Chapter 4. Kamu Jual, Aku Borong.

2185 Words
Pintu pagar langsung terbuka saat Suri tiba di rumah. Tergopoh-gopoh Mbok Inah melebarkan pintu pagar. Sepertinya Mbok Inah sudah berdiri cukup lama di depan pagar. "Kata Bapak bicaranya langsung ke ruang kerja saja, Bu. Wira masih tidur soalnya. Takutnya nanti terbangun kalau mendengar suara-suara kata Bapak," ujar Mbok Inah begitu Suri turun dari mobil. Berarti Pras bukan ingin berbicara, melainkan bertengkar dengannya. Makanya Pras takut kalau Wira terbangun karena mendengar suara pertengkaran mereka. "Baik, Mbok. Sekarang Mbok ke kamar saja. Temani Wira tidur. Takutnya Wira terbangun saat mendengar saya dan Mas Pras mengobrol nanti." "Baik, Bu. Kalau Ibu membutuhkan apa-apa, panggil saja saya," imbuh Mbok Inah gelisah. Setelahnya Mbok Inah tergopoh-gopoh masuk ke dalam rumah. Kecemasan tidak bisa disembunyikan oleh air mukanya. Suri menarik napas panjang tiga kali sebelum berjalan menuju ruang kerja Pras. Ia mencoba mendinginkan kepalanya terlebih dahulu. Ia tidak ingin menghadapi Pras dengan emosi. Melainkan dengan akal sehat dan kepala dingin. Saat memasuki ruang tamu, pandangan Suri tidak sengaja membentur photo pernikahannya dengan Pras dulu. Di pigura berbentuk segi empat itu mereka berdua tersenyum lebar dengan pandangan menghadap kamera. Delapan tahun lalu mereka sangat optimis ingin membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warohmah. Tahun demi tahun mereka merenda cita dan cinta demi masa depan yang lebih baik. Dan kini, setelah harapan mereka terkabul, hubungan mereka malah mendingin. Komunikasi yang dulunya kerap mereka lakukan, sekarang semakin jarang. Pras terus disibukkan dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Jikalau pun mereka mengobrol, pembicaraan hanya akan berlangsung satu arah. Karena Pras tetap memelototi laptopnya. Pras merespon obrolannya hanya dengan menggeleng atau mengangguk. Pras seperti memiliki dunia sendiri. Di mana dirinya sudah tidak berada dalam prioritas Pras lagi. Prang! Lamunan Suri terputus saat mendengar suara barang pecah yang berasal dari ruang kerja Pras. Seperti inilah Pras bila sedang marah. Pras kerap menghempaskan apapun yang ada di hadapannya. Suri bergegas menghampiri ruang kerja. Memutar handle pintu dan melebarkannya. Dugaannya tepat. Pras telah menghempaskan asbak rokok dan vas bunga dari meja kerjanya. Beberapa dokumen juga berserakkan di lantai. Sementara Pras sendiri tampak berjalan mondar-mandir sembari menggerutu. Begitu melihat kehadirannya, baru lah Pas berhenti. "Wah, nyonya besar sudah pulang rupanya. Hebat sekali kamu sekarang ya, Suri? Kamu sudah berani memutuskan segala hal, tanpa membicarakannya terlebih dulu padaku!" raung Pras emosi. "Duduk dulu, Mas. Mari kita bicara baik-baik. Mas tahu 'kan kalau Wira sedang tidur." Suri mengabaikan serpihan asbak rokok dan vas bunga. Pikirnya nanti saja kekacauan ini ia bersihkan. Ia akan mengutamakan menjelaskan segala kesalahpahaman pada Pras dulu. Suri menghempaskan pinggulnya pada sofa di hadapan Pras. Ia berusaha tetap tenang walau Pras sudah melemparkan ejekan. Ia tidak mau terpancing. Kalau dirinya ikut-ikutan emosi, masalah tidak akan selesai. Yang ada mereka berdua akan saling berbalas ejekan. "Bicara baik-baik kamu bilang? Bukannya kamu yang memulai duluan? Kamu telah mempermalukanku di hadapan banyak orang, Suri!" Pras menunjuk wajah Suri geram. Namun ia mengikuti langkah Suri ke sofa. Pras sengaja mengambil posisi duduk di hadapan Suri. Pras ingin Suri terintimidasi dengan kemarahannya. "Mempermalukan, Mas? Memangnya apa yang sudah aku lakukan?" Suri menjinjitkan kedua alisnya. Ia tidak merasa melakukan hal yang memalukan. "Apa yang sudah kamu lakukan?" hardik Pras geram. Ia meremas rambutnya sekejab, kemudian mengepalkannya erat di atas paha. Ia benar-benar emosi mengingat kejadian memalukan sesiangan tadi. Tapi