Bab 2

1747 Words
Sebuah pesan masuk ke dalam ponsel Sirin. Segera ia menyambar ponselnya yang berada di atas nakas dan membuka pesan itu. Udah ngerjain tugas Kimia Bu Riri? -Tiara- Ternyata pesan dari teman satu bangkunya. “Tugas Kimia Bu Riri,” gumam Sirin seraya menatap buku-buku yang berserakan di meja belajar. Ia mengangguk-anggukkan kepala, ingat bahwa ia sudah menyelesaikan tugas itu dari kemarin. Awalnya Sirin ingin membalas pesan tersebut. Tapi ia mengurungkan niatnya dan malah mendial nomor Tiara. Dalam dering ketiga, temannya itu mengangkat panggilan teleponnya. “Gimana, lo udah ngerjain belum tugasnya?” tanya Tiara. “Udah kelar dari kemarin.” Sirin berbaring di atas kasurnya dan meraih remot TV yang berada di atas nakas di sebelahnya. Lalu ia menekan tombol power agar TV itu menyala. “Asik! Gue nyontek nomor 3 sama 5,” balas Tiara dengan semangat. “Dih, nyontek,” ujar Sirin geleng-geleng kepala. “Eh, lo nggak di-Whatsapp si Zidan?” Gara-gara di pesan Zidan bilang rahasia dan tidak boleh bilang ke siapa-siapa, Sirin jadi tidak bertanya kepada Tiara soal hal ini. Dan berhubung sekarang ia sudah tahu tadi itu soal apa, sepertinya tidak masalah jika Sirin bertanya kepada Tiara. Lagian, Tiara juga cukup dekat dengan Alita. Seharusnya dia pun diikut sertakan dalam rencana tersebut. “Soal kumpul di taman belakang gedung olahraga tadi sepulang sekolah?” “Iya. Lo juga dapat Whatsapp, ya?” “Dapat. Tapi kan gue nggak bisa. Tadi pulang sekolahkan gue ada acara keluarga di rumah tante gue.” “Ah, iya.” Sirin ingat, tadi setelah bel pulang sekolah, Tiara terlihat buru-buru pulang. Tiara juga sempat bilang kalau ada acara keluarga. “Emang tadi itu soal apa?” Dan akhirnya Sirin menjelaskan apa yang Zidan ungkapkan tadi. Ia menceritakan rencana Zidan untuk mengerjain Alita dalam rangka peringatan hari jadi mereka. Tiara mendengarkan dengan seksama. Tapi ketika cerita Sirin sampai pada saat ia dijadikan hantu Bloody Mary, Tiara langsung tertawa. “Itu semua gara-gara Pandu,” keluah Sirin mengabaikan tawa Tiara. “Sumpah, tuh cowok beneran punya dendam kayaknya sama gue. Masak gue dijadiin sasaran dia mulu.” Masih dengan sisa tawanya Tiara menjawab, “Pandu kan emang kayak gitu orangnya, Rin. Omongannya emang pedes. Untung gue tadi nggak ikut, bisa-bisa gue yang malah dijadiin tumbal.” “Terus lo bakalan ikutan nggak nanti pas hari H?” tanya Sirin dengan mata fokus ke arah layar TV di hadapannya yang tengah menampilkan sebuah iklan sepatu. “Nggak tahu,” jawab Tiara diiringi suara kunyahan. Sirin menebak Tiara sedang ngemil. Tiara memang tidak takut gendut, ngemil malam-malam begini. Sangat beda dengan Sirin. “Emang kapan sih, acara kejutan itu?” “Tiga hari lagi kayaknya.” Jari tangan Sirin menekan tombol-tombol di remot. Mencari acara yang bagus. “Kayaknya nggak bisa deh, gue. Seminggu ke depan gue bakalan sibuk banget dengan acara-acara keluarga gitu. Kakak sepupu gue mau nikah, jadi bakalan ikut ribet gitu sih.” Sirin menghela napas dalam. Tiba-tiba saja ia memikirkan hari ulang tahunnya yang akan tiba seminggu lagi. Apa kira-kira teman-temannya tahu bahwa sebentar lagi ia ulang tahun? Akankah ia akan mendapatkan kejutan seperti yang akan Alita dapat? Tapi kan Sirin tidak punya pacar, mana mungkin ada yang bela-belain ngasih kejutan spektakuler begitu. Palingan juga kejutan seperti biasa, Alita dan teman-temannya datang ke rumah dan memberikan kue ulang tahun. Jika memang seperti itu, Sirin beneran nggak akan tekejut. “Kenapa lo?” tanya Tiara seakan sadar bahwa Sirin sedang galau. “Gue sebentar lagi ulang tahun,” jawab Sirin. “Guenya malah sibuk jadi hantu buat ngasih surprise orang lain.” Sirin terkekeh. Meskipun sebenarnya hatinya ngilu. Tiara kembali tertawa. “Ya malah ngode gue. Lo mau juga dikerjain kayak gitu?” Sekarang gantian Sirin yang tertawa. “Nggak gitu.” “Nanti gue kerjain deh. Gue umpetin HP lo,” balas Tiara masih dengan tawanya. “Kalau HP gue beneran ilang, berarti lo yang ngambil.” Kini mereka berdua sama-sama tertawa. Meskipun hanya sebuah bercandaan, sebenarnya Sirin menaruh harapan untuk dikerjain. Ia ingin punya kenangan seru tentang hari ulang tahunnya. Seperti Tiara yang pernah kena tilang waktu naik motor mau ke supermarket. Terus waktu Tiara nangis gara-gara dimarahin polisi itu, tahu-tahu Nugra, pacarnya, muncul entah dari mana. Dan ternyata polisi yang menilangnya itu adalah kakak sepupu Nugra. Itu semua hanya sekenario saja untuk mengerjainya. Sirin ingin mengalami kejadian mengejutkan yang berakhir bahagia seperti itu. Tapi balik lagi, Sirin jomlo. Tak ada yang akan memberinya kejutan seperti itu. Terdengar suara gaduh dari seberang telepon yang membuat Sirin mengerutkan dahi. “Lagi ada bencana apa di rumah lo, Ra?” “Si Bucil nyolong ikan. Emak gue lagi ngomelin dia.” Sirin tertawa mendengarnya. Bucil itu adalah kucing kampung peliharaan keluarga Tiara. Tiara sering menceritakan Bucil yang suka bikin ulah. Entah nyolong ikan, manjat lemari, berantem sama kucing manapun yang lewat di depan rumahnya. Bucil tuh, juaranya bikin kesal orang serumah. Tapi anehnya mereka tetap sayang Bucil. “Bucil panutan gue,” kata Sirin di sela tawanya. “Sesat lo nganut Bucil,” balas Tiara ikut tertawa. “Udah dulu ah, gue mau makan. Keburu ikannya diabisin Bucil.” “Iya. Dadah.” Setelah sambungan telepon terputus, Sirin segera memeriksa beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Salah satu pesan itu dari Zidan. Rin, besok kalau ketemu Alita jangan bilang apa-apa soal rencana gue. Pura-pura bego aja kalau dia nanya aneh-aneh.Okeh? -Zidan- Sirin mengehela napas dalam. Ya kali Sirin bilang dia mau jadi hantu buat nakutin Alita. *** Setelah selesai sarapan, Sirin segera ke teras rumah, menunggu Alita datang menjemputnya. Rumah Alita hanya berjarak sekitar dua puluh meter dari rumah Sirin. Cukup dekat. Mereka berdua sering berangkat bareng ke sekolah. Biasanya Sirin nebeng mobil Alita karena temannya itu selalu berangkat diantar sopir. Hanya kadang-kadang saja Zidan menjemputnya dengan motor. Jika begitu kasusnya, Sirin dengan sangat terpaksa naik angkutan umum. Atau nggak, minta antar Papanya. Setelah menunggu sekitar lima menit, mobil hitam yang biasa dipakai untuk mengantar Alita tiba di depan rumah Sirin. Segera Sirin bangkit dan melambai ke arah Alita yang sudah menurunkan kaca jendela mobilnya. “Bibi, Sirin berangkat dulu,” teriak Sirin pamit kepada Bi Rasi, pembantu rumah tangga keluarganya. Kedua orangtua Sirin sudah berangkat kerja sejak lima belas menit yang lalu. Jadi saat ini yang bisa dipamiti hanya Bi Rasi. Sirin berlari kecil menuju mobil Alita. Kemudian ia membuka pintu mobil itu dan langsung duduk manis di sebelah Alita. “Pagi Pak Catur,” sapa Sirin kepada sopir yang selalu menyambutnya dengan senyum hangat. “Pagi juga, Neng. Siap berangkat?” Pak Catur menoleh ke arah kedua orang penghuni kursi belakang. “Siap!” jawab Sirin dan Alita bersamaan. Dan kemudian mobil yang mereka tumpangi melaju di jalan raya yang dipadati kendaraan roda dua maupun roda empat. Pagi ini cuaca cukup cerah. Banyak orang berdiri di halte pinggir jalan menunggu bus menjemput mereka. Aktifitas perdagangan pun sudah dimulai, terbukti dengan ramainya pasar yang mereka lewati. Pagi ini wajah Alita terlihat sangat cerah. Mungkin ini karena senyum yang ia pamerkan sejak tadi. Gadis berambut sebahu itu tampak sedang bahagia. “Happy banget kayaknya. Ada apa?” tanya Sirin penasaran. “Nanti malam Zidan ngajakin nonton,” jawab Alita dengan wajah berseri-seri. “Beberapa hari ini dia sok sibuk banget. Terus semalem dia bilang mau ngajakin gue nonton buat menebus kesibukannya belakangan ini. Seneng banget tau, akhirnya gue diperhatiin lagi.” Alita tertekekeh. “Boleh ikut nggak?” Sirin memamerkan cengiran lebar. “Nggak boleh, nanti ganggu,” jawab Alita langsung seraya tertawa. Ia tahu bahwa temannya itu sedang menggodanya. “Lo ikut nonton hari Sabtu besok aja, Rin. Zidan ngajakin nonton bareng di rumahnya Pandu. Fazan sama Vega juga ikut. Tiara belum tau bisa ikut apa enggak, gue belum bilang ke dia. Lo ikut, ya? Nanti ke sananya bareng sama gue.” Sabtu besok adalah hari di mana Zidan akan memberi kejutan untuk Alita. Sirin baru tahu jika kejutan itu akan diadakan di rumah Pandu. Kalau boleh dibilang, yang ia tahu hanya ia akan jadi hantu. Selebihnya ia tak tahu apa-apa. Bahkan ia tak tahu harus mengiyakan ajakan Alita ini apa menolaknya. Zidan belum memberikan instruksi apa-apa kecuali Sirin disuruh bungkam dan pura-pura bego jika ditanya. “Lihat nanti deh, gue tanya ke Mama sama Papa dulu dibolehin apa enggak,” jawab Sirin akhirnya. Alita mengangguk. “Nanti kabarin gue, ya.” “Siap!” balas Sirin seraya memberi hormat. Lagu milik Taylor Swift yang berjudul You Belong With Me mengalun di mobil. Alita dan Sirin kini ikut menyanyikan lagu itu. Suara Alita terdengar jernih dan merdu di telinga. Gadis itu memang mempunyai suara yang bagus. Jauh beda dengan Sirin yang nyanyiannya terdengar seperti teriakan fals. Tapi toh Alita dan Pak Catur tak keberatan mendengar suara pas-pasan Sirin. “Eh, Rin,” panggil Alita tiba-tiba yang membuat Sirin menoleh ke arahnya dengan kening berkerut. “Menurut lo Zidan bakal ngasih gue kejutan nggak di hari jadi kami nanti?” Wah, ini nih, saatnya gue pura-pura bego, batin Sirin. Kini ia memasang tampang tak paham. Mencoba sebaik mungkin untuk tidak mengatakan hal-hal yang dapat membuat Alita curiga. “Nggak tahu,” jawab Sirin menggelengkan kepala. “Emang kapan hari jadi kalian?” “Sabtu besok,” balas Alita kembali tersenyum senang. Wajah mungil Alita tampak semakin manis dengan senyuman yang sejak tadi ia pamerkan. “Wah, udah setahun aja kalian pacaran. Rasanya baru kemarin kalian dikenalin sama Fazan. Ternyata udah setahun lebih, ya.” “Iya, ya. Nggak kerasa udah setahun aja, nih.” “Moga tetep langgeng,” ucap Sirin mendoakan dengan tulus yang langsung diamini oleh Alita. Sirin ikut merasa senang dengan hubungan percintaan Alita dan Zidan. Mereka berdua serasi. Alita yang manis, kecil mungil. Dapat Zidan yang tinggi kayak tiang listrik. Ditambah lagi, Zidan itu terlihat sangat sayang kepada Alita. Mereka adalah salah satu pasangan terbikin iri di sekolah. “Apa mungkin Zidan mau ngasih gue kejutan di rumah Pandu besok Sabtu itu? Lo dimintain tolong nggak sih, sama dia buat nyiapain apa gitu?” Alita menatap Sirin dalam, dia penasaran. Pura-pura bego, Sirin kembali mengingatkan diri. Dengan cepat ia menggelengkan kepala. “Dia nggak minta tolong gue apa-apa.” Alita masih menatap Sirin dengan pandangan tak yakin. Seolah dia tak mempercayai ucapan temannya itu. “Serius, Lit,” kata Sirin mencoba meyakinkan Alita. Akhirnya temannya itu tersenyum dan mengangguk. Tanpa sadar Sirin mengembuskan napas lega dan menoleh ke arah jendela di sampingnya, menatap sepeda motor yang sedang berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ia memang paling tidak pandai berbohong.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD