"Jadi si Pras seperti cacing kepanasan ya melihatmu diantar pulang Pak Damar?" Wanti menggeser tumpukan benang di samping Suri. Memberi ruang yang cukup luas untuk bokongnya di atas tikar. Hari minggu sore ini ia mengunjungi Suri untuk mengajak sahabatnya ini berjalan-jalan. Sudah lama mereka tidak keluar bersama. Selagi menunggu putra Suri bersiap-siap, ia membantu sahabatnya ini merajut. Dan ia jadi semangat empat lima, kala mendengar cerita Suri tentang tingkah absurd suami edannya itu.
"Iya. Katanya aku sudah mendapat ikan besar, makanya berani berbicara soal perceraian." Suri menceritakan apa adanya pada Wanti. Hanya pada Wanti lah Suri bersedia berbagi. Itu pun setelah ia merasa perlu membagi sedikit bebannya kalau ia ingin tetap waras. Kelakuan Pras semakin menjadi-jadi sejak Damar mengantarnya pulang beberapa hari lalu. Pras terus menuduhnya berselingkuh dengan mantan suami Murni itu.
"Laki-laki ya begitu itu, Ri. Sama kayak anak kecil. Punya mainan sendiri, dianggurin. Malah sibuk mencari mainan-mainan baru. Begitu mainan lamanya ada yang mau, keukeh dipertahanin mati-matian. Sudah begitu tidak terima lagi kalau dibilang salah."
Wanti memutar bola mata. Hal-hal seperti inilah yang membuatnya betah menjomblo di usia tiga puluh empat tahun. Ia trauma menjalin hubungan dengan laki-laki, karena pernah diselingkuhi saat sedang sayang-sayangnya.
"Makanya kubiarkan saja dia ngamuk-ngamuk sendirian. Kecemburuannya tidak masuk akal. Mana mungkin Pak Damar berniat macam-macam padaku. Aku ini tidak selevel dengan beliau. Dengan Pras saja, aku bolak-balik disindir kalau pendidikan kami njomplang. Apalagi dengan Pak Damar yang tamatan luar negeri. Berasal dari orang kaya lama lagi. Kadang aku tidak bisa mengikuti cara berpikir Mas Pras."
Suri menggeleng-gelengkan kepala. Ia malu kalau omongan Pras ini sampai ke telinga Damar. Damar mungkin menganggap Pras sudah gila karena mempunyai pikiran tidak masuk akal seperti itu.
"Eh tapi jujur ya, aku bukan membela Pras. Tapi rasanya memang aneh kalau Pak Damar sendiri yang turun tangan untuk mengurusi masalah kerjasamamu dengan ibunya."
Wanti meletakkan hakpen rajutnya. Ia harus membuka wawasan sahabatnya ini mengenai kepekaan rasa. Akibat hanya mengenal satu laki-laki yang kemudian menjadi suaminya, alarm kepekaan Suri menjadi tidak berfungsi.
"Aneh bagaimana, Ti? Kamu jangan berpikir yang tidak-tidak ya? Kadang aku ngeri melihat kekreatifan cara berpikirmu." Suri memberi tatapan jangan coba-coba mempengaruhiku pada Wanti. Keseringan bergaul dengan banyak orang, membuat Wanti terlalu maju kalau menganalisa perasaan seseorang.
"Bukan berpikir yang tidak-tidak. Tapi membeberkan kenyataan. Bayangkan, Pak Damar itu boss besar. Kamu merasa aneh tidak sih kalau dia mau sampai mau mengurus hal remeh temeh seperti mengantar benang atau mengantar kamu pulang? Pikir sekali lagi, Ri. He is a boss."
"Mengantar pulang itu cuma kasihan kali, Ti. Kalau mengantar benang, nanti staffnya yang mengirim. Bukan Pak Damarnya. Beliau hanya berpesan kalau ada apa-apa, aku boleh meneleponnya. Itu saja kok, Ti. Kamu ini pikirannya mengembara entah ke mana." Suri memutar bola mata. Daripada mendengar ocehan Wanti, lebih baik ia melanjutkan rajutannya saja. Ia tengah menyelesaikan sweater fuchsia cantik untuk putri Pak Damar.
"Itu sama saja artinya, Ri. Cuma kalimatnya saja yang diperhalus." Wanti gemas melihat kepekaan Suri yang sudah mati rasa.
"Sedikit banyak Pak Damar itu menaruh perhatian padamu. Aku ingat, dulu Pak Damar suka memperhatikanmu diam-diam kalau kebetulan beliau meninjau bagian produksi bersama Bu Murni."
Wanti meninju telapak tangannya sendiri. Ia mulai menghubung-hubungan sikap Damar yang dulu dengan sekarang. Ternyata Damar masih menaruh perhatian pada sahabatnya ini.
"Analisamu makin lama makin tidak masuk akal saja, Ti. Seperti yang kamu bilang, he is a boss. Apa mungkin seorang boss menaruh perhatian pada buruh jahit yang ndeso, sementara istrinya adalah seorang sosialita? Tengah hamil lagi. Kamu kebanyakan nonton drama Korea sepertinya, Ti." Suri mengibaskan tangan ke udara. Begini ini kalau mengobrol dengan Wanti. Asumsinya mengalahkan ekspektasi.
"Oalah, Ri. Yang ndeso itu 'kan penampilanmu. Tapi wajahmu tetap cantik. Lagi pula penampilan itu bisa di-upgrade. Coba kamu berdandan seperti Bu Murni. Aku yakin kamu sepuluh kali lebih cantik dibanding dengan Bu Murni. Kamu cuma kalah modal, Ri. Firasatku mengatakan kalau Pak Damar itu suka padamu dari dulu. Makanya ia mengenalimu walau sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Pepet saja terus Pak Damar, Ri. Toh statusnya sekarang duren alias duda keren. Lagi pula nasib rumah tanggamu juga sudah diujung tanduk. Yakinlah Pak Damar itu suka padamu." Wanti terus berusaha menyadarkan Suri.
"Terserah kamu ajalah, Ti." Suri membungkam ocehan Wanti dengan kalimat penutup terserah. Kalau sudah begini, baru Wanti akan mingkem.
"Bunda, Wira sudah siap. Kita jadi jalan-jalan 'kan?" Kehadiran Wira diiringi Mbok Inah di belakangnya membuat Suri tersenyum. Putra tampannya ini adalah segalanya baginya. Setiap kali ia bertengkar dengan Pras, hal yang bisa membuatnya kembali kuat adalah Wira.
"Jadi dong, Nak. Hari ini Tante Wanti akan menemani kita jalan-jalan seharian. Ia 'kan Tan?" Suri menjelingkan matanya pada Wanti.
"Benar sekali. Tante juga akan mentraktirmu makan es krim sepuasnya. Pokoknya hari ini adalah hari ulang tahun kemerdekaan Wira," canda Wanti.
"Horeee. Ayo kita berangkat sekarang Bunda, Tante Wanti. Biar bisa lama di sananya."
Wira melonjak-lonjak gembira. Tidak tampak lagi sisa tangisnya saat Pras pergi tadi. Wira mengamuk kala Pras mengatakan tidak bisa menemaninya berjalan-jalan karena ada pekerjaan. Wira protes karena sudah beberapa Minggu ini ayahnya masih bekerja. PR bekerja ayahnya tidak siap-siap. Wira bahkan menyarankan agar ayahnya untuk pindah bekerja saja kalau kantor yang ini tidak ada tanggal merahnya. Pras memang sudah dua bulan lebih melalaikan tugasnya. Wira yang pada mulanya mencoba mengerti karena Pras beralasan mereka butuh uang untuk membayar uang sekolah dan sebagainya, pada akhirnya mengamuk juga. Anak-anak tetaplah anak-anak. Segala macam alasan yang dikemukaan Pras, ia patahkan dengan satu kalimat. Ayah pindah kerja saja.
Begitulah, satu jam kemudian mereka sudah berada di mall. Seperti permintaan Wira, tempat yang pertama sekali ingin ia datangi adalah wahana permainan anak-anak. Ia ingin bermain sepuasnya di sana katanya.
Sembari menggandeng tangannya dan juga Wanti, Wira melonjak-lonjak sepanjang perjalanan. Kegembiraan Wira membuat Suri ikut berbahagia. Setidaknya kesedihannya karena ditinggal Pras pergi tadi, tergantikan dengan jalan-jalan mereka sekarang ini. Suri membiarkan saja tingkah Wira mengekspresikan kegembiraannya. Suri berbincang-bincang dengan Wanti perihal rajutannya yang kini telah resmi memiliki merek dagang. Suri Craft and Creations sudah resmi menjadi merk dagangnya.
Suri heran saat Wira tiba-tiba menghentikan langkahnya. Tawa bahagia yang tadi menghiasai air mukanya berganti sedih. Ada apa dengan putranya ini?
"Ada apa, Nak? Kenapa berhenti di sini? Wira tadi bilang mau ke Timezone 'kan?" tanya Suri.
Wira tidak menjawab pertanyaannya. Sebagai gantinya Wira menunjuk lurus ke depan. Ketika Suri mengikuti arah jari Wira, seketika ia mengerti mengapa Wira bersedih. Di area mesin bola basket, tampak Pras tengah bermain seru dengan seorang anak perempuan. Bukan itu saja. Ada Murni yang juga ikut melempar bola basket ke keranjang. Ketiganya berteriak-teriak seru kala bola masuk ke dalam keranjang. Pras bahkan mengangkat anak perempuan itu tinggi-tinggi dan menggendongnya di punggung. Persis yang biasa dilakukan Pras pada Wira, apabila mereka bermain bersama.
"Lho, Wira. Tunggu Bunda, Nak." Suri kaget saat Wira sekonyong-konyong berlari ke arah Pras. Tanpa dikomando Suri dan Wanti bergegas menyusul Wira. Menilik kesedihan dan kemarahan pada air muka Wira, pasti putranya itu akan meledak.
"Ayah! Ayah bilang Ayah ada PR pekerjaan. Tapi kenapa Ayah malah main Timezone dengan anak lain. Ayah bohong. Wira benci sama Ayah!" teriak Wira di belakang Pras. Kedua tangan Wira terkepal di masing-masing sisi tubuhnya.
Pras sontak berbalik. Keterkejutan terlihat jelas di kedua matanya. Ia dengan cepat menurunkan sang gadis cilik dari bahu kekarnya. Secepat itu pula Murni menggandeng putrinya dan berlalu begitu saja dari area mesin bola basket. Meninggalkan Pras yang kebingungan menjawab pertanyaan Wira.
"Wira, Ayah baru saja selesai bekerja. Terus anak atasan Ayah tadi ingin ke Timezone. Makanya Ayah singgah sebentar ke sini."
Pras berjongkok di depan Wira dengan wajah pucat. Berusaha memegang tangan Wira yang seketika ditepis kasar.
Lelehan air mata bercampur ekspresi marah Wira menyakiti hati Suri. Kasihan putranya. Wira pasti merasa sedih karena dibohongi.
"Ayah jahat!" Hanya satu patah kata yang keluar dari mulut Wira. Setelahnya Wira berlari ke arah Suri. Ia menyembunyikan tangis di rok panjang Suri. Suri mengerti, Wira belum pintar untuk mencurahkan segala perasaannya. Maklum saja, Wira masih berusia tujuh tahun. Perasaan yang ia kenali hanya senang atau sedih.
"Wira, dengarkan Ayah dulu." Pras berjalan cepat mendekati Wira yang masih menyembunyikan wajahnya di rok Suri. Kembali mencoba menarik tangannya, namun lagi-lagi ditepis oleh Wira. Sementara para pengunjung Timezone yang sebagian adalah orang tua yang membawa anak-anak mereka bermain, mencuri-curi pandang. Rasa penasaran membuat mereka terus memperhatikan interaksi antara Pras dan Wira.
"Sudah, Mas. Anaknya tidak mau jangan dipaksa." Suri berupaya meredam kericuhan. Ia risih ditonton oleh orang banyak.
"Kamu sengaja ya membawa Wira ke sini? Sengaja ingin membuat Wira membenciku?" Pras memelototi Suri. Ia frustasi karena diacuhkan anaknya sendiri.
"Jaga sikap dan wibawamu sendiri, Mas. Jangan membuat dirimu semakin dipandang rendah oleh orang lain maupun olehku. Aku sudah muak dengan segala tingkahmu, Mas," desis Suri geram.
Sebagai seorang ibu ia marah karena buah hatinya disakiti seperti ini. Ia tidak mempermasalahkan kalau yang disakiti itu dirinya. Sebagai seorang istri yang tidak berdaya dalam hal finansial, ia sudah biasa menahan hati yang panas karena hinaan. Suri menyadari konsekuensi sebagai perempuan yang takut perut sejengkalnya tak bisa makan, ya memang harus kuat mental.
Tapi jangan coba-coba melakukan hal yang sama pada buah hatinya. Karena ia akan melawan siapa pun itu yang telah berpotensi melukai hati anaknya. Jangankan manusia, induk ayam pun akan melakukan hal yang serupa. Karena pada dasarnya naluri seorang ibu adalah melindungi anaknya.
Amarah yang berkobar dibalik kalimat singkat Suri, membuat Pras mengalah. Delapan tahun berumah tangga membuat Pras sangat mengenal karakter istrinya. Suri sedang benar-benar marah padanya. Sebaiknya ia mengalah dulu. Menghadapi api dengan api hanya akan membuat mereka berdua terbakar. Nanti di rumah saja ia akan menjelaskan semuanya. Tatapan mata Suri tadi membuatnya sadar akan satu hal. Suri kali ini tidak lagi mampu menyembunyikan emosinya. Biasanya semarah apapun Suri, nada suara maupun air mukanya selalu tenang. Tapi kali ini kedua matanya menyambar seperti kobaran api. Ia harus memperhitungkan sikap Suri ini. Karena pernikahan mereka bukan hanya soal mereka berdua. Tetapi dua keluarga besar mereka di kampung. Pras pun berlalu setelah melirik Wira sekali lagi.
Suri menggendong Wira yang tidak mau memperlihatkan wajahnya. Wira memang seperti ini kalau ia sedang menangis. Wira pernah bilang kalau dirinya adalah anak laki-laki. Jadi kalau cengeng, ia malu. Makanya ia selalu menyembunyikan wajahnya kalau ia tidak mampu menahan tangis.
Suri ingin menjaga harga diri putra kecilnya. Makanya ia memilih menggendong Wira saja, agar putranya itu bisa menyembunyikan wajah di lekuk lehernya. Biasanya kalau tangisnya sudah reda, Wira akan minta turun sendiri.
"Kamu nggak capek menggendong Wira di mall begini, Ri?" Wanti baru berani bersuara setelah keadaan relatif tenang. Ia shock melihat adegan ala sinetron di depan matanya. Ia prihatin untuk Suri dan Wira.
"Nggak apa-apa, Ti. Nanti kalau tangisnya reda, dia akan minta jalan sendiri," sahut Suri singkat.
"Eh kamu ada teman pengacara tidak, Ti?"
"Eh bentar... bentar... ada apaan kamu bertanya soal pengacara?" Wanti kaget karena Suri tiba-tiba berbicara soal pengacara. Wanti mencurigai sesuatu. Jangan-jangan Suri ingin bercerai dengan Pras.
"Aku mau bercerai, Ti. Tapi aku ingin Wira tetap mendapatkan haknya. Oleh karena itu aku ingin masalah ini diurus oleh pengacara profesional. Aku tidak mau sudah jatuh, ditimpa tangga pula. Tidak berpendidikan tinggi bukan berarti aku bodoh, Ti."
"Cakep! Ini yang aku tunggu-tunggu. Pras itu sudah keterlaluan, Ri. Kamu dan Wira tidak pantas diperlakukan seperti ini. Jangan khawatir, Ri. Aku Wanti sahabatmu si perawan tua ini, siap membantunya dalam hal apa saja. Serahkan saja semuanya padaku." Wanti mengacungkan jempolnya.
"Iya, aku akan menyerahkan semuanya padamu. Tapi kamu harus menyerahkan satu hal padaku, agar aku bisa meyakinkan kedua orang tuaku soal perceraian ini," tutur Suri kalem.
"Heh? Menyerahkan sesuatu? Apa itu, Ri?"
"Rekaman video kejadian tadi. Aku tahu kalau kamu merekam semua kejadiannya diam-diam."
"Astaga, kamu walau lagi emosi matamu celik juga ya, Ri?" Wanti menggeleng-gelengkan kepalanya. Suri ini memang orang teliti sekali sampai pada hal-hal yang mendetail. Tapi apa pun itu, seperti yang ia janjikan tadi, ia akan mendukung Suri. Sudah saatnya laki-laki seperti Pras ini gigit jari karena tingkahnya sendiri.