Chapter 6. Semut Pun Akan Menggigit Jika Terus diinjak.

1837 Words
"Wah kamu semakin maju sekarang ya, Suri? Sudah mengerti soal harta gono gini. Tapi ngomong-ngomong yang mana satu hartamu di dunia ini? Rumah? Aku yang mencicilnya. Mobil? Aku juga yang membelinya. Bahkan sofa malas yang kamu duduki sekarang pun, aku yang membelinya. Lantas mengapa kamu berani berbicara soal harta gono gini?" Pras berkacak pinggang. Ia sama sekali tidak menyangka kalau jawaban Suri selicik ini. Berani-beraninya membahas soal harta gono gini. Luar biasa. Ia tidak mengenal pribadi Suri yang seperti ini. "Harta gono gini itu adalah harta yang dihasilkan selama pernikahan. Tidak peduli si suami atau di istri yang membeli aset atau harta-harta tersebut. Aku kira seorang sarjana seperti Mas, lebih memahami masalah itu daripada aku." Suri merapikan alat-alat rajutnya. Ia sudah lelah. Ia akan beristirahat agar besok pagi tubuhnya lebih bugar. Pesanan rajutan membludak, sementara bahan bakunya kurang. Ia akan berbelanja ke pasar besok pagi. "Wah... wah... wah... Suri Teguh mulai beraksi. Kamu tidak malu meminta sesuatu yang bukan milikmu?" Pras menahan bahu Suri yang bersiap berdiri dari kursi. Suri melengos. "Mas mau hitung-hitungan?" Suri menjinjitkan alisnya. "Baik. Sini, Mas. Duduk di sebelahku. Pembicaraan ini akan lama soalnya." Suri menepuk sofa panjang di sampingnya. Ia akan membahas soal hitung-hitungan ini satu persatu. "Baik. Mau hitung-hitungan apa kamu? Pakaian dalammu saja dibeli dengan uangku," ejek Pras dengan bibir mencebik. Sikapnya meremehkan sekali. Pras kemudian duduk di sofa dengan sikap ogah-ogahan. "Ayo, segera mulai hitung harta-hartamu, kalau memang ada. Sepertinya kamu keseringan menonton drama Korea, sehingga sering berhalusinasi. Entah sejak kapan kamu punya aset di rumah ini. Ayo cepat hitung. Aku sudah mengantuk." Pras menyugar rambutnya yang masih setengah basah dengan jemari. "Berhubung Mas tadi menyinggung soal pakaian dalam, maka aku akan mulai membahasnya dari bagian itu saja dulu. Benar uang Mas yang membelinya. Tapi Mas lah yang menikmati isi dalamnya. Kalau Mas mulai main hitung-hitungan, sekarang aku minta Mas untuk mengembalikan keperawananku. Bisa Mas?" Pras tidak bisa menjawab. Ia sama sekali menduga kalau Suri yang biasanya cara berpikirnya sederhana, bisa mengeluarkan pertanyaan cerdas seperti ini. "Itu baru satu barangku yang Mas ambil. Kedua, kita telah menikah selama delapan tahun. Dalam kurun waktu delapan tahun itu, aku melayani Mas lahir batin. Bisakah Mas mengembalikan kenikmatan lahir batin yang sumbernya berasal dari tubuhku?" tantang Suri lagi. Air muka Pras makin tidak enak dilihat. Alisnya menungkik turun dengan bibir mencemooh. Ciri khas Pras kalau dirinya tengah terpojok. Sebentar lagi ia pasti akan mengucapkan sumpah serapah yang tidak ada hubungannya dengan topik bahasan. Ciri khas orang-orang egois. "Yang ketiga, lahirnya Wira. Bisakah Mas membayar untuk rahim, air s**u, kasih sayang yang telah aku berikan pada Wira? Jawab yang itu saja dulu, Mas," papar Suri. "Pinter ngomong kamu sekarang! Serakah lagi. Kamu sekarang berubah. Tidak seperti Suri yang lugu dan baik hati yang dulu aku pinang untuk membina rumah tangga. Sekarang kamu sombong dan ambisius!" tuduh Pras geram. "Tidak terbalik, Mas?" Suri tertawa tanpa merasa lucu. "Aku tidak pernah berubah dari dulu. Justru Mas lah yang berubah drastis. Mas lupa diri karena sedang berada di atas. Mas lupa dari mana Mas berasal." Suri menyingkirkan tangan Pras dari bahunya. Suri sadar, tidak ada gunanya berargumen dengan orang yang merasa paling benar sendiri. "Halah, kamu sok berdikari begini karena kamu ingin menyaingi Bu Murni bukan? Ingin menunjukkan padaku kalau kamu juga bisa seperti Bu Murni. Akui saja terus terang," ejek Pras sinis. Suri tidak mengindahkan ejekan Pras. Dengan tenang Suri meraih alat-alat rajutnya dan menyimpannya dalam lemari. Ia sedang menerapkan seni bodo amat dari buku yang baru selesai ia baca. Di sana dikatakan bahwa tidak ada gunanya melambaikan kain merah pada banteng yang buta. Yang ada banteng itu akan serudak seruduk bengis mencari kain merah. Padahal kain itu dilambaikan tepat di depan matanya. "Tidak bisa menjawab ya? Kukatakan sekali lagi ya, Suri. Jangan mimpi ketinggian. Nanti kalau jatuh, sakitnya tidak hilang-hilang. Aku beri kamu satu gambaran lagi. Sampai kamu bungkuk pun, kamu tidak akan bisa menyaingi Bu Murni." Pras emosi karena Suri mencuekinya. Dulu mana berani Suri bersikap kurang ajar seperti ini padanya. "Mas secinta eh sekagum itu ya pada Bu Murni? Sampai-sampai Mas tidak tahan kalau tidak menyebut nama Bu Murni minimal lima belas menit sekali ya, Mas?" sindir Suri. Pras terdiam dengan hidung kembang kempis seperti banteng marah. Pras kehilangan alasan namun masih saja tidak mau kalah. Akhirnya ia jadi marah-marah sendiri. "Mulai hari ini aku akan tidur di kamar tamu saja. Aku pusing sekamar dengan orang yang kemaruk bisnis seperti kamu," dengkus Pras seraya menunjuk wajah Suri. "Silakan, Mas," sahut Suri singkat. Suri kemudian membungkuk. Mengumpulkan pakaian kotor Pras, agar ia pindahkan pada keranjang pakaian kotor. Pada saat itulah, pandangannya mengarah pada beberapa titik. Ada bekas-bekas noda lipstick di kerah dan bagian d**a Pras. Hubungan Pras dengan Murni sudah sejauh ini rupanya. Pada saat Suri melirik Pras, Pras juga tengah memandangnya. Pras terlihat salah tingkah saat Suri mengelus noda lipstick di kerah kemejanya. Namun Pras tidak mengatakan apa-apa. Hanya air mukanya saja yang terlihat serba salah. "Besok pagi-pagi sekali, aku akan meminta Mbok Inah memindahkan semua barang-barang Mas ke kamar tamu. Mengenai tawaran perceraian Mas tadi, aku setuju, asalkan beberapa poin keinginanku itu diloloskan. Selamat malam, Mas. Aku mau tidur." Suri mengusir Pras dingin. Untuk pertama kalinya Suri marah dalam arti yang sebenarnya pada Pras. Selama ini ia memang marah pada Pras. Tapi ia masih menyediakan satu pintu maaf di sudut hatinya. Berharap walau sekecil apapun itu, bahwasannya Pras akan berubah. Siapa tahu, rasa terpesonanya pada Murni hanya gejolak perasaan sesaat. Puber kedua istilahnya. Namun saat melihat noda lisptik ini, harapannya pupus. Hubungan Pras dengan Murni ternyata sudah sejauh itu. Nuraninya berontak. Ia kini jijik pada Pras. "Baik. Tidak perlu buru-buru. Kalau Mbok Inah repot--" "Kalau Mbok Inah repot, aku sendiri yang akan memindahkannya. Mas tidak usah khawatir. Sudah larut malam Mas. Aku mau tidur." Suri memotong kalimat Pras tanpa basa-basi. "Baik. Aku cuma mau bilang, kamu jangan salah paham soal noda lipstik itu. Bu Murni mabuk. Aku mengantarnya pulangnya." "Aku tidak peduli. Itu urusan kalian berdua. Silakan keluar," pungkas Suri dingin. Pras memandang Suri lurus-lurus. Suri marah besar padanya. Selama delapan tahun pernikahan, baru kali ini Suri bersikap dingin. Suri itu pemaaf juga berjiwa legowo. Melihatnya dingin dan datar seperti ini, Pras tidak nyaman. Ia bukan takut pada Suri. Ia hanya terima dihakimi padahal ia tidak bersalah. Ia mengatakan hal yang sebenarnya. Ia dan Murni menghadiri jamuan makan malam client, yang dilanjutkan dengan bersenang-senang sejenak di club. Murni mabuk dan berjalan dengan sempoyongan. Karena khawatir Murni terjatuh, ia pun memapah Murni. Makanya ada noda lipstick di pakaiannya. Kejadiannya sampai di situ saja. Tidak ada kelanjutannya lagi. "Baik. Aku memang akan keluar dari sini. Pulang ke rumah bukannya disambut dengan senyum ramah dan pijatan, ini malah hujatan saja." Pras meraih bantal dan guling dalam pelukan. Setelahnya ia membuka pintu kamar dan membantingnya kasar. Suri lagi-lagi bersikap masa bodoh. Secepat Pras berlalu, secepat itu pula ia mengunci pintu. Ia sudah memasrahkan segalanya. Kalau memang jodohnya dan Pras hanya sampai di sini, ia tidak akan memaksakan diri lagi. Dirinya juga berhak bahagia. *** Baru saja turun dari ojek online, Suri disambut oleh pemandangan yang membuatnya geram. Seorang pemotor tampak pura-pura jatuh di depan sebuah mobil yang sedang melaju pelan. Sejurus kemudian sang pemotor bangkit dan mengetuk-ngetuk pintu kaca mobil dengan marah. Beberapa laki-laki di sekitar lokasi kejadian ikut berlarian menghampiri mobil. Mereka berteriak-teriak dan memukul-mukul mobil si pengendara mobil. Suri menduga bahwa beberapa laki-laki itu adalah komplotan sang pemotor. Tidak lama kemudian pemilik mobil membuka kaca mobilnya. Suri terkesima. Ternyata yang pengemudi mobil adalah seorang wanita paruh baya yang sudah sepuh. Suri yang khawatir kalau ibu tersebut akan menjadi korban pemerasan segera menghampiri lokasi. Ia bersedia menjadi saksi, kalau si ibu tidak bersalah. Ia menyaksikan seluruh kejadian dari awal. "Ibu sudah tua. Seharusnya Ibu tidak menyetir sendirian. Lihat akibatnya. Ibu menabrak saya. Untung saja saya tidak kenapa-kenapa." "Ibu ini tidak bersalah, Dek. Kamu yang dengan sengaja menjatuhkan diri. Saya melihat semua kejadiannya dari kejauhan." Dengan berani Suri menghampiri sang pemotor yang ternyata masih remaja. "Mbak siapa? Jangan ikut campur?" bentak sang pemotor kasar. Beberapa teman si pemotor mulai mengelilingi Suri. Bahasa tubuh mereka sangat mengintimidasi. "Saya adalah saksi kunci tentu saja," jawab Suri lugas. Ia miris melihat remaja seperti ini sudah berani melakukan perbuatan tidak terpuji terhadap orang tua. Yang sudah sepuh lagi. Sang pemotor mengabaikan teguran Suri. Ia kembali memfokuskan pandangan pada ibu pengemudi mobil. "Ibu harus membayar ganti rugi karena sudah menyebabkan motor saya rusak. Juga mungkin ada bagian dalam tubuh saya yang terluka. Saya meminta ganti rugi lima juta!" Sang pemotor mengulurkan tangan pada si ibu. Beberapa temannya berjalan petantang-petenteng mengelilingi mobil. "Lima juta? Kamu sendiri yang sengaja menjatuhkan diri. Motor dan dirimu juga tidak kenapa-kenapa. Karena saya lihat kamu memilih cara jatuh yang aman. Tapi kamu meminta ganti rugi yang tidak masuk akal. Kamu memeras orang yang seusia dengan nenekmu!" hardik Suri geram. "Diam kamu! Ini semua bukan urusanmu. Aku hanya menuntut hakku!" Sang pemotor mengangkat tangannya. Bermaksud memukul Suri. "Hentikan!" seru ibu pengemudi mobil. Si ibu sekarang keluar dari mobilnya. Suri terkesima. Mungkin usia ibu ini sudah mendekati akhir enam puluhan. Namun masih terlihat sangat sehat. "Kamu ini sudah menipu, kemudian memeras dan sekarang ingin menganiaya orang. Pasal yang sudah kamu langgar banyak sekali," tukas si ibu berwibawa. "Kalau Ibu tidak mau berdamai, ya sudah. Saya akan melapor ke polisi. Lihat saja, uang yang akan Ibu keluarkan nanti akan lebih banyak dari yang saya minta." Sang pemotor meludah. Sikapnya sangat memuakkan sekali. "Ayo, memang tujuan saya adalah kantor polisi. Saya ingin lihat, sampai sejauh mana kearoganan kamu ini bertahan," si ibu balas menggertak. Seperti perkiraan si ibu, sang pemotor mulai gentar. Ia berkali-kali melirik pada komplotannya. Mungkin ia tidak menduga kalau reaksi si ibu begitu keras. Salah seorang komplotannya membuat gerakan untuk menyingkir dengan kedikan kepala. Sepertinya mereka semua berniat kabur. "Ayo kita semua ke kantor polisi. Begitu juga dengan kalian semua." Si ibu menunjuk komplotan sang pemotor dengan telunjuknya. "Kalian semua boleh menjadi saksi teman kalian ini. Saksi saya, cukup Mbak ini saja." Sang ibu menunjuk Suri dengan dagunya. "Tenang saja, saya bersedia membayar lima puluh juta, kalau saya memang bersalah. Tapi kalau tidak, bersiaplah. Saya akan membuat kalian semua mendekam dalam jeruji besi karena sudah berani melakukan aksi penipuan berkomplot dan juga pemerasan." Si Ibu membuka pintu mobil, bersiap-siap masuk ke dalam. "Ayo, Mbak ikut saya. Akan kita buktikan siapa yang bersalah di sini." Si ibu mengajak Suri ikut masuk ke dalam mobil. Pada saat itulah tiba-tiba saja sang pengendara motor kabur berikut antek-anteknya. "Bu, mereka kabur. Apa perlu kita mengejar mereka?" usul Suri. "Tidak perlu. Pelajaran hari ini sudah cukup untuk membuat anak-anak piyik itu ketakutan. Lagi pula kasus seperti ini agak sulit diproses. Paling nanti disuruh berdamai," si ibu nyengir. Suri tertawa. Ia menyukai kepribadian si ibu yang pintar sekaligus jenaka ini. "Lho, Ibu. Mengapa Ibu tidak bilang-bilang akan ke sini?" Suara seseorang yang menyapa si ibu terasa familiar di telinga Suri. Suri menoleh ke belakang. Ia terdiam sejenak. Semesta begitu kecil rupanya. Karena orang yang memanggil ibu itu adalah Damar Adhyatna. Mantan suami Murni.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD