Mata Iqlima membola, sejak tadi diam, tapi sekalinya bicara sukses membuatnya panik.
Segera Iqlima mengekor di balik punggung Afkar, sementara pria itu masih fokus mengeringkan rambut dan wajahnya.
"Sebentar, ini maksudnya jemput ke mana?"
"Rumahku," jawab Afkar singkat, tanpa menatap ke arahnya tentu saja.
Masih tak habis pikir, Iqlima tidak mengira bahwa Afkar akan membawanya secepat itu. Tepat beberapa jam setelah akad nikah, tidak ada agenda menetap dulu di rumah kedua orang tuanya.
"Secepat itu?"
"Hm, aku tidak punya waktu ... begitu banyak pekerjaan yang menantiku, aku harap kamu bisa diajak kerja sama," ucapnya seolah bukan bicara bersama istri, tapi pada rekan kerja.
Ya, Iqlima sadar betul kemungkinan besar Afkar sangat keberatan. Beban dari Rayyanza yang tiba-tiba memberikan amanah semacam ini terlalu merepotkan untuk seorang pengusaha sesukses Afkar.
Terlebih lagi, menurut informasi dari salah-satu sepupunya barusan, dia baru saja melihat profile Afkar di sosial media dan memang bukan termasuk seseorang yang banyak waktu senggang.
Bukan hal aneh jika dia meminta segera pulang, toh memang banyak kesibukan. Pernikahan ini juga bukan sesuatu yang dia rencanakan, begitu pikir Iqlima.
Atas pertimbangan tersebut, Iqlima tidak ingin egois dan dengan tegas menganggukan kepala. "Aku siap-siap dulu."
"Tidak perlu," tegas Afkar sontak menghentikan langkah kaki Iqlima.
Dia menoleh, menatap Afkar penuh tanya lantaran ucapan itu terlalu aneh tentu saja. "Kenapa? Aku perlu pakaian."
"Sedang disiapkan di sana jadi tidak perlu membawa apa-apa."
Sudah disiapkan katanya, Iqlima sempat tertegun dan merasa Afkar memang sesiap itu untuk menjadi pengganti Rayyanza.
Pertama kalinya, ucapan terima kasih lolos dari bibir wanita itu. "Terima kasih, Mas, maaf merepotkan."
"Tidak apa, kamu istriku ... jadi sudah tanggung jawabku," ucap Afkar sembari menatap wajah Iqlima yang sedari tadi juga menatapnya.
Pandangan keduanya bertemu sejenak, tapi kemudian segera berakhir tatkala Iqlima sontak berlalu pasca menerima handuk yang Afkar berikan.
Dari tempatnya berdiri, Afkar bisa melihat gelagat Iqlima yang sebenarnya salah tingkah, karena mungkin mereka tidak saling mengenal sebelumnya.
Dalam diam, Afkar sempat tersenyum tipis. Menyaksikan Iqlima yang kini mengganti kaos kaki dan juga menyiapkan tas kecil.
Agaknya wanita itu adalah tipe yang penurut, dan mudah percaya karena sejauh ini penyamaran Afkar berjalan begitu mulus.
Tak begitu sulit baginya untuk membawa Iqlima segera bersamanya, dan dengan begini maka Afkar tidak perlu merasakan yang namanya hidup di atap bersama mertua dan kakak ipar yang Afkar khawatirkan akan sedikit berbahaya.
Dia adalah Habil, salah-satu alasan kenapa tekad Afkar begitu bulat untuk membawa Iqlima hari ini juga ke kotanya.
Karena sejak awal, pria itu selalu melayangkan tatapan tak suka padanya dan itu yang Afkar hindari.
Jika sampai ada kecurigaan, tentu misi balas dendam yang sudah dia tata dan butuh waktu lama ini akan gagal di tengah jalan.
Lima belas menit berlalu, sesuai dengan yang Afkar ucapkan asistennya benar-benar datang menjemput dan jelas ini menjadi momen di mana Iqlima harus pamit.
Sebelumnya Afkar sudah mengatakan ini pada keluarga besarnya, dan dengan kemampuan Afkar dalam bersandiwara, dengan begitu mudah kedua orang tua Iqlima percaya.
Atau, dengan kata lain Afkar direstui bahkan mereka sampai mengucapkan terima kasih karena berkat Afkar, nama baik keluarga Kiyai Hasan Sanusi terjaga.
"Sekali lagi, Abi titip Iqlima ... mohon jaga baik-baik sekalipun kau belum mencintainya," ucap pria paruh baya yang kini mendekap erat tubuh Afkar.
"Insya Allah, Abi, apa yang menjadi janji Rayyanza adalah janji saya juga." Begitu tegas Afkar bicara, dia telah belajar banyak hal bahkan menyusun kata-kata sejak lama hanya demi menyamarkan belangnya.
Dalam pelukan pria yang sejujurnya ingin dia habisi, Afkar berlagak menantu penurut dan memang patut dibanggakan.
Akan tetapi, beralih pada kakak iparnya, Afkar agak kesulitan karena menurut informasi yang dia ketahui, Habil begitu dekat dengan Rayyanza.
"Jangan macam-macam, berani kau menyakiti Iqlima ... aku tidak akan tinggal diam, Afkar," ucap Habil penuh penekanan, Afkar dengan jelas menangkap ada ancaman tersirat di balik amanahnya.
"Tenang saja, tanpa perlu dijelaskan ak-"
Belum selesai Afkar bicara, Habil sudah pergi lebih dulu dan sikapnya semakin membuat Afkar murka. Pria itu mengepalkan tangan, tapi tentu saja dia harus menjaga sikap.
Bukan saatnya untuk bertengkar, walau has-rat untuk menghajar Habil jelas saja ada. Sesuai rencana, dia tetap harus bersikap seolah begitu baik di hadapan keluarga Iqlima.
Begitu meninggalkan kediaman utama keluarga itu, Afkar sedikit lebih lega. Dia bersandar di kursi penumpang sembari mengusap kasar wajahnya.
Untuk seorang pendosa sepertinya, bersandiwara di hadapan keluarga dengan Agama yang kuat ternyata cukup menyulitkan. Afkar harus super berhati-hati agak tidak menimbulkan kecurigaan.
Perubahan sikap Afkar yang terlihat lelah tentu saja tertangkap jelas di mata indah Iqlima. Seketika, dia mengingat sikap Habil pada suaminya yang membuat wanita itu merasa tak enak hati.
"Aku minta maaf atas sikapnya, dia begitu karena belum mengenalmu saja," ucap Iqlima dengan maksud baik, meski tahu Afkar kemungkinan telanjur gondok dengan sikap angkuh Habil pada orang baru.
"Begitu?"
"Iya, dulu Mas Rayyanza juga bilang begitu ... apa dia tidak cerita padamu?"
Afkar terdiam sejenak, mana dia tahu, mengenal Rayyanza secara pribadi saja tidak sebenarnya. "Ehm, tidak, Rayyanza hanya cerita dia akan menikah dulunya, tidak sampai menceritakan keluarga calon istrinya."
"Ouh agak kurang terbuka ternyata ... tapi, bukankah kalian sangat dekat?" tanya Iqlima basa-basi, mencoba untuk membangun kedekatan sebagaimana yang diajarkan uminya.
"Tentu saja, buktinya dia menyerahkanmu padaku secara suka rela," ucap Afkar beralih menatap Iqlima dengan tatapan tak terbaca disertai senyum tipis yang sukses membuat Iqlima menunduk seketika.
.
.
- To Be Continued -