GO HOME

2425 Words
Saat aku bangun, hari sudah sore. Ruangan kamarku terlihat gelap dan pemandangan di luar yang terlihat dari jendela juga menunjukkan bahwa sang malam sudah bersiap untuk datang. Perlahan aku bangun dari tidurku, melangkah ke jendela. Aku melihat sebentar keadaan di luar sebelum akhirnya menutup kaca dan gorden jendela kamarku. Setelah itu aku menuju ke galon airku. Aku ambil segelas air dan meneguknya habis. "Segar," gumamku pelan. Selesai minum, aku pun masuk ke kamar mandi. Orang ganteng memang tidak perlu mandi, karena ganteng itu dari bentuk wajah sejak bayi bukan riasan sana-sini. Kata-kata itu bukan hanya untuk pria, tetapi berlaku juga untuk wanita. Sebuah kata-kata pembenaran agar tidak dicemooh kalau meski sudah mandi masih jelek saja. Selesai mandi dan berpakaian rapi, aku keluar dari kamarku. Hari ini berniat untuk mengunjungi kosan Ilham, rekan kerjaku di rumah sakit. Sudah dua hari ini dia tidak masuk, sakit. Jadi, aku akan mengunjunginya lebih dulu sebelum shift kerjaku datang. Bersama Mai—sepeda motor kesayanganku, aku pun pergi ke kosan Ilham. Di tengah perjalanan aku sempat mampir untuk membeli buah, roti dan juga s**u kaleng sebagai oleh-oleh. Sebenarnya aku ada niat untuk membelikannya satu dus mie instans yang menjadi kebutuhan primer anak kos di tanggal tua. Akan tetapi, aku khawatir Ilham akan salah paham jika aku melakukan itu. Belum juga sampai, aku harus menghentikan perjalananku. Si Mai minta operasi plastik. Bannya bocor kena paku sehingga harus diganti ban dalamnya. Terpaksa, demi kesejahteraan bersama aku mengoperasi plastik Mai. Sembari menunggu tukang tambal ban mengoperasi Mai, aku meminta izin untuk pergi ke warung yang berada kira-kira 300 meter dari tukang tambal itu. Aku haus, ingin minum. Tiba di warung aku tertegun, menatap seorang wanita yang kira-kira berusia di awal 20 tahunan berdiri dengan begitu anggun. Padahal saat ini dia mengenakan pakaian casual, celana jeans dengan kemeja panjang bermotif garis vertikal. Rambutnya digerai dengan poni menutupi dahi. Hidungnya mancung, matanya rada sipit dan sekilas, aku mengira dia mirip dengan Chorong, leader dari girls grup Apink. "Mau beli apa, Mas?" tanyanya dengan ramah. Aku masih terpaku menatapnya tanpa mampu berkedip atau menjawab. "Mas, mau beli apa?" tanyanya lagi. Aku masih diam, terpana. "Mas!" katanya cukup keras yang membuatku segera terhenyak. "Ah, maaf," kataku sembari berusaha menyadarkan diriku. "Mas ke sini mau beli-beli atau gimana?" tanyanya. "Di sini jual minuman, Mbak?" tanyaku. Wanita itu mengangguk. "Dingin ada, panas ada. Mau beli yang mana?" tanyanya lagi. "Di sini jual semuanya?" tanyaku memastikan. Wanita itu mengangguk lagi. "Iya, mau beli apa?" "Kalau beli nomer w******p mbak ada?" tanyaku yang seketika membuat wanita itu tergelak pelan. Wanita itu menatapku lekat, dari atas hingga bawah lalu menaik-turunkan kepalanya seolah sedang memberikan penilaian akan penampilanku. "Beli minum apa, Mas?" tanyanya dengan ekspresi seolah dia tidak mendengar pertanyaanku. Oke, ada yang bisa tenggelamkan aku di rawa-rawa? Malu. "Teh kotak aja, Mbak," jawabku. Wanita itu mengangguk lalu berjalan menuju ke warung. Tak lama kemudian dia kembali dengan dua teh kotak di tangannya. Dia tersenyum saat memberikan teh kotak itu padaku. "Saya cuma mau beli satu, Mbak," kataku heran. Wanita itu hanya tersenyum tipis. "Sepuluh ribu," katanya sambil mengulurkan tangannya padaku. Aku merogoh kantung celanaku lalu memberikannya uang sepuluh ribu rupiah.     "Bentar ya," katanya lalu berjalan ke warung lagi. Kali ini dia memberikan uang dariku ke seorang wanita yang cukup berumur, sekitar 40.an. Setelah itu dia berjalan padaku sembari mengotak-atik ponselnya. "Berapa?" tanyanya saat sudah di depanku lagi. "Heh?" "Nomer WhatsAppmu," lanjutnya yang langsung membuatku tersenyum lebar. Aku pun mulai menyebutkan nomer WhatsAppku. Selesai mengetik nomerku, wanita itu mendongakkan kepalanya, menatapku dengan lekat. "Namamu siapa, Mas?" tanyanya. "Rangga," jawabku. "Yah," katanya merasa kecewa. "Kenapa?" tanyaku bingung melihat ekspresi kecewa darinya. "Namaku bukan Cinta, Mas," katanya lagi membuatku tertawa. "Sekarang bukan zaman AADC, Mbak," sanggahku. "Zaman Dilan dan Milea ya?" tebaknya. Aku menggeleng. "Bukan," jawabku. "Namamu siapa?" "Siska," jawabnya. "Ah, mau bilang ini zamannya Rangga dan Siska ya?" tanyanya sambil senyum lebar. "Bukan," sanggahku. "Trus?" "Sekarang zaman modern," jawabku. "Heol." Aku tertawa geli melihat Siska memanyunkan bibirnya. "Sudah ya, aku pamit," kataku memohon diri. Siksa mengangguk. "Makasih teh kotaknya," katanya lalu berjalan pergi sambil melambaikan tangan. Ternyata, Siska bukan penjual, tetapi pembeli sama sepertiku. Dasar curang. Aku pun kembali ke tambal ban, si Mai, sepeda motorku sudah selesai dioperasi plastik. Setelah itu aku segera pergi ke kosan Ilham. Cukup lama aku menunggu Ilham sebelum akhirnya lelaki berkepala pelontos itu membukakan pagar kosan-nya untukku. Selesai memarkirkan sepeda motorku, aku mengikuti Ilham yang berjalan menuju ke kamarnya. "Masuk, Ga! Sorry berantakan," katanya sambil merebahkan dirinya di kasur bawah bersprei Doraemon. "Nggak apa-apa," kataku lalu duduk di karpetnya. "Nih!" kataku sembari menunjuk kantong plastik yang baru saja kuletakkan bersamaan dengan saat aku duduk. "Apa tuh?" tanya Ilham. "Roti, s**u dan buah," jawabku. "Repot amat, Ga. Kenapa nggak beliin aku mie satu kardus aja sih?" tanyanya sambil beringsut mendekati kantong plastik yang kumaksud. "Takut kesinggung," jawabku jujur. "Kesinggung kenapa?" tanya Ilham heran. "Ya, nanti kamu kira aku menganggapmu kaum duafa," jelasku. "Emang, duafa kok," sahut Ilham tidak menyangkal sama sekali. "Tapi kan kamu sakit, jangan makan mie mulu lah! Mie susah dicernanya, butuh waktu tiga hari bagi tubuh kita mencerna satu bungkus mie instan!" Ilham menyipitkan matanya. "Kamu kira aku nggak tahu?" tanyanya. "Ah, bukan begitu, Ham. Maksudku-.." "Iya, paham. Cuma gimana, the power of anak kos," kata Ilham memotong ucapanku. "Iya, dah," kataku mengalah. "Emang kamu nggak makan mie instan, Ga?" tanya Ilham. Aku menggeleng. "Nggak.” "Kenapa?" "Nggak apa-apa, makan sehat aja sih," kataku jujur. Ilham tergelak. "Pasti bosen amat hidupmu, Ga." ejek Ilham. "Bosen tapi sehat nggak apa-apa kan?" sanggahku. "Iya, dah," sahutnya mengalah. "Jadi, kamu sakit apa?" tanyaku pada Ilham. "Meriang," jawab Ilham. "Udah periksa?" tanyaku lagi. "Nggak bisa diperiksa," jawab Ilham. "Kenapa?" tanyaku heran. "Soalnya sakitku ini bukan meriang biasa," jawab Ilham. "Heh? Komplikasi?" tanyaku cemas. "Iya," jawab Ilham dengan wajah serius. "Komplikasi apa? Serius nggak? Parah?" "Kompilasi sama cinta nggak terbalas hingga akhirnya merindukan kasih sayang dari wanita yang nggak sayang kita, itu menikam jantung dan menyebabkan sakit berkepanjangan," jelas Ilham dengan alay. Aku mendesah pelan. "Ngedrama, Ham? Nggak usah baca monolog gitu ah! Alay!" sergahku yang membuat Ilham cekikikan. "Duh, Rangga! Hidup itu butuh drama emang, biar nggak bosen kayak hidupmu yang ngeflat," ledek Ilham. "Hidupku nggak ngeflat kok," elakku. "Trus? Udah ada pacar kau?" Aku menggeleng. "Ada gebetan?" "Belum." "Tuh kan? Asmaramu aja kelam, apalagi hidupmu, Ga. Kamu mah cuma menang tampang aja! Kamu sia-siain tuh tampang gantengmu, Ga." "Idih, aku cuma nggak mau jadi playboy," elakku. "Yang nyuruh jadi playboy siapa Rangga Aditya George?" sangkal Ilham. "Terus?" "Maksudku, dari awal aku kenal kamu pas 2016 sampai sekarang, aku nggak pernah lihat kamu deket sama cewek atau nargetin satu cewek di rumah sakit tempat kita bekerja, emangnya kenapa kok bisa begitu?" oceh Ilham. Aku hanya diam, malas menanggapi pertanyaan yang sama darinya. Sejak awal kenal sampai sekarang, Ilham selalu menanyakan hal yang sama. "Rangga punya pacar?" Aku bosan mendengar pertanyaan itu. Dia sudah mirip dengan mama saja. Bedanya mama selalu menanyakan calon istri, bukan pacar. "Oi, malah bengong! Kesambet?" tanya Ilham yang hanya kubalas dengan memutar bola mataku malas. "Adow," pekiknya tiba-tiba. "Ada apa?" tanyaku heran. "Jangan-jangan kamu kelainan ya Ga? Kamu homo Ga?" pekik Ilham alay yang langsung aku balas dengan pura-pura ingin meninjunya. "Sembarangan! Normal, kok," bantahku tegas. "Emang tipe idealmu kayak apa, Ga?" tanya Ilham. "Yang sehat," jawabku. "Sehat? Maksudmu wanita yang hanya makan makanan sehat dan memblaklist junk food dari daftar makanan yang harus dia konsumsi selama hidupnya?" tanya Ilham. Aku hanya nyengir. "Cari aja sana di rawa-rawa," sahut Ilham kesal. Aku hanya melebarkan senyumanku. "Ada?" tanyaku dengan senyum jenaka. Ilham cuma memandangku dengan wajah datar. "Kali aja mbak Kunti mau," jawab Ilham yang langsung membuatku mendesis pelan. "Ish, bahas gituan. Emang pernah ketemu?" tanyaku. "Pernah," jawab Ilham. "Serius?" tanyaku tidak percaya. Ilham mengangguk. "Iya, serius!" "Kapan? Di mana?" "Di mananya lupa tapi yang jelas itu saat perjalanan pulang dari shift malam," jawab Ilham. "Trus?" "Ada cewek berambut panjang hingga menutupi wajahnya mencegatku dengan isyarat tangan seolah dia mau nebeng. Karena aku baik hati dan nggak sombong, aku iyain pas dia bilang mau nebeng sampe depan!" kata Ilham mulai cerita. "Trus?" "Dia naik, nggak pegangan. Aku sih nggak ngarep ya, cuma pas noleh spion dia kok kayak aneh ya. Ringan gitu. Jadi aku noleh dikit ke bawah dan kamu tahu nggak Ga?" "Nggak." "Aih, mau dilanjut nggak nih?" tanya Ilham kesal. "Iya, iya, trus gimana? Aku nggak tahu," kataku meminta Ilham meneruskan cerita seramnya. "Kakinya nggak ada," jawab Ilham dengan bergidik ngeri seolah dia lagi membayangkan peristiwa yang sudah lama dia alami itu. "Nah, kamu kan udah tahu tuh! Trus gimana?" "Ya, aku diam aja Ga. Terus ya diam bilang stop, pas aku berhenti ternyata dia berhenti di pohon asam yang ada di pinggir jalan raya. Dan yang bikin merinding, di balik pohon asam itu ada kuburannya Ga!" cerita Ilham dengan bibir gemetar, dia takut. "Jadi habis itu kamu lari?" tanyaku. Ilham mengangguk. "Iya, lari sampai nyaris nabrak tahu nggak? Merinding banget dah," jawab Ilham. "Baru tahu aku," kataku. "Apaan?" tanya Ilham. "Kamu penakut, Ham," jawabku yang langsung dibalas cibiran Ilham. "Asem bener kamu Ga. Ketemu sendiri kapok kamu," kata Ilham setengah menyumpahiku. "Jangan gitu. Aku shift malam hari ini," kataku. "Pas banget tuh!" kata Ilham lalu ngakak. "Puas?" "Banget," kata Ilham lalu mulai membuka bungkus roti yang aku bawa. "Laper, Ga. Aku makan dulu," katanya lalu memasukkan roti itu ke mulutnya tanpa menunggu jawaban dariku. Aku hanya mengangguk mempersilahkan. Setelah cukup lama mengobrol kesana-kemari dan tertawa, aku pamit untuk pulang pada Ilham. Ilham yang memang sudah mengantuk selepas meminum obat demamnya pun melepaskan kepergianku dengan sukarela. Cerita Ilham tadi sempat membuat bulu kudukku meremang saat dalam perjalanan dari kosan Ilham ke rumah sakit. Akan tetapi sejauh ini, untungnya aku belum pernah diganggu oleh makhluk halus seperti kuntilanak, genderowo, pocong atau lainnya. Zombie dan Vampire juga belum pernah. Tiba di rumah sakit aku segera memarkirkan sepeda motorku lalu berjalan santai menyusuri lorong. Selesai mengenakan pakaian dinasku, aku masuk ruangan. Di sana sudah ada Febri yang menungguku. Saat aku datang, dia baru saja selesai melakukan rontgen pada seorang remaja. Sepertinya remaja itu baru kecelakaan dan dicurigai adanya dislokasi dan fraktur pada tubuh bagian bawahnya. “Cuyy," sapaku pada Febri. Febri tersenyum menanggapi sapaanku. "Nih," kata Febri sambil memberikan aku sebuah blanko. "Apa, nih?" tanyaku. "Kerjaanlah. Urgent, jadi harus dikerjain cepet. Barusan aku lagi nugas jadi nggak bisa langsung rontgen pas suster Mirna datang bawa blanko ini," jelas Febri yang langsung memberikan operan tugas padaku.               "Oke," kataku. Febri pun melakukan operan padaku, menjelaskan keadaan alat dan lainnya. Setelah itu Febri pun pergi, shiftnya sudah selesai. Tak lama setelah Febri pergi, suster mirna datang dengan membawa seorang pasien laki-laki. Aku mengecek blanko yang baru saja diberikan oleh Febri padaku. Nama pasiennya Jailani, 56 tahun. Diagnosa awal, diduga terkena ileus Obtruktif. Ileus obstruktif atau penyumbatan pada usus adalah suatu penyumbatan mekanis pada usus dimana merupakan penyumbatan yang sama sekali menutup atau menganggu jalannya isi usus (Sabara, 2007). Karena sudah ada dugaan awal bahwa pasien ini adalah ilues obstruktif, maka aku melakukan pemeriksaan abdomen 3 posisi yaitu tiduran terlentang ( supine ), duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan dan tiduran miring ke kiri ( left lateral decubitus ( LLD ) ). Pada saat sekarang ini diagnosis radiologi akan sangat menentukan apakah dugaan dokter ini benar atau tidak. Karena itu, radiografer harus menjalankan tugasnya dengan baik, teliti dan disiplin. Aku pun mulai menjalankan tugasku. Usus, mungkin sesuatu yang dianggap enteng karena tidak menonjol fungsinya seperti jantung atau paru-paru. Namun, jika usus terluka, dampaknya besar bahkan bisa menyebabkan kematian. Karenanya, usus harus dijaga dengan baik. Makanya, cintai ususmu, minum.. Oke, tidak usah iklan. Selesai melakukan pemeriksaan abdomen tiga posisi, aku segera menyerahkan hasilnya pada suster Mirna. "Thanks, Ga," kata suster Mirna. Aku mengangguk mengiyakan. "Sama-sama.” Setelah itu suster Mirna dan pasien yang tampak kesakitan itu keluar dari ruangan. Setelah ini, hasil rontgen dari pasien itu akan dikonsulkan ke dokter bedah untuk memutuskan langkah apa yang akan diambil. Jika benar pasien barusan dinyatakan menderita penyakit ileus obstruktif maka tahap selanjutnya adalah pemberian kontras untuk menunjukkan adanya obstruksi mekanis dan menentukan letaknya. Setelah menemukan letaknya, biasanya akan dilakukan penatalaksanaan. Apapun nanti yang terjadi padanya, sedikit-banyak seperti yang baru saja aku pikirkan. Selesai bertugas aku pun keluar untuk mencari udara segar. Tidak ada blanko, itu artinya belum ada pekerjaan untukku. Tak lama kemudian aku memutuskan kembali ke ruangan, stand by. Beberpa saat kemudian, suster Rani membawa blanko baru untukku. Aku pun mulai fokus untuk menjalankan tugasku lagi. Sekitar jam tujuh kurang sepuluh, Vety dan Dila selaku Karu ( kepala ruangan ) datang. "Ga," sapa Vety. "Oi," sahutku. "Ada kerjaan?" tanya Vety. "Nggak ada," jawabku. "Senggang, dong?" tanya Vety. Aku hanya senyum. "Kerjaanku beneran tuntas di jam enam barusan," kataku. "Haha, asyik. Senggang dong aku?" kata Vety girang. "Jangan senang dulu. Si Ima kan belum datang, belum juga dia ngecek blanko baru lagi dari dokter! Jangan senang dulu!" kataku mengingatkan. "Iya, iya, bawel," kata Vety lalu duduk di kursi yang ada di sebelahku. "Habis ini kamu libur dua hari kan?" tanya Vety mengajukan pertanyaan yang sama dengan Febri. "Iya, aku mau ke Yogyakarta, bukan Thailand!" kataku. "Dih, nggak nanya aku," cetus Vety yang membuatku hanya menghembuskan napas ringan. "Sekilas info," kataku yang langsung disambut gelak Vety. "Sok penting," desisnya. "Biarin." Setelah mengobrol sebentar, aku mulai melakukan operan. Walau tidak ada agenda yang tengah aku lakukan sekarang, aku beritahukan Vety letak dan kapan terakhir alat-alat rontgen aku gunakan. Setelah itu, tepat jam tujuh aku keluar ruangan, bersiap untuk pulang. Sampai di kosan aku segera masuk kamar, tentu saja setelah menyapa ibu kos yang tidak pernah absen menyiram bunga tiap pagi. Setelah itu, aku memutuskan untuk mengemil satu buah apel. Kemudian mandi dan menelpon Mama. "Ma," kataku begitu telpon terhubung. "Ya, Ga?" sahut Mama dari seberang sana. "Rangga nanti pulang ke Yogyakarta," kataku. "Beneran?" tanya mama lalu bersorak girang. "Ya, Ma. Rangga dapat libur dua hari," kataku membenarkan. "Oke, oke, Mama akan bersihkan kamar Rangga nanti," kata Mama dengan antusias. "Mau dijemput?" tanya mama menawarkan. "Nggak usah, Ma. Rangga juga nggak tahu sampai di sana jam berapa," tolakku sopan. "Jangan bawa banyak barang, uang secukupnya saja, hati-hati sama dompetnya," pesan Mama. "Iya, Ma," jawabku mengiyakan. Setelah mengobrol cukup lama, telpon pun berakhir. Aku menghela napas lega. Akhirnya setelah hampir dua tahun, aku memutuskan untuk pulang. Dulu memang sempat pulang karena Mama sakit. Namun ini adalah pertama kalinya aku pulang setelah bertengkar dengan Papa. Ternyata benar, sejauh apapun seorang anak pergi dari orang tuanya, rindu akan selalu menjadi alasan untuk bertemu. Demikian pula sebaliknya.             Ma, Pa, Rangga kangen.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD