"Bunda, ayah sekarang sibuk terus ya? Makanya jadi tidak bisa ikut jalan-jalan sama kita. Padahal ini 'kan hari Minggu. Masa ayah kerja juga?" celetukan polos Wira membuat Suri sedih. Hal-hal seperti inilah yang membuatnya gamang jika dirinya tidak mampu mempertahankan rumah tangga. Wira pasti akan terluka kalau ayah dan bundanya berpisah.
Sebenarnya Suri juga masih ingin menyelamatkan rumah tangganya. Rasanya terlalu bodoh kalau dirinya melepaskan suami yang sedari nol ia temani berjuang, untuk perempuan lain. Hanya saja Pras tidak ingin ia perjuangkan. Semakin hari mereka berdua semakin jauh walau masih tinggal dalam rumah dan ranjang yang sama. Pras sudah tidak pernah menyentuhnya, sejak pertengkaran mereka kemarin dulu. Sekarang mereka seperti dua orang asing yang terjebak dalam satu ranjang.
"Asal kamu tahu saja ya, Ri? Pras dan Bu Murni sudah tidak malu-malu lagi memproklamirkan hubungan mereka. Ke mana-mana berduaan terus. Bu Murni juga sudah tidak membawa kendaraan sendiri lagi ke kantor. Pras yang mengantarjemputnya setiap hari. Romantis sekali bukan? Mereka adalah topik utama ghibahan anak-anak setiap makan siang. Judulnya adalah cinta yang terlarang."
"Benar, sekarang memang hari Minggu. Tapi ayah ada PR dari kantornya. Makanya ayah harus mengerjakannya walaupun hari Minggu. Seperti Wira juga. Kalau ada PR, Wira harus mengerjakannya juga bukan walaupun sedang tanggal merah?" Suri mencoba memberi pengertian pada Wira, sesuai dengan usianya.
"Oh begitu ya, Bun? Rupanya orang kerja itu sama kayak sekolah." Wira mengangguk puas. Suri lega. Syukurlah perumpamaannya bisa diterima dengan baik oleh Wira.
"Kita ke Fountain ya, Bun? Wira kepingin makan es krim? Setelah itu baru kita ke timezone. Ya Bun, ya?" Wira mengguncang-guncang tangannya. Hari Minggu seperti ini memang waktunya membawa Wira berjalan-jalan. Biasanya Pras juga ikut. Bertiga mereka menghabiskan waktu quality time dengan putra semata wayang mereka.
"Oke. Tapi nanti di Fountain Wira makan nasi goreng dulu ya? Baru setelahnya kita main di Timezone sepuasnya. Oke?"
"Oke, Bunda." Wira mengacungkan jempolnya. Suri tergugu. Saat mengacungkan jempol seperti ini, Wira mirip sekali dengan Pras. Baik wajah maupun gestur tubuh, Wira memang mewarisi genetika Pras.
Suri mengibaskan kepala. Mencoba membuang ingatan yang akan semakin menyakiti hatinya. Lebih baik ia menghabiskan hari Minggu ini dengan gembira bersama Wira. Dengan saling bergandengan tangan, Suri membawa Wira menuju gerai es krim. Tepat pada saat akan melangkah masuk ke dalam gerai, pandangan Suri tidak sengaja membentur sepasang insan yang tengah tertawa bahagia. Tangan keduanya saling terjalin mesra. Bergerak maju mundur seiring ayunan tangan keduanya. Keduanya tertawa renyah dengan tatapan penuh binar-binar cinta. Suri memegang dadanya. Perih. Perih sekali. Kedua orang itu adalah Pras dan Murni!
Sesuatu memasuki benak Suri. Ia harus menjauhkan Wira dari Pras dan Murni. Ia tidak mau merusak mental putra tunggalnya.
"Lho, itu ayah kan, Bun?"
Wira menghentikan langkah, seraya menunjuk Pras yang belum menyadari kehadiran mereka berdua. Pras masih sibuk tertawa dan mengelus ubun-ubun Murni.
Terlambat! Wira sudah terlanjur melihat keduanya.
"Sepertinya bukan, Wira. Ayo sekarang kita langsung ke Timezone saja," seru Suri gugup. Ia tidak mau membuat Wira kebingungan karena terjebak dalam situasi pelik ini.
"Bukan mirip, Bun. Tapi memang ayah kok. Ayah!" Suri kaget saat Wira melepaskan tangannya dan berlari mengejar Pras.
Seperti yang sudah Suri duga. Pras dan Murni kaget melihat kehadiran Wira. Jalinan tangan keduanya tiba-tiba terlepas.
Keadaan sudah terlanjur kacau seperti ini, Suri terpaksa turun tangan. Ia pun ikut menghampiri Pras dan Murni.
"Bun, lihat. Ini memang ayah 'kan? Wira tidak salah lihat. Bunda yang salah." Wira memegang tangan Pras dengan bangga. Putra kecil itu merasa hebat karena telah mengenali ayahnya.
"Iya. Rupanya Bunda yang salah lihat," Suri tertawa kecil. Ia tidak ingin suasana awkward ini dirasakan juga oleh Wira. Makanya ia bersikap biasa-biasa saja. Berbanding terbalik dengan Pras dan Murni. Keduanya terlihat gelisah dan serba salah. Pras kehilangan kata-kata. Ia tidak berani menimpali pernyataan Wira.
"Rupanya Ayah kalau hari Minggu ngerjain PR kerjanya di mall ya, Yah? Kalau begitu kenapa kita tidak berangkat bersama-sama aja tadi? 'Kan nanti sehabis PR Ayah selesai, kita bisa ke Timezone?" tanya Wira polos.
Pras dan Murni saling memandang. Jelas keduanya tidak mengerti apa yang Wira maksudkan.
"PR kerja? Ayah tidak mengerti apa yang kamu katakan, Wira?" Akhirnya Pras bersuara juga.
"Begini lho, Yah. Tadi Wira tanya sama Bunda. Kenapa Ayah hari Minggu kerja juga? Terus kata Bunda, Ayah punya PR kerja. Kayak Wira punya PR sekolah. Makanya Ayah harus menyelesaikan PR kerja Ayah. Eh rupanya tempat Ayah mengerjakan PR di mall. Kan harusnya kita bisa pergi bersama?" tuntut Wira. Ia masih tidak puas. Kalau setujuan seharusnya mereka bisa berangkat bersama bukan?
Pertanyaan penuh tuntutan Wira kembali membuat Pras dan Murni saling memandang. Mereka pasti kehabisan alasan untuk menjawab rasa penasaran Wira.
"Ehm, begini Wira. Saat Wira mengerjakan PR, harus serius bukan biar tidak ada yang salah? Nah, begitu juga dengan PR kerja Ayah. Harus dikerjakan dengan dengan serius pula. Jadi kita jangan menganggu Ayah dan atasan Ayah ya, Nak? Biar Ayah cepat menyelesaikan PRnya. Oke, Wira?" Suri memutuskan untuk menyudahi saja pertemuan tidak sengaja yang membagongkan ini. Ia sudah muak berperan dalam drama satu babak penuh kepalsuan ini. Ia harus menyingkir secepatnya agar bisa tetap waras.
"Oh begitu ya? Ya sudah. Wira masuk duluan ya, Bun? Wira mau memilih meja yang kursinya panjang kayak sofa di rumah kita." Wira berlari masuk ke gerai Fountain. Meninggalkan Suri yang berdiri canggung di hadapan Pras dan Murni.
"Oh ya, kamu jangan salah paham ya, Suri? Saya tidak pernah memaksa Pras membahas masalah pekerjaan di hari libur. Pras sendiri yang menghubungi saya. Jadi kamu jangan berpikir kalau saya memerah keringat staff saya dengan semena-mena. Sekali lagi, Pras sendiri yang menghubungi saya. Benar begitu 'kan, Pras?" Murni sekarang angkat bicara.
Pras tidak menjawab. Ia hanya mengangguk canggung. Delapan tahun menikah membuat Suri sangat memahami karakter Pras. Sesungguhnya saat ini Pras sedang merasa malu. Bagaimana tidak malu, sikapnya bagai curut pengecut di hadapan istri sendiri. Ternyata Pras tidak mempunya taji jika sedang bersama Murni.
Menanggapi kalimat pembelaan Murni, Suri tersenyum tipis. Ia salut melihat kepiawaian Murni dalam membawa diri. Bahasa tubuhnya yang tadi tampak gelisah dan serba salah, kita berganti angkuh. Murni seperti ingin menegaskan kedudukannya sebagai seorang lady boss. Selain itu ada maksud terselubung dalam kalimat ; Pras sendiri yang menghubunginya. Murni mengulang kata-kata itu berkali-kali. Artinya, Murni ingin mengatakan bahwa Pras lebih memilih menghabiskan hari libur bersamanya, daripada dengan anak dan istrinya. Murni adalah type perempuan bermuka tembok dan urat malunya sudah putus. Lihat saja tingkahnya. Sudah salah, jumawa pula.
"Saya tidak salah paham, Bu Murni. Saya benar paham. Saya bukan Wira yang tidak bisa menilai keadaan. Seperti juga Bu Murni dan Mas Pras. Kita sama-sama tahu kebenarannya," imbuh Suri santai.
"Saya permisi dulu, Mas Pras, Bu Murni. Saya tidak ingin mengganggu pekerjaan Mas Pras dan Bu Murni," pamit Suri manis-manis menyindir. Ia kemudian mengangguk singkat dan berlalu menyusul Wira. Suri berhasil menampilkan sikap santai dan acuh saat berbicara dengan Pras dan Murni tadi. Namun saat berbalik, nyaris tidak mampu menahan lajunya air mata. Dirinya perempuan biasa. Seorang istri pula. Bukan hal mudah, menahan diri untuk tidak memaki-maki suami yang tertangkap basah bersama dengan wanita lain. Bukan perkara gampang juga mencegah tangannya untuk tidak menjambak perempuan yang sudah tahu dirinya salah, namun bersikap seangkuh itu di hadapannya. Telapak tangannya yang berbekas merah tanda kuku-kuku yang menancap di sana, adalah buktinya. Bukti betapa itu berusaha mengontrol emosinya hingga titik nadir, dengan mengepalkan kedua tangan sekuatnya.
Namun di atas semua itu, ia pantas menepuk d**a. Suri bangga pada dirinya sendiri. Ia sanggup menahan semua perasaan yang bercampur baur itu dengan sikap datar dan kepala tegak. Ia tidak mengamuk atau berteriak-teriak histeris seperti orang yang kehilangan kewarasannya.
Ia menghadapi rivalnya dengan santun dan anggun. Kalau Murni mengira ia akan mempermalukan dirinya di sana dengan drama ala-ala istri yang teraniya, Murni salah besar. Ia tidak sudi merendahkan dirinya seperti itu.
Suri mengusap dua tetes air mata yang tidak berhasil ia bendung. Baiklah. Untuk kali ini saja ia menangisi Pras. Istri yang baru saja menangkap basah suami yang berselingkuh, boleh saja menangis sebentar bukan?
***
Suara mobil yang memasuki halaman, membuat Suri refleks memindai jam dinding. Pukul sebelas malam lewat lima menit.
Suri kembali melanjutkan rajutannya. Sudah tiga hari ini ia tidak mau capek-capek membuka pintu gerbang atau pun pintu rumah lagi setiap Pras pulang malam.
Ia sudah membuat dua buah kunci duplikat, yang salah satunya ia berikan pada Pras. Suri beralasan kalau dirinya mungkin saja sudah tertidur saat Pras pulang. Begitu juga Mbok Inah. Oleh karenanya lebih praktis kalau Pras membawa kunci rumah sendiri. Jadi, jam berapa pun Pras pulang, tidak akan ada orang yang terganggu. Kala itu, Pras langsung menyetujuinya. Menurut Pras idenya ini brilian. Ia jadi bisa pulang pagi sekalian. Jawaban Suri waktu itu hanya kedikan bahu acuh. Ia tidak peduli.
Sejurus kemudian pintu kamar terbuka. Pras masuk seraya membuka kancing-kancing kemeja dan celananya. Selanjutnya ia membuang begitu saja pakaian kotornya ke sudut kamar.
"Punya istri, punya pembantu rumah tangga, tapi semuanya tidak bisa diharap." Pras mengomel seraya membanting pintu kamar mandi. Tidak lama kemudian suara gemericik air terdengar dari pancuran. Suara botol shampoo atau entah apapun itu, terdengar berjatuhan di dalamnya. Sepertinya Pras sedang tidak enak hati dan melampiaskannya pada benda-benda mati di kamar mandi. Suri tetap tenang melanjutkan rajutannya. Ia tidak mempedulikan segala tingkah polah Pras yang bertujuan menyindirnya.
Beberapa menit kemudian pintu kamar mandi terbuka dengan kasar.
"Kamu bisu apa bagaimana? Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?" hardik Pras keras. Pintu lemari yang tidak bersalah, ia sentak dengan keras. Setelahnya Pras menarik celana pendek dan kaus putihnya sembarangan. Alhasil lipatan pakaian di atasnya berjatuhan. Masih belum puas melampiaskan kekesalan, Pras menutup pintu lemari dengan suara berdebam keras.
"Pertanyaan Mas itu tidak memerlukan jawaban," sahut Suri kalem. Ia tidak sedikit pun terpancing dengan kalimat provokatif Pras. Ia tidak peduli tepatnya.
"Mas sudah tahu kalau aku tidak bisu juga tidak tuli. Jadi untuk apa kujawab bukan?" Suri balik bertanya. Pras membuka mulut, namun menutupnya kembali.
"Kalau begitu mengapa kamu terus bungkam? Kamu tidak bertanya aku dari mana atau apa sebenarnya yang terjadi siang tadi?"
Ternyata Pras kesal karena tidak anggap lagi. Dasar laki-laki egois. Pada saat diperlakukan bagai raja, ia menggerutu. Dirinya tidak memerlukan pengabdiannya katanya. Giliran tidak dianggap, sikapnya seperti orang yang paling terdzolimi. Tingkah kekanakannya ini lebih parah dari Wira.
"Untuk apa aku bertanya? Kita berdua juga sudah tahu apa jawabannya. Buang-buang napas saja. Lebih baik napasku kugunakan untuk hal yang lebih berguna. Meneruskan rajutanku misalnya," Suri mengedikkan bahu. Mempertegas alasannya tidak pedulinya dengan bahasa tubuh.
"Baru punya penghasilan seperak dua perak saja, kamu sudah sombong. Kuceraikan betulan baru tahu rasa kamu!" Pras makin panas. Suri semakin lama semakin tidak menghormatinya.
"Oh, Mas mau menceraikanku? Asal pembagian harta gono gininya adil, aku sih tidak masalah. Jadi kapan Mas mengirimkan gugatan cerainya?" tantang Suri santai.
Kamu jual, aku beli.
Kamu menantang, akan aku layani. Aku sudah lelah menyuapi ego laki-laki yang baru melek harta ini.