“Kamu mau sampai kapan nangis terus kaya gitu?” tanya Mas Rifqi ketika lagi dan lagi aku menitikkan air mata. TV yang menyala di depanku masih saja menyiarkan berita atas jatuhnya pesawat yang harusnya membawaku dan Mas Rifqi malam ini. Pesawat itu jatuh di darat dan masih proses evakuasi. “Mas Qi … aku minta maaf, ya? Tadi aku ngomel mulu. Ternyata bener, hikmahnya sebesar ini.” Mas Rifqi langsung memelukku erat. “Udah, enggak papa. Kamu lagi hamil, kamu juga capek. Wajar kalau kamu jadi lebih sensitif. Mas enggak marah sedikit pun soal tadi. Beneran!” “Jujur, ya, Mas. Aku jadi inget Sisil. Eh, Mbak Sisil. Lebih tua dia, ding, kayaknya!” “Tapi kamu akan jadi kakaknya kalau dia jadi sama Fendi. Panggil Sisil aja.” “Oke.” Pelukan Mas Rifqi terlepas. “Kenapa sama Sisil?” “Jadi, aku ka