"Rumahmu nomor berapa, Suri?"
"Eh, nomor sebelas, Pak. Lurus saja. Nanti di simpang empat depan sana, kita belok kiri."
Suri kaget saat Damar tiba-tiba saja berbicara padanya. Selama hampir empat puluh lima menit berkendara, Damar sama sekali tidak bersuara. Demikian juga dengan dirinya. Sekian tahun tidak pernah bertemu, Suri tidak tahu harus berbincang-bincang tentang apa dengan mantan atasannya ini. Rasanya aneh saja semobil dengan Damar. Dalam mimpi pun ia tidak pernah membayangkannya.
"Simpang depan pertama itu ya? Oke. Oh ya, tadi Ibu sudah memberikan nomor kontaknya, demikian juga saya. Jadi kalau kamu membutuhkan sesuatu, jangan segan-segan untuk menghubungi kami ya, Suri?" pungkas Damar lagi.
"Baik, Pak." Suri mengangguk takzim. Setelahnya hening lagi.
"Kalau masalah butik dan sebagainya, kamu boleh kompromikan dengan Ibu. Tapi kalau masalah benang dan t***k bengeknya, kamu jangan segan-segan mencari saya," terang Damar lagi.
"Baik, Pak." Suri kembali membeo.
"Jangan baik Pak, baik Pak melulu, Suri. Saya jadi merasa seperti seorang guru yang tengah menasehati anak didiknya."
Tawa Damar berderai. Ia merasa geli melihat Suri yang terlihat sangat takut padanya. Suri sepertinya belum bisa menghilangkan hubungan masa lalu mereka sebagai bawahan dan atasan.
"Hubungan kita ini sekarang adalah rekan kerja. Jadi kedudukan kita equal alias seimbang. Bukan antara atasan dan bawahan seperti dulu lagi. Kamu tidak perlu sungkan berlebihan seperti ini. Biasa saja, Suri." Damar mencoba mengurai kekakuannya dengan Suri. Kerjasama yang baik itu dimulai dari adanya komunikasi yang baik. Kalau Suri canggung seperti ini, hubungan kerjasama mereka hanya akan satu arah. Dan hal tersebut tidak baik. Akan ada kesenjangan di sana.
"Ba--"
"Jangan bilang baik Pak lagi. Saya mulai bosan mendengar jawaban itu keluar dari mulutmu. Mulai saja dengan kalimat benang jenis apa yang bagus untuk membuat sweater anak-anak." Damar mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
"Oh kalau untuk membuat sweater, apalagi untuk anak kecil, paling bagus menggunakan benang wol. Karena benang wol itu mampu menahan suhu panas. Selain itu, benang wol bahannya higroskopis alias mudah menyerap air. Jadi walaupun berkeringat tidak akan terasa gerah."
Damar tersenyum. Idenya untuk membuat Suri terlalu tegang berhasil. Suri ternyata masih sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Pertama sekali dirinya mengenal Suri adalah saat Suri masih menjadi buruh jahit di PT Adi Busana Eka Cipta. Perusahaan garmen milik Bondan Eka Cipta, mantan mertuanya. Kala itu ia baru saja menikah dengan Murni. Sedari kecil mereka memang sudah ditunangkan.
Damar mengingat sekali moment ketika ia mengunjungi staff bagian produksi bersama Murni. Ia kagum melihat seorang gadis bertubuh mungil mampu mengangkat sepelukan kain-kain yang akan dijahit dalam pelukannya. Padahal ada buruh khusus yang mengangkat kain-kain itu untuk diantarkan ke bagian mesin jahit masing-masing buruh. Tapi Suri menyingsingkan lengannya untuk mengangkat bagiannya sendiri.
Di sore hari, saat shift sudah berganti, Suri masih tetap menjahit. Ia kerap lembur demi mendapat pundi-pundi uang yang lebih banyak. Ketika rekan-rekannya terkadang mengobrol sambil bekerja, Suri tetap diam. Ia menyelesaikan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Murni dulu sering memuji Suri sebagai buruh yang paling berprestasi. Satu hal yang paling Damar ingat tentang Suri adalah, Suri hanya akan semangat mengobrol jika ditanya tentang masalah pekerjaan. Kalau masalah basa basi tidak perlu, ia cenderung apatis.
Sepuluh tahun berlalu. Namun karakter Suri tidak berubah. Ia hanya membuka mulutnya untuk hal-hal yang penting. Jikalau rata-rata perempuan suka mengobrol bahkan untuk hal remeh temah sekali pun, Suri adalah kebalikannya. Damar angkat topi untuk kekonsistenan Suri.
"Kalau begitu tolong buatkan satu buah sweater yang bagus untuk putri saya. Putri saya berusia sepuluh tahun dan menyukai warna pink terang. Fuchsia bahasa fashionnya," terang Damar seraya berbelok ke kiri. Matanya dengan jeli memperhatikan nomor-nomor rumah di Perumahan Griya Riatur ini.
"Baik. Nanti akan saya buatkan sweater fuchsia yang manis untuk putri Bapak," janji Suri.
"Pagar warna putih depan itu, Pak." Suri memberitahu Damar ketika Damar nyaris saja melewati rumahnya. Namun Suri sedikit heran. Bukan apa-apa. Ia melihat mobil Pras sudah ada di dalam garasi. Artinya Pras telah berada di rumah. Suri memindai jam di pergelangan tangannya. Pukul tiga lewat empat puluh lima menit. Tumben jam seperti ini Pras sudah pulang. Padahal Wira saja belum kembali dari les privatenya. Wira pulang les sekitar empat puluh lima menit lagi.
"Wah, sepertinya Pras ada di rumah ya, Suri? Suamimu itu si Prasetyo Prasojo bukan? Jabatan terakhirnya dulu adalah manager pemasaran kalau tidak salah," tukas Damar. Pandangannya mengarah pada mobil yang ada di berada dalam garasi.
Belum sempat Suri menjawab, Pras sudah lebih dulu membuka pintu pagar. Mbok Inah mengekor di belakang Pras. Karena biasanya Mbok Inahlah yang membukanya.
"Wah, benar rupanya." Damar menjawab pertanyaannya sendiri seraya membuka pintu mobil. Suri mengikuti aksi Damar.
"Benar, Pak. Hanya jabatannya saja yang sudah berubah. Sekarang Mas Pras sudah menjabat sebagai Direktur Utama." Suri tetap menjawab pertanyaan Damar, diiringi seulas senyum tipis. Jabatan inilah yang kini membuat Pras lupa diri.
"Wah, Pak Damar ya? Apa kabar, Pak? Sudah lama sekali kita tidak bertemu ya?" Suri memindai air muka Pras berubah melihatnya keluar dari mobil bersama Damar. Namun seperti biasa, Pras pintar sekali menyembunyikan perasaannya. Pras menghampiri Damar dan menjabat tangan Damar erat.
"Baik, Pras. Oh ya, Saya mengantar Suri karena ia tidak membawa mobil. Sementara barang belanjaannya banyak sekali." Damar menyambut jabat tangan Pras.
"Wah, kamu kok merepotkan Pak Damar, Suri? Kamu 'kan bisa meneleponku. Lain kali jangan menyusahkan orang lain ya, Suri?" tegur Pras dengan tatapan meminta maaf pada Damar.
"Tidak apa-apa, Pras. Lagi pula saya memang perlu tahu lokasi rumah kalian, agar besok lusa staff saya gampang saat mengirim benang-benang," terang Damar ramah.
"Mengirim benang-benang? Maksudnya?" Pras menyipitkan sebelah matanya. Ciri khasnya jika tertarik pada sesuatu.
"Begini, ibu saya bekerjasama dengan Suri dalam bisnis rajut. Kami mengirim benang-benang, sementara Suri merajutnya untuk butik-butik ibu saya," imbuh Damar lagi.
Selama Damar dan Pras berbicara, Suri berjalan ke arah bagasi. Ia muak melihat akting Pras saat berperan sebagai suami yang baik. Lebih baik ia mengangkat barang-barang belanjaannya daripada mengikuti drama murahan satu babak Pras.
"Bisa tidak, Ri? Berat lo barang-barangmu itu," seru Damar. Ia juga ikut berjalan ke arah bagasi.
"Bisa, Pak. Saya mah sudah terbiasa nguli." Suri mencoba bercanda.
"Biar aku saja yang membawanya, Ri. Kamu istirahat saja di dalam," usul Pras penuh perhatian. Jikalau tidak ada orang lain di antara mereka, mungkin Suri akan bertanya pada Pras apakah dirinya sehat. Tetapi karena ada Damar di antara mereka Suri mengangguk singkat, setelah berpamitan pada Damar. Ia harus menjaga wibawa Pras.
Seraya masuk ke dalam rumah, Suri membatin. Pasti sebentar lagi ada drama suami yang dihianati segmen pertama. Suri sangat mengenal karakter Pras. Jika Pras yang mencurangi, maka jawaban Pras adalah perempuan bapernya kelewatan untuk hal-hal kecil. Contohnya adalah masalah kedekatannya dengan Murni. Pras menganggapnya terlalu berlebihan.
Tetapi jika Pras yang merasa dicurangi, maka seluruh alam semesta beserta segala isinya harus ikut merasakan kelaraannya. Akting Pras memang sebelas dua belas dengan aktor Reza Rahardian.
"Kamu pikir aku ini jongosmu apa?" Pras melemparkan empat plastik besar yang berisi benang dan aksesoris jahitan ke sudut ruangan. Beberapa gulung benang, ring D dan aksesoris menggelinding di lantai ruang tamu.
Benar 'kan tebakannya? Mobil Damar baru saja berlalu. Pras sudah mulai berakting seperti pemain sinetron ikan terbang.
"Yang menyuruh Mas mengangkat barang-barang saya itu siapa? Mas sendiri 'kan yang kepingin berakting sebagai suami yang baik?"
Suri memunguti benang-benang dan segala isinya yang tumpah ruah di lantai. Ketika Mbok Inah ingin membantu, Suri menggeleng. Ia tidak suka mengumbar perselisihan di depan orang lain. Sekalipun di depan ART-nya sendiri.
Suri mengumpulkannya keempat besar plastik belanjaannya, dan mengikatnya erat. Selain lelah ia juga malas ribut dengan aktor amatiran seperti Pras ini. Buang-buang napas saja.
"Lain kali, jangan coba-coba membuang atau merusakkan barang-barang yang tidak dibeli oleh uang Mas. Kalau Mas mengulanginya lagi, aku tidak akan menjaga muka dua Mas lagi. Pilih salah satu. Muka yang mana yang ingin Mas tampilkan." Suri menenteng dengan susah payah keempat plastik-plastik besar itu. Ia bermaksud membawanya ke kebelakang.
Karena sekarang ia meminta bantuan beberapa tetangga untuk merajut, maka ia memanfaatkan taman belakang yang luas untuk merajut bersama. Ia menghamparkan tikar yang luas, dengan beberapa bantal kecil agar posisi merajut mereka kian nyaman.
"Aku baru sadar kenapa kamu sekarang arogan sekali, Ri. Ternyata kamu sudah berhasil memancing ikan besar. Pantas saja tingkahmu sudah seperti seorang nyonya besar saja. Ada pawangnyanya rupanya," Pras mengangguk-anggukkan kepala dengan tingkah menyebalkan.
"Terus terang, aku agak-agak bingung menyimpulkan kata-kata Mas. Karena perasaan Mas dulu bilang perempuan itu terlalu baper menanggapi hubungan kerja. Contoh Mas dulu adalah hubungan Mas dengan Bu Murni. Mas bilang aku terlalu berlebihan. Lantas kenapa sekarang Mas menyindir-nyindir kerjasamaku dengan Bu Ajeng dan Pak Damar? Padahal Mas 'kan bukan perempuan? Benar tidak, Mas?" tanya Suri berani. Suri tidak jadi ke belakang. Ia tahu bahwa pembicaraannya dengan Pras ini akan panjang.
Ia memang bukan type orang yang suka menyindir-nyindir tidak jelas. Apa yang ia rasakan akan ia bunyikan. Apa yang ingin ia ketahui, ia tanyakan. Memendam perasaan hanya akan membuatnya capek, karena terus menduga-duga jawabannya.
"Pokoknya aku tidak mau melihatmu berdua-duaan lagi dengan duda itu, selama kamu masih berstatus istriku. Bisa, Suri?" amuk Pras sambil berkacak pinggang.
Selalu begini. Jika tidak mampu menjawab pertanyaannya dengan logika, Pras akan mengintimidasi.
"Kalau berdua-duaan dalam artian bersenang-senang, bisa Mas. Mas pasti tahu bahwa aku bukannya orang yang suka menghabiskan waktu tidak jelas. Tapi kalau berduaan dalam masalah pekerjaan, tidak bisa. Karena ada masalah profesionalisme di sini. Ini saja yang bisa aku janjikan." Suri menjawab apa adanya. Dirinya bukan orang yang mudah berjanji, tetapi mudah mengingkari. Karena baginya janji adalah apa yang sudah ia komitmenkan.
"Aku tidak mentolerir berdua-duaanmu itu dalam konteks apa pun. Pokoknya kalau kamu melanggar perintahku, silakan kamu angkat kaki dari rumah ini!"
Gelegar suara Pras membuat emosi Suri sedikit terkait. Namun ia dengan cepat berusaha menekannya kembali. Berhadapan dengan Pras tidak bisa dengan emosi. Melainkan dengan kalimat yang tepat dan logis. Maklum ia menghadapi seorang sarjana. Biasanya Pras sedikit-sedikit mengejeknya argumen kerupuk alias tidak ada logikanya. Khas orang-orang yang tidak makan bangku sekolahan, kalau menurut istilah Pras. Makanya Suri belajar untuk mematahkan argumen Pras dengan alasan yang masuk akal.
"Keluar dari rumah ini? Apa hak Mas mengusirku? Rumah ini Mas beli setelah kita menikah bukan? Itu artinya aku juga punya hak di sini. Bahkan andaikata kita sudah bercerai pun, aku masih punya hak di rumah ini. Karena rumah ini termasuk harta gono gini. Betul tidak, Mas?" tantang Suri santai.
Tenang Suri. Jangan terbawa emosi. Semakin kamu tenang, Pras akan semakin kelimpungan.
"Akhir-akhir ini kamu gampang sekali mengucapkan kata cerai. Kamu pikir aku akan semudah itu menceraikanmu? Hah, mimpi saja. Lihat saja, si duda sialan itu akan menunggumu sampai bungkuk!" ceracau Pras emosi.
Suri tidak mempedulikan ceracauan Pras lagi. Yang penting ia sudah menyatakan sikapnya. Suri mengangkat empat plastik besar barang belanjaannya dengan susah payah. Ia juga pura-pura tuli saat Pras membanting segala barang pecah belah di ruang tamu. Biar saja. Toh guci-guci antik dan vas bunga kristal itu dibeli dengan uang Pras. Yang rugi siapa coba?