BAB 05 - Welcome to The Hell

808 Words
Sungguh Iqlima tidak mengerti, apa mungkin pesona pria yang halal untuknya ini memang seluar biasa itu sampai menatapnya saja tidak mampu. Padahal, kata-kata yang Afkar lontarkan bukankah gombalan maut atau semacamnya. Hanya sebuah fakta yang memang masuk akal, bukti bahwa mereka sangat dekat. Sesekali dia mere-mas ujung kerudungnya, katakan saja salah tingkah karena memang benar adanya. Senyum tipis Afkar seolah dia artikan sebagai senyum menggoda, padahal ada makna tersirat di dalam sana. Niat hati ingin mencairkan suasana, seketika beralih makin canggung saja. Sepanjang perjalanan menuju ibu kota, Iqlima memilih diam. Dan diamnya berlanjut menjadi pura-pura tidur demi menghindari Afkar karena sejak awal, pantang bicara dia yang justru berakhir kehabisan kata-kata. Hingga, setelah melewati perjalanan darat kurang lebih tiga jam, mereka tiba di Jakarta. Iqlima menginjakkan kaki di tanah kelahiran Abinya, menikah dengan Afkar sama saja dengan kembali ke asalnya. Tentu kota itu bukanlah tempat yang begitu asing bagi Iqlima. Hanya saja, dia agak terkejut karena tidak berekspektasi akan meninggalkan kedua orang tuanya secepat itu. Perjalanan berlanjut menuju kediaman utama Afkar, dan masih ditemani Justin, asisten sekaligus sahabatnya yang cukup setia. Situasi di antara mereka masih sama, Iqlima yang memang tidak terlahir sebagai wanita friendly makin kesulitan begitu dihadapkan dengan kanebo kering seperti Afkar. Sama sekali tidak ada pembicaraan, hingga memasuki kediaman utama pun demikian. Iqlima sempat berdecak kagum begitu menyaksikan istana yang menjadi hunian Afkar. Jika dilihat dari bentuk bangunannya, sudah tentu rumah ini baru dan kemungkinan baru dihuni beberapa bulan, bahkan mungkin minggu yang lalu. "Masuklah, kamarmu di atas." Sedari tadi diam, Afkar baru kembali bersuara setelah mereka menginjakkan kaki di ruang tamu. Itu pun dengan perkataan yang lagi-lagi membuat Iqlima mengerutkan dahi. "Apa kamu bilang? Kamarku?" "Hem," jawab Afkar lagi, seolah mengerti bahwa Iqlima tengah butuh penegasan. "Sebentar, maksudnya kamarku gimana? Kita tidur di kamar terpisah?" tanya Iqlima langsung pada intinya, tentu saja dia mulai berpikir yang macam-macam. Mendapati pertanyaan tersebut, Afkar tak segera menjawab. Dia kembali melayangkan tatapan tak terbaca yang memang cukup sulit Iqlima terka. Pria itu mendekat, perlahan mengikis jarak hingga deru napas Afkar terasa menghangat di wajahnya. "Sedari dahulu aku sangat tidak suka dengan perempuan banyak tanya, Iqlima," pungkas Afkar sebelum kemudian berlalu ke kamar utama. Meninggalkan Iqlima yang terkejut karena sikapnya mendadak berubah, atau mungkin memang begini sebenarnya. Wajah Iqlima yang tadinya sempat pucat, kini semakin pucat tak ubahnya kehabisan darah. Dia melirik ke lantai dua, tempat di mana Afkar menunjukkan kamarnya. Beberapa saat menunggu, seorang wanita paruh baya menghampiri Iqlima dan menyambutnya sebagai tamu tentu saja. "Selamat datang, mari saya antar," ucap wanita itu penuh kelembutan, wajahnya yang ramah sedikit menjadi obat karena sedari tadi terus berharapan dengan Afkar seorang. "Iya, Bi." Tak ingin membuat wanita itu tersinggung, Iqlima turut membalasnya dengan sopan karena jelas saja tidak ingin kekesalannya pada Afkar membuat yang lain terkena imbasnya. Dengan langkah pasti, Iqlima mengikuti langkah wanita paruh baya itu ke lantai dua. Tempat di mana kamarnya berada. Dalam pikiran Iqlima, kamar yang diberikan untuknya adalah yang terlihat dari tangga. Nyatanya, kamar untuknya berada di sudut ruangan dan ukurannya begitu kecil. Begitu masuk, yang ada di sana hanya sebuah tempat tidur dengan satu bantal. Lemari kecil, tanpa AC dan bisa dibilang lebih menyedihkan di banding kamar pembantu. Sedikit terselamatkan karena sudah ada kamar mandi, dan tentu saja ukurannya sangat sempit lagi. "Ehm, Bi ... i-ini kamarnya?" tanya Iqlima sekali lagi tidak percaya, sungguh ini di luar ekspektasinya. "Iya, kenapa memangnya?" Bingung, Iqlima benar-benar tidak bisa berkata apa-apa. "Atau mau tukeran sama saya?" Iqlima seketika menggeleng, dia menolak dan mempersilakan wanita itu untuk keluar segera. Setelah memastikan wanita itu keluar, Iqlima terduduk lemas di tepian tempat tidur. Sesuai dengan prediksinya, Afkar tidak benar-benar menerima amanah Rayyanza karena kini dia justru diperlakukan dengan sangat tidak baik di hari pertama. Sudah tentu amanah itu menjadi beban, lagi dan lagi Iqlima kembali membenci Rayyanza sampai berteriak kencang. Dia menangis, ingin berontak dan mengadu, tapi semua sudah terjadi. Di tengah isak tangisnya, Iqlima kemudian beranjak menuju lemari, memastikan apa benar Afkar sudah menyiapkan pakaian untuknya. Dan benar saja, lemari kayu ukuran kecil yang cukup untuk anak kost itu tidak kosong. Ada beberapa pakaian yang kualitasnya tentu saja jauh di bawah pakaian sehari-hari Iqlima. "Ya Tuhan, apa yang dia lakukan sebenarnya ... jika memang keberatan, kenapa tidak menolak saja?" Iqlima bermonolog, tangannya bergetar tatkala meraih abaya hitam polos di dalam lemari tersebut. Tak kuasa menahan tangisnya, Iqlima terduduk lemas seraya memeluk lutut dan kembali meratapi Rayyanza yang tega memberikannya pada laki-laki seperti Afkar. Dan, di luar dugaan Iqlima, kesedihan dan kehancurannya saat ini menjadi tontonan menarik bagi Afkar yang tengah duduk santai di hadapan monitor. Jauh sebelum kamar itu dihuni, dia sudah menyiapkan CCTV dan Afkar benar-benar menikmati episode perdana hari ini. Dengan ditemani sebatang rokok di sela jemarinya, Afkar tersenyum puas dan tak melepaskan Iqlima dari pandangannya. "Welcome to the hell, Iqlima." . . - To Be Continued -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD