Episode 2 : Ketakutan

1438 Words
Setelah kepergian Zein, Mora juga pergi meninggalkan rumah dokter tersebut. Mora berhenti disebuah warung makan untuk meminjam telpon. Gadis itu berusaha menghubungi ibunya dan menanyakan apa yang terjadi. Beruntung Mora mengingat nomor ponsel ibunya dengan jelas. "Halo, Ma. Ini aku Amora. Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana keadaan mama?" tanya Mora begitu telepon terhubung. Tidak ada jawaban. Amora mulai gelisah. "Ma ada apa? Kenapa mama diam saja? Tolong katakan sesuatu." ujar Mora nyaris putus asa. "Kau dimana?" Suara tegas dari ayahnya, seketika membuat tubuh Mora gemetar. Mora marah sekaligus kecewa pada laki-laki itu. "Dimana mama? Apa yang papa lakukan pada mama?" tanya Mora. "Mamamu baik-baik saja Mora, kau tidak perlu khawatir. Saat ini yang harus kau lakukan adalah bersembunyi sebaik mungkin dari orang-orang yang mengejarmu." tegas Parades, ayah Mora. "Apa maksudnya papa? Siapa mereka?" Parades menghela napas panjang. "Maafkan papa Mora. Karena keserakahan, papa jadi hilang akal dan menyetujui keinginan pemilik perusahaan saingan papa untuk menjadikanmu bahan taruhan judi yang kami lakukan." Mora sudah menduganya. Bukan kali ini saja ayahnya hilang akal dan menjadikan Mora taruhan dalam permainan judi. Tapi kali ini, sepertinya Parades tidak bisa lagi menyelesaikan masalah dengan uang. Untuk itu dia meminta Mora menyembunyikan diri dengan baik. "Aku kesal! Aku marah! Papa benar-benar membuatku dalam bahaya. Apa aku ini benar-benar anak papa?" teriak Mora. "Siapa yang menelpon? Apa itu Amora?" Suara asing yang terdengar melalui sambungan telepon, membuat Mora menajamkan pendengarannya. "Bukan! Dia sama sekali tidak bisa dihubungi. Aku kehilangan jejaknya." bohong Parades. "Cari dia sampai ketemu pak Parades. Jika kau sampai kehilangan dia dan melanggar perjanjian kita, maka semua aset kekayaanmu akan ku sita termasuk rumah ini." tegas suara diseberang telepon. Mora gemetar mendengar suara dingin nan penuh amarah dari orang yang mengancam ayahnya. "Siapa dia? Bagaimana bisa papa berurusan dengan orang kejam seperti dia? Kenapa juga dia begitu ingin menemukanku? Apa aku akan dijadikan budaknya?" batin Mora. "Halo Mora kau masih di sana?" tanya Parades. "Pa siapa dia? Bagaimana bisa papa berurusan dengan orang gila seperti itu? Bagaimana dengan kalian jika aku terus bersembunyi? Haruskah aku egois dan membiarkan kalian menderita? Aku yakin ucapan laki-laki itu bukan hanya sekedar ancaman pa." ujar Mora takut. "Oh ternyata pak Parades benar-benar sedang menerima telpon darimu Amora. Dimana kau?" tanya laki-laki diseberang telepon. Deg. Mora kembali gemetar saat mendengar suara yang beberapa saat lalu Mora pikir sudah pergi dari sisi ayahnya. Sepertinya laki-laki itu merampas ponsel saat ayahnya sedang lengah. "Aku mengenali nomor telpon ini berasal dari kota mana Mora. Telpon ini berada di kota tempat tinggalku. Ternyata kau sudah tidak sabar untuk tinggal denganku sampai-sampai kau melarikan diri kesana. Tunggu aku Mora, apapun caranya aku akan segera menemukanmu." tegas laki-laki tersebut. Mora langsung menutup sambungan telpon dengan tangan gemetar. Secepat kilat Mora meninggalkan area telpon tempat dimana tadi Mora menelpon ibunya. Laki-laki itu bisa saja menyuruh bawahannya untuk menangkap Mora sesegera mungkin jika Mora tidak langsung pergi dari sana. Apalagi kota ini, kota Jakarta adalah kota tempat tinggal laki-laki itu. *** Setelah yakin jaraknya sudah jauh, Mora menghampiri seorang tukang ojek dan meminjam ponsel darinya. Beruntung sang bapak baik hati dan mau meminjamkan Mora ponsel. Dengan tergesa Mora menghubungi seseorang yang sangat berarti baginya. Reihan, dia pacar Mora, lebih tepatnya calon tunangan Mora. Sebulan lagi mereka secara resmi akan bertunangan. Sekarang Mora jadi ragu apakah pertunangan mereka masih bisa dilanjutkan ataukah harus ditunda. Lama sekali telpon dari Mora baru dijawab. Reihan memang tipe orang yang tidak akan langsung mengangkat telpon dari nomor yang tidak dikenal kecuali sudah dihubungi berkali-kali. Mora nyaris putus asa saat akhirnya Reihan menjawab telepon. "Halo reihan ini aku Mora." ujar Mora begitu panggilannya diterima. "Mora? Ada apa sayang? Ini nomor siapa?" tanya Reihan. Mora langsung menangis begitu mendengar suara Reihan yang lembut dan menenangkan. "Hei ada apa sayang? Kenapa kau menangis? Dimana kau? Aku akan segera menemuimu." ujar Reihan. Dengan terbata Mora menceritakan apa yang terjadi. "Aku di Jakarta Rei. Apa kau bisa menjemputku?" tanya Mora lirih. "Jakarta? Baiklah. Kirim alamatmu padaku sayang. Aku akan segera menyusul kesana." tegas Reihan. "Iya Rei. Jangan lama-lama ya. Aku akan menunggumu dengan sabar. Aku takut Rei." isak Mora. Begitu telepon terputus, Mora langsung menanyakan alamat tempatnya berada sekarang pada pemilik ponsel. Tanpa membuang waktu, Mora langsung mengirim alamatnya pada Reihan. Perasaan Mora sedikit lebih tenang. Apalagi Mora berada di dekat hotel besar di Jakarta, dengan begitu Reihan akan mudah menemukannya. Setelah selesai, Mora mengembalikan ponsel milik si bapak dengan selembar uang 50 ribu. Dia tersenyum senang dan malah mengucapkan terima kasih pada Mora sebelum berlalu pergi. Ternyata selembar uang 50 ribu bisa sangat membahagiakan bagi orang lain. Mora tidak pernah tau itu karena selalu hidup mewah dan berkecukupan. Mora menghabiskan waktu menunggu Reihan dengan menikmati secangkir kopi di sebuah kafe yang terletak di dekat hotel tempat dimana mereka janjian untuk bertemu. Dua jam berlalu tapi Reihan sama sekali belum terlihat. "Kenapa Reihan belum datang juga? Ada apa ini?" gumam Mora resah. Mora baru saja akan memesan kopi ketiga saat tiba-tiba seorang laki-laki duduk di hadapannya. Mora melirik sekilas pada laki-laki yang kini tengah memperhatikannya dengan tatapan dingin. Dia tampan. Tapi tatapan dinginnya itu seolah akan membekukan seisi kafe. Karena risih terus diperhatikan, Mora akhirnya memilih untuk pergi dan menunggu di tempat lain. Tapi sapaan dari laki-laki itu, tiba-tiba membuat bulu kuduk Mora meremang. "Kalista Amora akhirnya kita bertemu." Deg. Mora tercekat. "Suara itu? Bukankah itu suara yang baru saja kudengar beberapa saat lalu? Apa mungkin dia orang yang sama dengan orang yang semalam hampir berhasil menangkapku?" batin Mora. Gemetar. Reaksi alami itu keluar begitu saja dari tubuh Mora yang mendadak jadi kaku. "Duduklah. Aku hanya ingin mempertegas siapa kau dan siapa aku dalam perjanjian antara aku dan ayahmu." perintah laki-laki itu. Mora langsung terduduk lemas dan meremas ujung dress yang dia kenakan. "Kemana Reihan? Kenapa dia tidak datang? Lalu kenapa laki-laki ini yang datang? Apa ponsel Reihan disadap? Atau apa dia sudah mencelakai Reihan?" Mora kembali membatin dengan banyak pertanyaan berkecamuk di kepalanya. Gadis itu berusaha keras untuk tenang. Jalan satu-satunya Mora harus menuruti keinginan laki-laki itu dan mencari waktu yang tepat untuk melarikan diri. "Jangan tunggu orang yang sedang kau tunggu. Saat ini keadaan orang itu tidak baik-baik saja. Jika bukan di rumah sakit, maka sekarang dia pasti berada di kuburan." ujar laki-laki itu santai. "Kau gila! Apa yang kau lakukan pada Reihan? Kau mau apa? Aku tidak punya apa-apa untuk diberikan padamu Tuan." ujar Mora. Suara Mora bergetar menahan takut serta air mata yang seperti akan jatuh. "Wah ternyata sopan santunmu sangat baik Mora. Aku memang sedang mencari pasangan yang sopan dan penurut sepertimu." ujar laki-laki tersebut. "Dasar sinting! Apa kau laki-laki tidak laku hingga harus menipu papa hanya untuk mendapatkanku?" tanya Mora sengit. "Kau salah sayang. Aku tidak menipu papamu. Dia sendiri yang menawarkan anaknya demi bertaruh untuk mendapatkan perusahaanku. Lagi pula apa laki-laki sepertiku terlihat seperti laki-laki yang tidak laku?" ujarnya angkuh. "Akh perutku. Kenapa perutku begitu sakit?" teriak Mora tertahan. Mora sudah tidak peduli terhadap kata-kata yang keluar dari mulut laki-laki itu karena menahan rasa sakit. "Jangan berakting Mora. Aku tidak akan tertipu dengan akting murahanmu." umpatnya. Perut Mora benar-benar sakit. Kepalanya juga pening. Mungkin ini akibat dari dua cangkir kopi yang baru saja Mora minum. "Sial! Jangan sampai aku pingsan lagi dan memberikan kesempatan pada laki-laki itu untuk menangkapku." gumam Mora. Keringat dingin yang mengucur deras dari pelipis Mora, mau tidak mau membuat laki-laki itu mendekat dan segera memapah Mora keluar. "Permainannya jadi tidak seru kalau kau sakit Mora." bisiknya. "Diam kau brengsek." maki Mora. Laki-laki itu hanya tertawa mendengar makian Mora. Dia memapah Mora sampai ke luar dan meminta Mora duduk di sebuah kursi. "Tunggu disini dan jangan coba-coba kabur." tegasnya. Setelah laki-laki itu tidak terlihat lagi, Dengan menahan rasa perih yang menjalar dari area perut, Mora mencoba lari sejauh mungkin. Telapak kakinya yang semalam terluka, masih terasa sakit saat dipaksakan untuk berjalan. Dengan terseok-seok Mora memilih jalanan yang dipenuhi orang yang lalu lalang dan melebur bersama mereka. Sesekali Mora menoleh kebelakang mencoba mencari tau apakah laki-laki itu masih mengikutinya atau tidak. Beruntung laki-laki itu tidak mengikuti Mora atau sudah kehilangan jejak gadis itu. Dengan menahan sakit, Mora terus berjalan tanpa tau arah dan tujuan. Mora sudah tidak kuat lagi dan hampir menyerah terhadap rasa sakit yang dia derita. Tapi harapan baru muncul saat dari kejauhan Mora melihat dokter Zein sedang berjalan tergesa-gesa dan tidak menyadari keberadaannya. Begitu Zein mendekat, Mora meraih tangan laki-laki itu. Seketika Zein langsung menoleh kearah Mora dengan terkejut. Saat itulah kesadaran Mora hilang dan terkulai lemas di pelukan Zein. Sekali lagi Mora merasa beruntung dipertemukan dengan Zein dalam keadaan seperti ini. Setidaknya walaupun sekarang Mora mati, Mora tidak mati bersama laki-laki itu. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD