Aku tidak akan menikah lagi

1123 Words
Rumah besar yang hanya dihuni oleh tiga orang membuat suasana terasa sepi. Hanya terdengar suara samar televisi dari salah satu ruangan. Waktu menunjukan pukul sembilan malam, Alex belum pulang dari kantor. Sepertinya hari ini lelaki itu akan terlambat pulang, meskipun Alex tidak mengatakan apapun. Mia keluar dari kamarnya, menuju dapur. Tujuan utamanya adalah lemari pendingin, dimana ia bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakan untuk mengganjal perutnya yang terasa perih. Di dalam lemari pendingin terdapat banyak makanan, dari mulai makanan berat hingga makanan ringan, tapi Mia memilih untuk mengambil satu buah apel dan jus kemasan. Ia tidak berselera makan berat, bahkan sudah satu Minggu ini ia merasakan nafsu makannya menurun drastis. Samar-samar Mia mendengar suara gelak tawa dari arah ruang televisi, dan dengan langkah perlahan Mia pun mendekat. "Bi Mar, belum tidur?" Tanya Nia, pada wanita paruh baya yang sudah tinggal bersamanya cukup lama. Bi Mar menoleh, "Belum Non, lagi nonton Tv dulu." Jawab Bi Mar, sambil tersenyum. "Bi Mar ganggu ya?" "Nggak." Mia menggeleng lemah. "Nonton apa? Seru kayaknya, sampai ketawa kenceng gitu." Mia duduk di samping Bi Mar, di atas karpet bulu. Bi Mar langsung menggeser duduknya, menjaga jarak. Meskipun mereka sudah saling dekat satu sama lain, tapi Bi Mar tetap memposisikan dirinya sebagai pekerja dan Mia sebagai tuan rumah. "Kalau Non Mia gak suka, ganti aja." Bi Mar memberikan remote TV pada Mia, yang sebelumnya ia pegang. "Memang lagi nonton apa?" Mia tidak menerima remote tersebut, dan membiarkan Bi Mar memegangnya. "Film." Mia menoleh ke arah layar televisi miliknya, dimana tengah berlangsung sebuah film khas kesukaan ibu-ibu. "Bagus emang?" Tanyanya, Mia pun menyandarkan punggungnya pada pinggiran kursi, dan kedua mata tertuju pada layar di hadapannya. "Menurut saya sih seru," Bi Mar tak hentinya tersenyum. Bagi wanita paruh baya itu adegan membosankan yang ada di hadapannya sangatlah menarik, tapi Mia justru merasakan sebaliknya. Mia masih bertahan, menyaksikan setiap adegan di depan matanya. Jujur saja, baru dua menit ia menyaksikan acara tersebut, rasanya Mia ingin kembali ke kamar dan lebih memilih membaca buku atau memainkan ponselnya. Tapi malam ini Mia butuh seseorang untuk mengusir sepi yang kian memenuhi batinnya. Sesekali Mia menoleh ke arah Bi Mar, dimana wanita itu tersenyum bahkan tanpa ragu tertawa lepas. Ternyata kebahagiaan seseorang tidak selalu berbentuk barang mewah, hanya dengan melihat tayangan seperti itu saja, Bi Mar sudah bisa tertawa lepas, seolah tidak memiliki beban. "Bi, bagaimana kabar anak-anak di kampung?" Tanya Mia, disela iklan. "Baik, Non. Akhirnya mereka sudah rujuk kembali." Mia sempat mendengar salah satu anak Bi Mar melayangkan gugatan cerai pada suaminya. Entah apa alasannya, Mia tidak tau pasti. Hanya saja Mia sering melihat Bi Mar menangis dan meminta anaknya untuk bertahan. "Rujuk karena keinginan mereka, atau karena Bi Mar yang nyuruh?" Tanya Mia lagi. "Mungkin karena keinginan mereka saja, Bi Mar gak pernah maksa. Karena yang menjalani mereka." "Sempat ingin bercerai, tapi memilih bertahan pasti ada alasan kuat. Biasanya wanita memilih bercerai karena sudah terlalu bersabar dan berada di titik sabar yang paling akhir." Bas Mia. "Mereka memiliki dua anak, mungkin karena itu juga akhirnya memilih bertahan. Kasihan anak-anak kalau orang tuanya berpisah." Mia menganggukan kepalanya. "Iya. Bersyukur mereka sudah memiliki anak." Ucapnya pelan, tapi masih bisa didengar jelas oleh Bi Mar. "Non dan Tuan, pasti punya anak. Tunggu sebentar lagi, pasti doa kalian akan segera terkabul." Mia tersenyum samar. "Pasti punya anak, tapi bukan dari aku." "Orang baik, pasti akan mendapatkan hal-hal baik juga." "Aku bukan orang baik, Bi. Alex saja aku dapat dari temanku, aku merebutnya." Saat Bi Mar hendak membalas ucapan Mia, tiba-tiba saja pintu terbuka dimana Alex muncul dari balik pintu. "Saya permisi dulu, Non. Mau buatkan Tuan minum." Bi Mar beranjak dari tempat duduknya, hendak menuju dapur. Sudah menjadi kebiasaannya, ketika Aelx pulang ia akan segera menyiapkan minuman untuknya. "Gak usah, Bi. Biar aku saja, Bi Mar lebih baik istirahat." Cegah Mia. "Baiklah kalau begitu, saya permisi Non." Mia mengangguk dan membiarkan Bi Mar pergi menuju kamarnya. "Mau minum apa?" Tanya Mia.. Ia menghampiri Alex yang tengah melepas sepatu. "Mau es teh manis." Jawabnya. Mia mengangguk dan segera menuju dapur untuk membuatkan Alex teh manis. Alex sudah terlebih dulu duduk di salah satu kursi meja makan. Raut wajahnya tampak begitu lelah. "Maaf, aku tidak sempat memberi kabar." Aelx meraih tangan Mia dan menarik tubuhnya mengikis jarak diantara keduanya. Kecupan hangat pun mendarat sempurna di bibir Mia. "Ada rapat mendadak, dan kebetulan salah satu staf kantor libur." Ucap Alex. "Iya. Aku tau, sekertaris Siska memberitahuku." Jawab Mia. Ia pun duduk tepat di samping Alex. "Oya. Padahal dia pun sama sibuknya denganku, tapi masih sempat memberimu kabar." Mia hanya tersenyum samar, karena sebenarnya sekertaris Siska tidak memberinya kabar sama sekali. "Dia masih betah menjanda?" Tanya Mia tiba-tiba. "Gak tau. Tapi setahuku dia belum dekat dengan siapapun," jawab Alex. Sisca, merupakan sekretaris pribadi Alex. Beberapa waktu lalu dia sempat bercerai dengan suaminya dan statusnya saat ini adalah janda beranak satu. Sempat terjadi kehebohan dengan alasan Siska bercerai, salah satunya banyak yang menduga Alex lah penyebab Siska memilih berpisah dengan suaminya. Tapi dengan tegas Alex menepis semua tuduhan itu dan menegaskan bahwa ia dan Siska hanya sebatas rekan kerja. Mia pun sempat menaruh curiga, tapi berulang kali Alex meyakinkannya hingga akhirnya Mia pun percaya pada ucapan sang suami. "Masih nungguin kamu kali." Ucap Mia sambil tersenyum. "Nungguin aku sampai mati, gitu?" Alex balik bertanya. "Nungguin kamu jadi duda." "Aku gak akan jadi duda," balasnya sambil tersenyum. "Tapi dia cocok jadi istri kedua kamu." Ucapan Mia sukses membuat senyum di wajah Alex menghilang. "Dia cantik, pintar, ideal, bahkan bisa memiliki anak. Gada yang kurang, dia wanita sempurna." Alex meraih gelas di hadapannya dan minum es teh hingga habis. "Jika menurutmu Siska adalah wanita sempurna, di mataku justru sebaliknya." Tatapan Mia dan Alex bertemu. "Gak ada yang cocok jadi istriku selain kamu." Alex mengusap kepala Mia dengan perlahan. "Jangan selalu merasa rendah diri, kamu sempurna di mataku." Terlihat jelas kesungguhan dari sorot mata Alex. Mia tidak perlu lagi meragukan kesungguhannya, tapi semakin Aelx menunjukan rasa cintanya, Mia justru merasa semakin bersalah dan tidak layak mendapatkan itu semua. "Aku masih dengan keinginanku, aku ingin kita memiliki anak." Ucap Mia. Ia menarik tangan Alex dari kepalanya dan menggenggamnya erat. "Kita bisa adopsi anak, banyak anak terlantar yang membutuhkan orang tua. Kita bisa mencarinya di panti asuhan." Jawab Alex. "Tapi aku ingin anak kamu, anak dari benih mu. Bukan orang lain." "Dengar Mia, aku tidak mau dan tidak akan menikah lagi, apapun alasannya. Kita bisa cari solusi lain untuk memiliki anak. Gak harus aku menikah lagi." "Ini untuk kebaikan kita bersama. Untuk aku dan kamu." Alex melepaskan genggaman tangan Mia. "Aku tidak mau mengkhianati istriku sendiri," Alex beranjak dari tempat duduknya. "Jangan pernah bahas masalah ini lagi, aku tidak suka." Ucapnya, sebelum akhirnya Alex pergi meninggalkan Mia sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD