DAILY LIFE

2010 Words
Aku baru selesai mandi ketika perutku mulai berbunyi, menagih untuk segera diisi. Sudah sejak tadi berbunyi tetapi aku abaikan. Tadi pagi sebenarnya sudah berniat membeli makanan untuk sarapan tetapi batal karena malas. Sekarang, aku terus saja menguap dan kelaparan. Aku lapar tetapi ngantuk. Sepertinya hormon Serotonin* di dalam tubuhku menjalankan fungsinya dengan baik sebagai efek dari Rangga yang belum ketemu Cinta. Begitu teman-temanku mengejekku jika menangkapku menguap atau terkantuk-kantuk. Selesai bersiap, aku keluar dari kamar kos, ingin membeli makanan sebagai sarapan. Sudah jam delapan lewat, jika ditunda maka sarapan bisa berubah menjadi makan siang. "Mau kemana, Rangga?" Teguran itu membuatku menoleh pada seorang gadis berusia belasan dengan rambut panjang sepinggang. "Cari makan, Ra," jawabku sambil menundukkan kepala. Gadis itu bernama Rara Dwi Ratna Diningrat, anak tertua dan satu-satunya dari ibu kos. Usianya kira-kira 18 tahun. Sudah kuliah semester tiga. Wajahnya cukup cantik, menarik dan seksi, itu penilaian dari teman kosku yang lain. Bagiku, Rara tidak lebih dari gadis muda yang kurang sopan karena memanggilku dengan nama saja. Padahal aku ini jelas lebih tua darinya. Aku tidak suka wanita yang tidak tahu sopan santun. Kalau sekadar tidak tahu Sopan Sofian sih tidak masalah. "Mau beli lontong sayur ya? Ikut, dong," pintanya dengan girang. "Dengan pakaian kayak gitu?" tanyaku sambil menaikkan satu alisku. Rara terdiam lalu mengamati dirinya yang saat ini memakai celana jeans pendek ketat dengan kaos tanpa lengan hingga mengekspos kulit tangan dan kakinya yang berwarna kuning langsat. "Bentar ya. Aku ambil cardigan dulu," katanya lalu berlari masuk ke dalam rumah. Aku yang melihat Rara masuk ke dalam rumah segera berjalan pergi. Malas jika harus pergi berdua dengan seorang perempuan terlebih masih belia, kurang sopan dan anak ibu kos pula. Aku khawatir akan muncul gosip aneh. Jujur saja digosipkan itu membuatku gatal untuk menonjok mulut orang yang ngegosip. Daripada melakukan itu, lebih baik aku hindari saja gosip. Disebut banci karena hal ini pun tidak masalah selama nanti aku ke menikahnya dengan wanita bukan waria. "Len, lontong sayur satu,” pesanku begitu tiba di warung dan sudah duduk nyaman di bangku panjang. "Pakai kuah gulai apa kacang, Ga?" tanya Leni, penjual lontong sayur. "Dua-duanya," jawabku. "Oke," kata Leni lalu mulai menyiapkan lontong sayur. "Ini," kata Leni tak lama kemudian. Aku menerima lontong sayur dari Leni, tak lupa mengucapkan terima kasih. Ditambah dengan dua bakwan dan teh tawar sebagai minuman, aku makan. "Ih Rangga, jahara sama aku," gerutu Rara begitu masuk dan melihatku sudah duduk nyaman. Rupanya gadis belia itu menyusulku ke warung. Rara pun segera duduk di sebelahku sehingga aku terpaksa bergeser agar jarak duduk kami tidak berdempetan. Karena menjauh, Rara hendak beringsut mendekat tetapi segera aku mencegahnya. "Jarak aman 1 meter, kalau lebih dari itu Rangga pulang," ancamku. Rara duduk kembali, batal menggeser tubuhnya. Gadis belia itu mengerucutkan bibir sebagai tanda protes. "Rangga es batu! Dingin amat sama Rara," gerutu Rara kesal. Aku tidak peduli, kembali memasukkan potongan lontong ke mulutku. Leni yang melihat kelakuanku dan Rara hanya tersenyum geli. "Ih, Kak Leni. Rara kok diketawain sih?" protes Rara, tahu kalau sedang ditertawakan. "Nggak, kok. Siapa yang ngetawain Rara?" sangkal Leni. "Ya Kak Leni lah! Udah ah, daripada ketawa, Rara pesen lontong sayur juga ya," kata Rara kemudian. "Pakai kuah gulai atau kacang?" tanya Leni. "Gulai aja, kalau makan kacang nanti Rara jerawatan,” jawab Rara. "Oh, kalau makan jerawat tumbuh kacang, Ra?" celetukku yang membuat Leni langsung tergelak. "Ih, Rangga ngelawak," desis Rara kesal. "Lho? Apa yang salah? Kan kamu yang bilang gitu," kataku heran. "Ih, tauk ah! Rangga nyebelin," kata Rara yang kemudian menerima lontong sayur yang Leni sodorkan. Rara mulai menyantap makanannya dengan lahap. Sepertinya dia marah dan aku hanya membiarkannya begitu. Lagipula lebih baik dia ngambek, diam. Kalau bicara, dia pasti berisik. Selesai makan dan menghabiskan teh tawarku, aku pun membayar. "Berapa, Len?" tanyaku. "Nambah apa?" tanya Leni balik. "Bakwan dua," jawabku. "Dua belas ribu, Ga," kata Leni. "Nih," kataku sembari memberikan selembar uang sepuluh ribu rupiah. "Sip, makasih," kata Leni seraya mengambil uangku dan memberikan uang kembalian dua ribuan sekaligus. "Oke," sahutku. "Rara belum, Rangga kok udah pulang?" tanya Rara gemas. "Udah, Rara makan aja," suruhku lalu keluar dari warung. Selesai makan, aku tidak segera kembali. Kalau aku kembali dalam keadaan kenyang, pasti langsung tidur. Jika itu terjadi, makanan yang baru saja dimakan akan menumpuk di depan dan menjadikan perutku buncit. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk jalan-jalan dulu sebentar. Sekadar merenggangkan tubuh dan membakar cadangan kalori yang belum aku gunakan. Pekanbaru pagi ini mendung, awan hitam terlihat di beberapa celah langit. Akan tetapi bagian langit yang lain tampak cerah. Udaranya masih segar, belum ada banyak kendaraan yang berlalu lalang di jalanan sekitar kosku. Aku menghela napas pelan, mensyukuri nikmat Tuhan, masih bisa merasakan udara segar tanpa perlu membayar. Aku melangkahkan kakiku menyusuri jalan tanpa tujuan. Aku sudah hafal jalan-jalan kecil di sekitar kosku yang hanya muat untuk sepeda motor ini. Jadi, aku tidak akan tersesat. Lagipula, siapa yang akan tersesat di kota Pekanbaru yang bisa dibilang lebih kecil dibandingkan kota besar sekelas Surabaya dan Jakarta? Meski begitu, aku menyukai kota kecil ini. Ya, aku tinggal di sini walau menempuh pendidikan di Yogyakarta. Aku menghentikan langkahku ketika handphone milikku terasa bergetar. Aku menoleh kiri-kanan mencari tempat lalu duduk di sebuah tempat duduk beton yang terletak tidak terlalu jauh dari tempat aku berhenti. Mama is calling. Begitu yang tertera di layar handphoneku. Aku tekan tombol hijau lalu mendekatkan handphoneku ke telinga. "Halo, Ma?" "Papa bilang Rangga nelpon papa kemarin malam, beneran?" tanya Mama meluncurkan pertanyaan tanpa basa-basi lebih dulu. "Iya, benar. Kenapa, Ma?" "Syukurlah, akhirnya Rangga sama Papa baikan," kata Mama penuh kata syukur. Aku hanya tersenyum tipis dengan reaksi Mama itu. "Jadi, kapan pulang ke rumah?" tanya Mama kemudian. "Nanti, kalau Rangga dapat libur!" jawabku. "Kapan?" "Nanti." "Iya, kapan?" "Nanti kalau bisa libur, Rangga bilang Mama ya, oke?" "Oke," sahut Mama cepat. "Mama lagi apa?" tanyaku. "Habis masak," jawab Mama. "Rangga sudah makan?" "Sudah, Ma. Mama sudah makan belum?" tanyaku balik. "Bentar lagi makan, kok." "Ayo, Mama itu maag. Jangan mada ( ngeyel ), deh," kataku mengingatkan. "Iya, Rangga bawel," kata Mama. "Bukan bawel, tapi Rangga cuma nggak mau maag Mama kumat," jelasku. "Iya, iya," kata Mama. "Rangga dimana? Kok mama dengar kayak suara sepeda motor gitu?" tanya Mama penasaran. "Rangga lagi di luar, Ma. Habis makan, jalan-jalan bentar," jawabku. "Oh gitu, cepat pulang. Istirahat, semalaman nggak tidur kan?" nasehat Mama. "Iya, Ma." "Oh iya, Rangga gimana?" tanya Mama. "Apanya Ma? Kalau soal kesehatan, Rangga sehat kok," kataku. "Bukan," sanggah Mama. "Lantas?" "Udah ketemu Cinta belum?" tanya Mama lantas cekikikan. "Cintanya masih sibuk, Ma. Susah sinyal dan nggak ada paketan, makanya nggak ketemu," jawabku membalas gurauan Mama. Aku mendengar Mama tertawa keras di seberang sana. Hanya dengan mendengar tawanya saja, aku sudah merasa bahagia. Kebahagian itu memang sederhana. Walau banyak orang yang menilai kebahagian itu dengan uang. Aku tidak menyalahkan mereka. Pendapat itu tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Ada hal-hal kecil di dunia ini yang membuat bahagia tetapi tidak disadari. Contohnya, saat membuka mata setelah bangun dari tidur. Beberapa orang tidak bisa membuka matanya lagi setelah tertidur. Di samping itu, pendidikan. Ada banyak yang mengeluhkan tugas atau susahnya pendidikan saat ini. Padahal, beberapa orang hanya mampu bermimpi untuk mengenyam pendidikan. Keadaan membuat mereka terpaksa mengubur keinginan itu, semisal karena alasan kemiskinan, sakit atau lainnya. "Rangga!" panggilan dari Mama yang cukup keras itu membuatku tersadar dari lamunanku. "Ah, iya Ma?" sahutku, baru sadar kalau telpon belum diputus. "Ngelamunin apa sih?" tanya Mama. "Ada cewek cantik lewat?" "Nggak ada, Ma." "Mau Mama jodohin?" tanya Mama menawarkan. "Lagi?" "Iya, dong! Sampai Rangga ketemu cinta yang asli," kata Mama tegas. "Rangga belum mau menikah, Ma," kataku. "Yang nyuruh Rangga nikah siapa? Mama cuma pengen Rangga menjalin hubungan," elak Mama. "Sama aja, ujung-ujungnya pasti minta Rangga nikah buru-buru." "Hehe, tahu aja." "Nggak usah, Ma. Rangga nggak usah dijodohin ya," pintaku. "Sudah ada calon, Ga?" "Belum ada sih Ma." "Yaudah kalau gitu mama aja yang nyari!" "Aih, Mama." "Nggak mau tahu, pokoknya mama cariin! Rangga tinggal terima beres. Oke? Dah." Setelah itu telpon dimatikan secara sepihak oleh mama. Dasar mama. Sudah lima puluh kali kencan buta dan gagal, apa masih kurang? Lama-lama aku jadi presiden kencan buta. Huft. Tak ingin stress memikirkan mama dan segudang keegoisannya, aku pun mulai berjalan lagi. Kali ini, menikmati sinar matahari yang mulai menyapu bersih mendung yang sempat singgah. Sepertinya batal hujan. Syukurlah. Setelah cukup lama berjalan, aku memutuskan untuk kembali ke kosan. Perut sudah terisi, juga sudah olahraga sedikit dan tubuhku sudah merasa lelah. Kini saatnya aku untuk istirahat. Aku ingin tidur, nanti aku shift malam lagi. Harus tidur agar nanti segar kembali saat bertugas. Bisa gawat kalau aku tidak fokus. Aku melangkah masuk ke kosan dan melihat Rara yang sedang asyik mengobrol dengan beberapa temannya. Aku masuk begitu saja, mengabaikan dirinya yang terlalu asyik dengan kegiatannya. Basa-basi memang perlu tetapi harus tahu waktu. "Ga." Sapaan itu membuatku menoleh, batal memasuki kamar yang hanya perlu memutar knop pintunya agar aku bisa segera istirahat. "Ya?" sahutku lalu menatap Reno, tetanggaku. Kamarnya hanya berjarak dua kamar dari kamar kosku. "Nggak kerja?" tanyanya. "Shift malam," jawabku sekenanya. "Nanti sore ada acara?" tanyanya saat sudah berada di depanku. "Kenapa, Ren?" tanyaku. "Mau ikut karaokean nggak? Ada ceweknya juga lho!" katanya menawarkan. "Nggak, deh. Makasih." "Sudah kuduga." "Soal apa?" tanyaku. "Kamu selalu nolak kalau aku ajakin ketemu cewek-cewek, kamu normal kan?" tanya Reno yang menatapku penuh selidik. "Ba ( Gila)," umpatku tanpa sadar. "Aku normal, kok!" "Ba? Bali? Batak? Balikpapan? Apa sih?" tanya Reno keheranan. "Ting tong ( bodoh )," ejekku, kesempatan selagi Reno tidak tahu dengan apa yang aku bicarakan. "Tadi Ba, sekarang ting tong, shift malam ngebuat kamu stress, Ga?" tanya Reno sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Aku hanya tersenyum tipis. "Kalau nggak mau ikut karaoke, setidaknya nyumbang dong Ga, uangku mepet," bujuk Reno yang memang suka sekali majak sumbangan padahal aku tidak pernah ikut kegiatannya yang kebanyakan dihabiskan untuk pergi dengan wanita. Bisa dibilang, Reno itu tipe cowok playboy tanpa modal alias kere. Menurutku begitu, entah kata orang lain. "Mai mee dtung ( aku lagi bokek )," kataku beralasan. "Hah?" "Lagi bokek," kataku menterjemahkan. "Tumben amat bokek," kata Reno tidak percaya. "Aku juga manusia, bisa bokek. Ada banyak kebutuhan," jelasku. "Kebutuhan seperti apa yang membuat seorang Rangga bokek?" tanya Reno penasaran. "Hidup," jawabku yang membuat Reno memasang wajah datar. "Udah, ah! Aku masuk dulu. Mau tidur. La Gon ( Dah )," kataku lalu masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. Aku mengabaikan suara Reno yang masih berusaha meminta uang pajak padaku. Meski dia mengetuk pintu kamarku, aku biarkan saja. Mataku sudah sangat mengantuk. Aku merogoh kantong celanaku, mengambil handphone milikku dan melihat satu pesan dari Arif. Khun Arif Ga, lusa anak-anak ngajak makan bareng. Kamu ikut nggak? Dengan mata lima watt, aku ketikkan balasan untuk Arif. Rangga Aditya George Absen. Bokek. 555* Khun Arif Yah, ikut, dong! Ada ceweknya juga lho. Bantulah temanmu yang jomblo ini. Rangga Aditya George Sorry. Mai ( nggak ) Su su ( semangat ) :) Setelah itu aku mengubah handphoneku ke mode silent, sedang tidak ingin diganggu. Sengaja pula, aku meletakkan handphoneku agak jauh dari tempat tidur, susah tidur jika handphone milikku masih berada di dalam jangkauan tanganku. Pasti akan tergoda untuk browsing atau sekadar membuka galery atau geser menu. Sebelum melanjutkan niat untuk tidur, aku ke kamar mandi dulu. Mencuci muka, tangan dan kaki. Tidak lupa juga menggosok gigi. Kebersihan itu perlu. Kalau sudah terbiasa, bisa hidup dengan bersih dan sehat. Kata Mama begitu. Sudah dididik begitu dari lahir sehingga menjadi kebiasaan. Setelah itu merebahkan tubuhku di kasur dengan posisi paling nyaman : Miring ke kanan. Posisi jantung manusia di sebelah kiri jadi tidur yang baik jika posisinya miring ke kanan agar jantung tidak terbebani. Tak butuh lama bagi rasa kantuk untuk datang dan menggodaku. Aku pun segera dibawa ke kerajaan kapuk tanpa perlawanan. Arun sawad. Khụ̄n thī̀ dī.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD