“Tadi gimana si Evin, Shen?” tanya Mas Rifqi ketika dia datang menjemputku ke café. Aku memang tetap berada di café meski Evin sudah pamit pulang. Dia sempat menawariku untuk menemani sembari aku menunggu Mas Rifqi datang, tetapi kutolak. Terlebih, dia juga sudah ditelepon Ibunya untuk cepat pulang karena hari ini mereka akan jualan lebih awal. “Tadi dia sempat nolak, Mas. Enggak enak intinya. Terus aku paksa, akhirnya mau. Oh, iya. Dia titip salam buat Mas. Makasih banyak katanya, karena udah berkenan bantu dia.” “Oke. Sama-sama kalau gitu. Nanti kamu chat dia. Jujur, Mas agak gengsi kalau chat lagi soal ini.” Aku tertawa. “Baiklah. Tapi enggak papa, nih, aku chat mantan?” “Mas percaya kamu. Cukup chat seperlunya.” “Oke, oke.” Aku tersenyum. “Nanti aku sampaiin.” Mas Rifqi meraih ta