmu. Tapi ingatlah satu hal, peraturanku masih sama. Kau tidak boleh ikut campur dalam masalahku. Tutup mulut, tutup mata, dan tutup telinga dari apapun yang terjadi di rumah ini." ujar Zein. "Aku masih mengingatnya dengan baik Zein. Untuk itulah aku tidak akan menanyakan apapun. Kecuali jika kau sendiri yang ingin mengatakannya." balas Mora. Cukup lama mereka terdiam. Baik Mora maupun Zein, sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Zein kembali menghela nafas berat. Sepertinya kali ini Zein benar-benar butuh seseorang untuk diajak bicara. "Setelah setahun tinggal bersama, kau pasti bisa menebaknya dengan mudah. Hanya gadis itu yang bisa membuatku kacau seperti ini. Gadis periang yang sayangnya tidak peka pada perasaan orang." ujar Zein pelan. Sejak awal Mora sudah menduganya. Wanita itu, Arumi Dwi Lestari, wanita yang selalu berhasil membuat Zein berubah menjadi orang lain. Kali ini entah apa yang membuat Zein begitu emosi dan memecahkan gelas. "Lagi-lagi aku kalah cepat dari Juan. Dia sudah lebih dulu mengajak Arumi ke acara perayaan hari jadi pernikahan papi dan mami. Aku kesal dan juga marah. Juan, dia tidak pernah mencintai Arumi. Hanya demi menyakitiku, Juan sampai begitu tega memanfaatkan perasaan Arumi." geram Zein. Sampai sekarang Mora masih tidak mengerti kenapa Juan dan Zein saling membenci hanya karena mereka saudara tiri. Zein bahkan keluar dari rumah orang tua mereka karena tidak ingin tinggal seatap dengan Juan. Zein menghela napas berat. "Juan yang sangat mengetahui kelemahanku, dengan begitu tega memanfaatkan rasa cintaku pada Arumi. Bodohnya Arumi cinta mati pada Juan dan tidak menyadari perasaanku padanya." Mora hanya diam dan jadi pendengar yang baik. Zein terlihat begitu rapuh dalam keadaan seperti itu. Nama Arumi tertanam jelas dalam hati dan pikiran Zein. Perasaan Zein pada gadis itu, bukan perasaan yang terjadi dalam satu dua hari. "Zein apa tidak sebaiknya kau ungkapkan perasaanmu pada Arumi? Dengan begitu dia akan tau seperti apa perasaanmu padanya." usul Mora. "Tidak semudah itu Mora. Jika aku gegabah sedikit saja, bisa-bisa aku merusak persahabatan kami." ujar Zein. "Kau tidak akan tau seperti apa hasilnya jika kau belum mencobanya, Zein. Aku yakin Arumi bukanlah wanita yang berpikiran sempit." lanjut Mora. Zein diam. Sepertinya Zein sedang memikirkan perkataan Mora. Zein laki-laki yang beruntung. Walaupun mencintai dalam diam, Zein bisa selalu dekat dengan orang yang dicintainya. Tidak seperti Amora yang diam-diam terluka karena Reihan dikabarkan sudah punya pasangan baru. Mora tidak bisa menyalahkan Reihan dan memintanya menunggu. Mora bahkan tidak tau sampai kapan harus melarikan diri. Mora yakin laki-laki yang kini sedang mencarinya, pasti menunggu saat yang tepat untuk menangkapnya. Lagipula, Mora tidak ingin membahayakan Reihan seperti setahun yang lalu. Melihat Reihan masih hidup saja, sudah membuat Mora bahagia. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada Reihan, Mora pasti merasa bersalah seumur hidup. Mora menggeleng beberapa kali untuk mengusir bayangan Reihan dari kepalanya. Gadis itu menepuk pipi sebelum akhirnya berdiri. "Akan ku buatkan makanan yang enak. Jadi kumpulkan tenagamu untuk mulai memperjelas hubungan kalian pada Arumi." ujar Mora. Zein diam saja. Mora segera ke dapur bergabung dengan bik Siti pembantu rumah Zein. Sebenarnya jika ada tamu yang datang ke rumah Zein, Mora lebih memilih bersembunyi di kamar atau pura-pura jadi pembantunya. Mora memang tinggal di kamar belakang, jadi tidak sulit bagi gadis itu untuk menyembunyikan diri. Bukan apa-apa. Mora tidak ingin orang lain salah paham dan menganggap hubungan mereka spesial. Walaupun tidak diperlakukan seperti pembantu ataupun tamu, Mora tidak ingin Zein kesulitan karena kehadirannya. Mora mulai membantu bik Siti menyiapkan makan malam kesukaan Zein. Sekarang Mora sudah terbiasa melakukan semua pekerjaan rumah. Sejak tinggal di rumah Zein, Mora belajar banyak hal dan melakukan segalanya. Mora malu jika hanya duduk diam dan makan gratis di rumah laki-laki itu. Awalnya memang sulit menyesuaikan diri. Apalagi Mora bahkan tidak pernah menyentuh pekerjaan sebelum tinggal disana. Tapi lama kelamaan, Mora jadi terbiasa. Sekarang, Mora bahkan sudah bisa memasak. *** Setelah memikirkan perkataan Mora, akhirnya Zein bertekad untuk mengajak Arumi keluar. Jika dipikir baik-baik, Mora ada benarnya. Untuk tau perasaan Arumi, Zein harus mengungkapkan perasaannya terlebih dahulu. Jika hanya diam dan menganggap semua baik-baik saja, maka selamanya Arumi tidak akan tau bagaimana perasaan Zein padanya. Arumi tipe wanita cuek dan tidak peka. Tapi disitulah letak menariknya Arumi. Mereka berteman sejak kecil dan hidup dilingkungan yang sama. Sejak kecil Arumi seperti magnet yang menarik Zein untuk terus berada di sekitarnya. Zein bahkan mengikuti jejak Arumi hingga menjadi seorang dokter. Semua berubah sejak kedatangan Juan dan ibunya. Saat itu usia Zein baru 15 tahun. Ibunya meninggal dan ayahnya memutuskan untuk menikah lagi. Tiba-tiba Zein punya saudara tiri yang usianya hanya terpaut 1 tahun dengannya. Namanya Juan. Sejak masuk ke keluarga Luis, otomatis Juan juga menyandang nama Bahtiar Luis sama sepertinya. Kedatangan Juan dan ibunya dalam keluarga Zein, sama dengan petaka bagi laki-laki itu. Ayahnya dan Arumi entah bagaimana begitu menyukai Juan yang penurut dan cerdas dalam berbagai hal. Zein terlupakan. Bahkan Arumi yang selalu menempel pada Zein, kini mulai mengikuti Juan kemanapun laki-laki itu pergi. Perasaan Zein, bertumpuk menjadi kebencian hingga Zein dewasa. Zein kesal. Zein marah. Rasa cemburu membuat Zein hilang akal dan memutuskan keluar dari rumah dan belajar hidup mandiri. Cukup sudah Zein menahan semuanya sejak 15 tahun yang lalu. Zein merasa dirinya sudah dewasa. Zein tidak ingin lagi melihat kasih sayang ayahnya yang kini sepenuhnya tercurah pada Juan, calon penerus perusahaan keluarga mereka. Zein memang tidak tertarik dalam urusan bisnis yang dikelola ayahnya, Luis. Untuk itu Zein mengambil jurusan kedokteran yang jelas bertolak belakang dengan keinginan Luis. Zein bukan sengaja menentang Luis dan keluar dari zona yang sudah Luis siapkan, tapi Zein merasa Arumi adalah prioritas yang harus Zein utamakan. Bagi Zein, jika disana tidak ada Arumi, maka hidup Zein tidaklah menarik. Entah sejak kapan Zein mulai terobsesi pada gadis cantik itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD