Suri menulusuri toko demi toko untuk mencari benang rajut yang sesuai dengan pesanan customer. Dari beberapa toko yang ia singgahi belum ada yang sesuai dengan keinginannya. Baik itu sesuai dengan jenis benang dan warna benang, atau sesuai dengan budgetnya.
Sudah dua bulan ini Suri mencoba memasarkan berbagai hasil rajutannya melalui marketplace dan media sosialnya. Ia memasarkan baju hangat, syal, selimut, topi, kaus kaki, dan juga tas yang lucu-lucu. Wanti yang mengusulkannya.
Wanti emosi saat ia menceritakan perseteruannya dengan Pras. Apalagi pada bagian Pras menghinanya hanya bisa menjadi buruh cuci kalau bercerai darinya. Wanti ikut panas dan mengusulkannya untuk mencoba mencari penghasilan sendiri, agar tidak lagi dihina-hina suami. Saat ia bingung harus bekerja apa, Wanti pun memberi satu ide cemerlang. Yaitu memanfaatkan keahliannya merajut untuk mendapatkan penghasilan.
Menurut Wanti ia bisa mencari penghasilan dengan memanfaatkan keahliannya merajut dan menjualnya melalui marketplace atau media sosial. Wanti juga menasehatinya untuk berani mencoba hal-hal baru, kalau tidak mau tergilas zaman. Pendidikan yang rendah tidak boleh membuatnya apatis terhadap perkembangan zaman. Semua orang bisa belajar, katanya lagi.
Dalam bidang pendidikan Wanti memang jauh lebih baik darinya. Wanti tamatan Sekolah Menengah Kejuruan Bisnis dan Manajemen. Dulu Wanti terpaksa menerima pekerjaan sebagai buruh jahit, karena belum juga mendapat panggilan kerja. Padahal sudah berpuluh-puluh surat lamaran yang ia layangkan pada perusahaan-perusahaan besar incarannya.
Satu-satunya perusahaan besar yang menerimanya adalah PT Adi Busana Eka Cipta ini. Makanya Wanti terpaksa menerima walau dengan posisi sebagai buruh jahit daripada ia menganggur. Hasil memang tidak akan menghianati usaha. Buktinya beberapa tahun kemudian Wanti sudah diangkat menjadi manajer pemasaran hingga sekarang.
Wanti terus menyemangatinya saat dirinya ragu akan kemampuannya berdikari. Menurut Wanti berniaga pada zaman sekarang sangat mudah. Ia tinggal memotret barang dagangan dan mengunggahnya pada marketplace atau media sosial. Barang yang ia jual juga bisa menggunakan sistem pre order atau pesanan. Jadi ia bisa berjualan dengan uang muka dari pemesan. Selain itu, ia juga tidak perlu takut kalau barangnya tidak laku. Karena memang sistemnya sudah dipesan terlebih dahulu.
Tertarik mendengar usul Wanti, Suri pun mulai mempraktekkannya. Ia menginstal sebuah marketplace ternama dan mengunggah barang-barang hasil rajutannya. Untung saja, ia memiliki cukup banyak stok rajutan. Ia menggunggah baju hangat, syal, selimut, topi, kaus kaki, dan juga tas tangan yang lucu.
Hasil uji cobanya mulai menampakkan hasil pada minggu pertama, dan terus meningkat setiap harinya.
Dalam kurun dua bulan ini dagangan ready stocknya sudah habis. Sekarang ia membuka pre order tas rajut lucu yang alhamdullilah banyak sekali peminatnya. Makanya ia sekarang sibuk mencari warna-warna benang yang sesuai dengan pesanan customernya. Suri sama sekali tidak menduga, kalau tas rajut yang polanya ia adopsi dari YouTube kini laris manis.
Selain itu demi memenuhi permintaan pasar, Suri juga merekrut beberapa teman sesama buruh jahitnya dulu. Dan lagi-lagi Wanti lah yang membantunya mengumpulkan teman-temannya itu. Ada lima orang penjahit yang bersedia membantunya merajut paruh waktu.
Mengenai hubungannya dengan Pras, saat ini mereka sedang dalam fase perang dingin. Mereka tidak bertengkar. Hanya saja mereka mengurangi intensitas kebersamaan. Masing-masing hanya berbicara seperlunya saja. Tidak ada lagi obrolan santai atau canda tawa seperti awal-awal pernikahan mereka dahulu.
Pras makin sering pulang malam dan tidak pernah mengabarinya lagi. Suri pun pasrah dan tidak berinisiatif untuk mencari tahu lagi.
Alih-alih mencemaskan Pras, Suri kini memanfaatkan waktu luangnya dengan hal yang lebih bermanfaat, yaitu merajut dan menguprade diri.
Setelah menyusuri hampir dua belas toko, Suri nyaris berteriak girang kala memindai warna-warna benang di toko terakhir. Ya akhirnya, ia melihat ada warna purple gold dan dragasi watercolors di pajangan kaca toko.
Pencariannya berakhir sudah. Semoga saja harganya juga bersahabat. Karena selain membeli benang-benang ia juga harus membeli media pendukung lain. Seperti pengait tas yang bagus, resleting dan segala hiasan-hiasan untuk mempercantik barang-barang rajutannya. Suri takut kalau uangnya tidak cukup.
Sudah dua bulan ini Pras mengurangi nyaris separuh jatah bulanannya. Pras beralasan kalau ia sedang mempunyai kebutuhan lain. Pras mengusulkan untuk memangkas hal-hal yang tidak perlu. Cukup tidak cukup, ya cukupkan saja, kalau menurut istilah Pras. Pada waktu itu Suri hanya mengangguk. Apalagi yang bisa ia lakukan bukan?
Sesuai dengan apa yang Pras intruksikan, Suri terpaksa memberhentikan Fahmi. Supir yang selama ini mengantar jemput Wira atau mengantarnya beraktivitas. Sebagai gantinya Suri sendirilah yang mengantar jemput Wira.
Pada awal Pras membeli mobil dulu, Suri memang sangat ingin belajar mengemudi. Pras sempat mengajarinya sebentar sebelum akhirnya menyerah. Pras ngeri melihat caranya mengemudi. Tanpa sepengetahuan Pras, Suri melanjutkan belajar mengemudinya melalui kursus mengemudi. Setelah tiga minggu belajar, Suri bisa mengemudi. Hanya bisa saja, tetapi belum mahir.
Waktu berlalu dan keuangan mereka pun semakin membaik. Ketika Pras mendapat fasilitas mobil dari kantor, Pras baru memperkerjakan Fahmi sebagai supir pribadinya dan Wira. Wira sudah mulai bersekolah playgroup waktu itu.
Suri yang masih berhasrat ingin bisa mengendarai mobil sendiri, sesekali meminta Fahmi menemaninya mengemudi. Demikianlah setelah tiga bulan berjalan, Suri bisa mengemudi dengan baik. Pras tidak mengetahuinya. Suri takut kalau Pras marah karena ia telah melanggar perintahnya. Suri tidak menyangka kalau pada akhirnya kemampuannya ini sangat berguna sekarang.
"Cari apa, Bu? Benang rajut ya? Ibu mau benang rajut jenis apa? Wol, nylon, aklirik, katun, rayon atau sutra?" Seorang pramuniaga yang ramah menghampiri Suri.
"Saya lihat-lihat dulu ya, Mbak? Ini yang berwarna purple gold dan watercolors berapa persatuannya ya?" Suri menujuk benang yang dicarinya. Toko ini seperti menjawab semua pencariannya. Warna dan semua jenis benang ada. Begitu juga media-media lain. Ada rantai tas, kancing tekuk tas, hiasan-hiasan, juga ring D untuk ujung tas. Keperluannya ada semua dalam satu toko.
"Benangnya seratus tiga puluh delapan ribu rupiah pergulungnya, Bu? Satu gulung 100 gram, 138 meter. Ibu mau warna yang mana saja?" tanya sang pramuniaga ramah.
Suri tercenung. Seratus tiga puluh delapan ribu rupiah pergulung. Sementara untuk membuat satu tas ukuran tiga puluh sentimeter dikali dua puluh tujuh sentimeter, ia membutuhkan empat gulung benang. Pesanan tasnya sebanyak lima puluh buah. Berarti ia membutuhkan sekitar dua ratus gulung benang. Nominal uangnya adalah dua puluh tujuh juta enam ratus ribu rupiah. Ia tidak memiliki uang sebanyak itu.
"Sebenarnya saya membutuhkan masing-masing seratus gulung untuk dua warna ini. Tapi karena sesuatu hal, saya membeli masing-masing warna lima puluh gulung dulu. Bisa, Mbak?" tawar Suri.
"Bisa saja, Mbak. Tapi saya tidak menjamin, saat Mbak ingin membeli lagi, stok benangnya bisa saja sudah habis. Karena warna purple gold dan watercalors ini sedang trend akhir-akhir ini. Banyak sekali pengrajin rajut yang mencarinya. Berhubung stoknya masih ada kenapa Mbak tidak membeli sesuai yang Mbak butuhkan saja," usul sang pramuniaga.
"Saya maunya juga begitu, Mbak. Tapi masalahnya uang saya tidak cukup." Suri tersenyum rikuh.
"Ambil saja dulu, Suri. Kamu bisa membayarnya apabila sudah memiliki uang nanti." Sebuah suara bariton terdengar dari balik punggungnya. Suri sontak berbalik. Ia penasaran dengan orang yang menyela pembicaraannya dengan sang pramuniaga.
Damar Adhiyatna! Mantan suami Murni Eka Cipta.
"Selamat sore, Pak Damar. Maaf saya tidak menyadari kehadiran Bapak." Suri membungkukkan sedikit tubuhnya. Kehadiran Damar membuatnya rikuh. Istimewa Damar mengetahui kesulitannya.
"Sore juga. Saya baru saja tiba di toko. Wajar kalau kamu tidak melihat kehadiran saya."
Suri hanya tersenyum kecil. Ia tahu harus bersikap bagaimana menanggapi kata-kata Damar. Damar dulu mengenalnya sebagai seorang buruh jahit di perusahaan mantan istrinya. Lantas sebagai istri Pras. Hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan. Makanya Suri kikuk. Walau mereka bukan atasan dan bawahan lagi, tetapi tetap saja, dalam hati Suri ada perasaan sungkan berhandai-handai dengan Damar. Ia merasa tidak selevel.
"Silakan melanjutkan acara belanjanya, Suri. Jangan sungkan, ini adalah toko salah seorang kerabat saya. Saya yang memasok semua bahan-bahannya. Jadi sudah pasti harganya lebih murah. Saya menemui pemilik toko dulu."
Suri mengangguk. Selanjutnya ia kembali melihat-lihat bahan-bahan rajutan. Ia memilih dua puluh lima buah rantai tas berwarna emas, dua puluh buah lima buah kancing tekuk tas, dan lima puluh buah ring D dengan warna yang sama. Ia berencana akan menyelesaikan dua puluh lima tas dulu. Setelah ia mempunyai cukup uang, baru ia akan membeli bahan-bahan lagi. Ia tidak mau berhutang. Apalagi berhutangnya dengan mantan suami Murni. Ia harus menjaga nama baik Pras di kantor.
"Tambahkan masing-maaing lima puluh gulung benang berwarna purple gold dan watercolors tadi, Sari. Jadi benangnya genap dua ratus gulung seperti yang dibutuhkan oleh Ibu ini." Damar kembali menyela saat pramuniaga yang dipanggil Sari itu tengah membungkus barang-barang belanjaannya.
"Eh tidak usah, Pak Damar. Saya--"
"Tidak apa-apa, Suri. Seperti yang saya katakan tadi, toko ini adalah milik salah seorang kerabat saya. Kalau kamu merasa tidak enak berhutang dengan kerabat saya, anggap saja kamu berhutang pada saya. Setuju?" tawar Damar lagi. Suri dengan cepat menggeleng. Ia memang tidak suka berhutang.
"Terima kasih atas tawarannya, Pak Damar. Tapi maaf, saya tidak ingin memulai usaha dengan hutang. Sekali lagi, maaf." Suri tetap pada pendiriannya.
"Baiklah. Saya tidak akan memaksa. Niat saya hanya ingin mempermudahmu saja. Saya permisi dulu." Damar mengangguk kecil sebelum meninggalkan toko. Suri balas mengangguk disertai senyum kecil. Suri memandangi punggung lebar Damar yang berjalan cepat di antara para pengunjung pasar.
Damar tidak berubah. Ia tetap sederhana dan membumi seperti sepuluh tahun lalu. Bayangkan seorang boss PT. Karya Tekstil Adhyatna ini, masih mau blusukan ke pasar-pasar. Mengecek toko-toko pelanggannya. Lebih jauh lagi, masih peduli pada mantan karyawati mantan istrinya.
"Ini saja barang belanjaannya, Bu? Tidak ingin menambah resleting atau hiasan pita-pita kecil lucu ini, Bu?"
Teguran sang pramuniaga memutus lamunan Suri.
"Cukup, Mbak. Nanti kalau ada yang kurang saya akan ke sini lagi." Suri mengeluarkan kartu debit. Ia membayar belanjaannya dengan DP pre order dari customer. Rencananya setelah menjual beberapa perhiasan pribadinya, baru ia akan membeli bahan-bahan lagi. Ia memang memiliki dua buah gelang yang dibeli dari hasil keringatnya sendiri. Kalau perhiasan-perhiasan dari Pras, ia tidak mau mengusiknya. Ia takut diamuk oleh Pras nantinya.
"Ibu parkir di mana? Biar karyawan toko saja yang mengangkat barang belanjaan Ibu. Lumayan berat soalnya." Sang pramuniaga yang ramah kembali mengusulkan hal yang sangat membantunya.
"Oh, kalau begitu Masnya bisa mengikuti saya saja, Mbak." Suri mencangklong tas di bahunya. Bersiap berjalan ke tempat parkir. Namun ia mengurungkan niatnya, saat merasakan ponselnya bergetar di dalam tas. Suri kembali membuka resleting tas. Mengeluarkan ponsel yang masih terus berdering. Ketika mendapati nama Mbok Inah sebagai pemanggil, jantung Suri berdebar. Ada apa Mbok Inah meneleponnya? Jangan-jangan terjadi sesuatu pada Wira?
"Ha--"
"Cepat pulang ke rumah ya, Bu? Bapak marah-marah karena Ibu memberhentikan Fahmi tanpa memberitahu Bapak. Cepat ya, Bu? Bapak benar-benar mengamuk ini!"