Suri masih saja berlagak pilon. Makin lama ia makin kesal melihat sikap membangkang Suri. Sungguh ia semakin tidak mengenali pribadi Suri yang seperti ini. Makanya kian hari ia kian tidak betah pulang ke rumah ini. "Baik. Sekarang buka telingamu lebar-lebar. Bayangkan jika kamu menjadi aku. Pada jam makan siang tadi, aku bertemu dengan Fahmi di restaurant. Karena mobilku mendadak tidak bisa distarter, aku meminta Fahmi mengantarku kembali ke kantor. Dan kamu tahu apa yang Fahmi katakan? Dia bilang kalau sudah seminggu ini ia tidak lagi menjadi supir kita, karena kamu telah memberhentikannya. Bayangkan orang-orang seisi restaurant menatapku dengan pandangan melecehkan. Dianggap apa aku ini. Sampai-sampai supir yang telah diberhentikan istri pun, aku tidak tahu. Aku malu, Suri. Malu!" Pras menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa malunya tidak bisa ia lupakan hingga sekarang. Apalagi saat rekan-rekannya tertawa riuh, dan menjulukinya DKI alias di bawah ketiak istri. Makanya setelah mengganti baterai mobil dan menghadiri rapat pemegang saham, ia langsung pulang ke rumah. Ia tidak berhasrat untuk lembur lagi. Ia ingin secepatnya meminta Suri menjelaskan semuanya. Dan sesampainya di rumah, ia kembali mendapat kejutan. Ternyata Suri telah mahir berkendara tanpa sepengetahuannya. Firasatnya mengatakan bahwa Suri sengaja memberhentikan Fahmi, agar ia bisa bebas. Toh dirinya sudah bisa menyetir sendiri. Sepertinya Suri banyak menyimpan rahasia sekarang. Pras tidak mengenali kepribadian Suri yang seperti ini. "Sekarang jelaskan, apa alasan kamu tiba-tiba memberhentikan, Fahmi?" tuntut Pras emosi. "Alasannya simple, Mas. Karena aku tidak mampu membayar gajinya. Mas lupa kalau sudah dua bulan ini Mas memotong uang bulanan hingga separuhnya?" Pras terdiam. Ia sadar kalau dirinya mempunyai andil dalam masalah pemberhentian Fahmi ini. Ia sengaja memotong uang bulanan Suri, demi memberi pelajaran pada istrinya. Ia ingin Suri mengerti betapa sulitnya mencari uang. Dengan begitu Suri tidak akan ribut lagi kalau dirinya sering pulang terlambat. "Tapi kenapa kamu pintar-pintaran memberhentikan Fahmi? Harusnya kamu membicarakannya denganku dulu!" Pras tetap tidak terima Suri mengambil keputusan sendiri. "Membicarakannya dengan, Mas? Memangnya Mas punya waktu?" sindir Suri santai. Air muka Pras semakin busuk mendengar sindiran santai Suri. Istrinya ini makin lama makin ngelunjak saja. Sudah berani menyindir-nyindirnya. "Kalaupun Mas punya waktu, apa Mas mau mendengarkan curhatanku? Biasanya aku baru berbicara dua patah kata saja, Mas sudah menyela dengan dua puluh kata. Belum lagi cemoohan Mas yang mengatakan kalau aku terlalu berlebihan dan lain sebagainya. Benar tidak, Mas?" Suri meluapkan perasaannya. Sesungguhnya sudah lama ia memendam kekecewaan pada sikap acuh Pras. Terhadap masalah orang lain, Pras sangat perhatian. Dua puluh empat jam, ia siap siaga membantu dan mendengarkan. Tetapi pada istri sendiri, sama sekali tidak ia anggap. Pencitraan Pras sudah pada taraf memuakkan. "Mas mampu menjadi pendengar yang baik untuk Bu Murni, dan mungkin bagi semua orang. Tetapi acapkali emosi dan kehilangan kesabaran kalau mendengar curhatan istri sendiri," protes Suri getas. "Biasakan berbicara pada topik permasalahan saja. Jangan merembet pada hal-hal lain." Pras mengibaskan tangannya ke udara. Ia paling malas menghadapi drama-drama istri yang tersakiti seperti ini. Terlalu berlebihan. "Oh, jadi Mas ingin aku menjawab singkat? Baik. Uang bulanan Mas tidak cukup. Sementara Mas mengultimatum, bahwa cukup tidak cukup, aku harus mengakalinya sendiri. Aku sudah mencoba berhemat semampuku. Aku tidak pernah lagi shopping di mall. Tidak membuka AC pada siang hari, tidak menggunakan microwave, tidak mengeringkan rambut dengan hair dryer, juga mematikan lampu-lampu yang wattnya besar. Aku menghemat bahan-bahan makanan. Aku memasak secukupnya. Hanya saja tetap pada gizi yang seimbang. Wira sedang dalam masa tumbuh kembang. Tapi semua itu belum bisa mengakali uang belanja yang kurang. Untuk itu aku terpaksa memberhentikan Fahmi. Karena kalau aku memberhentikan Mbok Inah, berat. Aku masih membutuhkan jasa Mbok Inah untuk merawat rumah dan juga membantuku menjaga Wira. Pikirku, aku sudah bisa mengendarai mobil sekarang. Jadi ketiadaan Fahmi bukan suatu masalah yang besar. Itulah alasan logis yang bisa aku jelaskan," terang Suri. "Baik. Alasanmu masuk akal. Aku terima. Sekarang coba kamu jelaskan. Mengapa kamu menawari rekan-rekanku barang-barang rajutanmu? Seolah-olah aku tidak mencukupi kebutuhanmu saja." Sedetik memuntahkan kalimatnya, Pras terdiam dengan wajah memerah. Suri menertawainya. Penyebabnya sudah jelas. Kalimat kontradiktifnya yang tidak sengaja terucap begitu saja. "Lho, memang tidak 'kan, Mas?" ungkap Suri lugas. Kata-kata Pras membuat Suri tertawa tanpa merasa lucu. Pras ini seperti sedang meludahi langit. Bayangkan, ia sedang meludahi langit saat ini. Dan tiba-tiba air ludahnya jatuh tepat membasahi wajahnya sendiri. "Baik. Aku ubah kalimatnya sekarang. Mengapa kamu mengemis agar mereka membeli barang-barang rajutanmu? Kamu membuatku kehilangan muka, Ri!" "Mas bilang apa tadi? Aku mengemis?" Suri menunjuk dirinya sendiri. "Iya. Karena sudah hampir dua minggu ini aku direcoki oleh pertanyaan-pertanyaan konyol seputar rajutan nenek-nenekmu itu oleh para kolega atau pun rekan-rekan kerja. Kalau kamu tidak mengemis pada mereka, dari mana mereka tahu soal kegemaran merajutmu itu?" Suri tidak sanggup menjawab pertanyaan namun isinya tuduhan oleh Pras. Hatinya perih karena diremehkan dan dihina sedemikian rupa oleh suaminya sendiri. Rasa sakitnya sampai membuat lidahnya kelu. Suri bernapas pendek-pendek. Mencoba mendinginkan kepalanya walau hatinya panas luar biasa. Menghadapi Pras, tidak perlu dengan ejekan. Namun dengan kalimat efektif yang mematikan. "Aku tidak pernah mengemis pada siapa pun, Mas. Aku memasarkan daganganku melalui marketplace dan media sosial. Mereka yang tertarik pada rajutanku dan menghubungiku untuk membuat pesanan. Mereka semua yang mencariku, bukan sebaliknya." Demi mendukung argumennya, Suri mengeluarkan ponsel dari tas tangannya. Ia kemudian menghampiri Pras dan memperlihatkan orderan-orderan customer yang mengikuti pre order rajutannya. Juga chat dari rekan-rekan Pras yang memesan melalui w******p. Suri selalu berprinsip, bahwa setiap ucapan harus disertai dengan bukti. "Ini, lihat semua orderan dan chat-chat masuk ini. Baca satu-satu kalau Mas masih belum yakin." Suri memaksa Pras memindai layar ponselnya. "Sudah. Jauhkan ponselmu dariku!" Pras menepis kasar ponsel Suri. Suri refleks menangkap ponselnya yang nyaris jatuh akibat tepisan tangan Pras. "Sudah melihat buktinya 'kan Mas? Makanya, jangan hanya media sosial artis, Bu Murni dan rekan-rekan Mas saja yang Mas follow dan beri love jempol. Tetapi follow juga media sosial istri sendiri. Dengan begitu Mas tahu apa yang sedang istri Mas kerjakan dengan mata dan telinga Mas sendiri," tutur Suri pedas. Ia sakit hati. Pras sungguh memandang rendah dirinya. "Oh, jadi kamu sekarang sombong karena sudah mulai berbisnis? Kamu tidak senang aku banding-bandingkan dengan Bu Murni, makanya kamu ingin menyainginya? Sadar Ri, sadar. Kamu itu cuma tamatan SMP. Mana mungkin kamu menandingi seorang pebisnis handal tamatan luar negeri seperti, Bu Murni!" Tuduhan tidak berdasar Pras membuat Suri kian geram. Ia seperti tidak mengenali Pras lagi. Bukan laki-laki bermulut tajam dan penuh prasangka buruk ini yang dulu ia nikahi. Pras berubah seratus delapan puluh derajat sekarang. Harta telah membuat kepribadiannya berbeda. "Untuk apa Mas membawa-bawa nama Bu Murni? Bu Murni tidak ada hubungannya dalam masalah ini. Oalah Mas... Mas, katanya saja Mas ini sarjana. Berpendidikan tinggi. Tapi untuk mendudukkan masalah pada proporsinya saja, Mas tidak bisa." Sekuat-kuatnya Suri menahan emosi, akhirnya meledak juga. Dirinya manusia biasa. Selama ini ia sudah cukup sabar menghadapi tingkah Pras yang makin menjadi-jadi. Ia masih memikirkan anak dan dua keluarga besar mereka di kampung halaman. Kalau mereka berdua ribut, bukan hanya hubungan mereka berdua saja yang renggang, tetapi kecanggungan antara dua keluarga besar juga. Karena sebelum mereka berdua menikah pun, keluarga besar mereka berdua di kampung sana dalam keadaan baik-baik saja. Hubungan keduanya rukun dan harmonis. Hal inilah yang selalu Suri pertimbangkan apabila mereka berdua ribut. Tatanan hubungan semuanya pasti akan hancur. Namun kali ini Suri benar-benar tidak tahan lagi. Ia akan membela diri ala orang yang tidak makan bangku sekolahan, namun berdasar dan bernalar. Harga dirinya memberontak karena terus dilecehkan. "Mas benar. Aku ini tidak berpendidikan tinggi dan berharta seperti Bu Murni dan istri relasi-relasi Mas lainnya. Oleh karena itulah aku mencari rezeki dengan cara yang berbeda pula. Dengan keterampilan merajut yang aku miliki misalnya. Jangan terus memandang ke atas, Mas. Apa orang-orang yang kebetulan tidak mempunyai peruntungan mengenyam pendidikan tinggi, tidak boleh berusaha? Jangan bersikap tidak adil, Mas!" "Pintar bicara kamu sekarang! Aku mau lihat, sampai mana usaha merajutmu itu bisa berkembang. Satu lagi. Aku mau kamu kembali mempekerjakan Fahmi. Aku juga akan memperingati Wanti, agar menjauh darimu. Wanti telah mengubahmu menjadi istri pembangkang!" bentak Pras geram. Dari mana istrinya mampu merangkai kalimat seakurat itu kalau bukan dari Wanti? "Mas ingin aku kembali memperkerjakan Fahmi? Boleh saja, Mas. Tapi Mas berikan dulu sisa uang belanja yang Mas kurangi itu. Baru Mas bisa menuntut hal itu dariku. Jangan bicara hal yang tidak bernalar, Mas. Malu sama ijazah sarjana Mas itu!" Plak! Suri terperanjat ketika Pras melayangkan tamparan ke pipinya. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Pras tega melakukan kekerasan fisik padanya. "Maaf, aku tidak sengaja. Kalau saja kamu tidak mengucapkan kata-kata yang keterlaluan, aku pasti tidak akan khilaf." "Mas meminta maaf, namun Mas menyalahkan orang yang maafnya Mas pinta." Suri tersenyum getir. "Mengenai kata-kataku yang menurut Mas keterlaluan, sesungguhnya itu adalah kebenaran yang tak mampu Mas bantah. Makanya Mas emosi." Pras terdiam. Pipinya memerah. Suri tahu Pras sadar dirinya salah. Namun egonya tidak mengijinkannya meminta maaf pada orang yang dianggapnya berada di bawahnya. "Untuk kali ini aku memaafkanmu, Mas. Tapi kalau hal ini terjadi lagi, maka permintaan maafmu akan diketik di kepolisian. Satu lagi, aku tidak mampu memenuhi permintaan Mas untuk kembali mengerjakan Fahmi. Kecuali persyaratan yang kuminta itu Mas penuhi." "Baik. Aku akan mentransfer sisa kekurangan uang belanja seperti yang kamu minta. Aku pergi dulu. Ada hal yang harus kuurus." Pada saat Pras berlalu, air mata Suri menitik. Cukup sudah. Tidak ada gunanya lagi ia mempertahankan rumah tangga yang sudah mulai keropos fondasinya ini. Mendadak ia teringat pada satu artikel keluarga yang pernah ia baca. Bahwa apabila seorang suami melakukan tindakan kekerasan fisik pada seorang istri, maka ia akan mengulanginya lagi. Suri memejamkan mata. Membiarkan titik-titik air membasahi pipinya. Untuk kali ini saja, ia akan menangisi nasibnya. Setelahnya ia harus merencanakan masa depannya. Menurut hematnya bukan hanya pernikahan yang harus direncanakan. Tetapi juga perceraian. Jikalau ia memang harus berpisah dari Pras, maka ia akan keluar dari rumah ini dengan dagu terangkat. Bukan dengan air mata berderaian seperti seorang pecundang yang kalah perang. Ia harus menang dari perangnya sendiri. Titik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD