Bab 4. Nona Lyra

1982 Words
"Kau tahu sendiri, kan? Aku dan anakmu tidak cocok, sepertinya kau harus mengirimnya kuliah ke luar negri agar kami tidak bertemu," ucap seorang bernama Sania. Sania mengelus wajah pria di sampingnya, elusannya turun ke rahang tegas, bulu-bulu kasar menyapa tangan wanita itu sampai elusannya berhenti, kemudian Sania menatap lekat mata Daniel. "Kenapa aku harus mengirimnya ke sana? Aku tidak ingin jauh dari anakku satu-satunya, tolong mengertilah. Lagi juga dia akan segera menikah, kenapa kau memusingkan perihal Lyra?" Daniel tampak keberatan mendengar ocehan kekasihnya mengenai putrinya. "Kau tahu sendiri kalau Lyra adalah gadis yang punya kepribadian kasar dan keras kepala, aku sama sekali tidak cocok dengannya, kau mengerti maksudku, kan? Kau tahu selama ini aku sudah berusaha keras mendekatinya, tapi dia sendiri yang mendorong diriku menjauh, anak itu juga sangat kasar padaku dan bicaranya tidak sopan," jelas Sania. "Dia bukan tidak sopan, dia hanya tidak dekat denganmu, berhenti berbicara buruk tentang putriku, aku lebih mengenal putriku dibanding dirimu!" tampik Daniel. Sania merengut tidak suka dengan pembelaan Daniel terhadap Lyra yang dia anggap terlalu berlebihan, padahal Sania pikir dia sudah mengadu apa adanya dan tidak ada yang dilebihkan, hanya bagian menghasut agar Lyra ditendang jauh dari rumah ini. "Tapi itu benar adanya, dia tidak cocok denganku dan tidak menyukaiku, Daniel." Sekali lagi Sania meyakinkan Daniel. Daniel menghela napas berat. "Sania ... sepertinya kau harus mengingat kalau bukan dirimu satu-satunya yang menjadi kekasihku, aku menjadikanmu yang paling prioritas di antara yang lain karena aku pikir kau bisa mengerti kondisiku dan putriku, bahkan aku mempertimbangkan untuk menikahimu dibanding kekasihku yang lain, jika kau terus seperti ini jangan salahkan aku kalau suatu saat berubah pikiran," ucap Daniel. Sania menganggap ucapan Daniel sebagai ancaman untuknya, tidak ada celah untuk memisahkan Daniel dengan putrinya, walaupun Sania tahu Daniel adalah pria b******k yang suka bermain wanita, tapi dia begitu menyayangi putrinya. "Baiklah, aku tidak akan membahas itu lagi, maafkan aku." Terpaksa Sania yang mengalah dan menurunkan harga dirinya untuk minta maaf daripada kehilangan Daniel. "Sejak kapan wanita itu di sini?" Suara familiar di telinga mereka menyapa suasana ketegangan yang masih terasa, mereka langsung berdiri dari duduknya dan menoleh ke arah belakang. Sudah ada Lyra di sana dengan wajah masamnya. "Kau sudah pulang, Sayang?" sapa Daniel pada putri tercintanya. Daniel melangkah maju dengan senyuman merekah dan rentangan tangan yang sudah siap menyambut Lyra dengan pelukan hangat, sedangkan Sania hanya bisa menatap Daniel dari belakang. "Sudah, Pa." Lyra membalas pelukan Daniel. Kemudian tatapan Lyra beralih lagi pada Sania yang berdiri kikuk di sana, tatapan remeh yang mencemoohnya karena sudah berani menjalin hubungan dengan ayahnya. "Apa kau menginap di sini tadi malam? Kenapa pagi-pagi buta sudah berada di rumah orang?" tanya Lyra langsung ke inti tanpa peduli bagaimana perasaan Sania. "Tidak, aku baru saja datang," jawab Sania dengan suara terlampau pelan. Daniel tidak mau membela Sania sama sekali karena takut menyakiti perasaan putrinya, bukan berarti dia tidak peduli dengan perasaan Sania, tapi perasaan Lyra jauh lebih penting dibanding kekasihnya maka dari itu Daniel membiarkan apa pun yang Lyra lakukan. Kini Lyra beralih ke ayahnya yang masih memeluknya dari samping. "Pa, ada yang ingin aku bicarakan dengan Papa, tapi aku hanya ingin bicara berdua saja dan tidak ingin ada orang lain yang ikut mendengar atau melihat, apalagi wanita itu," ujar Lyra mencebik bibirnya menatap remeh ke Sania. Sania hanya bisa diam ketika Lyra menganggapnya remeh, dia tidak berani dengan ayahnya yang sekarang berstatus sebagai kekasihnya. "Aku akan menunggu di halaman belakang," timpal Lyra seraya pergi. Begitu Sania memastikan Lyra sudah benar-benar pergi, dia menatap Daniel tidak percaya kalau pria itu diam saja dan tidak membelanya. "Kau lihat sendiri, kan? Putrimu itu yang—" "Aku tahu, sepertinya dia sedang banyak masalah. Sebaiknya kau pulang karena sekarang Lyra membutuhkanku," potong Daniel dengan santainya. "Apa ...?!" *** "Semua orang mendapatkan cintanya, kecuali aku yang tidak sama sekali diperbolehkan mendapat cinta, apa hidup ini adil? Ya ... sangat adil! Banyak orang yang mendapatkan cobaan lain, sedangkan aku terlahir dari keluarga kaya yang semua orang pasti berpikir hidup terlalu mudah, bukannya aku mengeluh, hanya saja cobaan hidupku di hubungan percintaan yang selalu berjalan tidak mulus," batin Lyra. Lyra memandangi mentari pagi yang mulai beranjak naik dari ufuk timur, cahayanya mulai menghangat menerpa kulit putih Lyra. Lyra memejamkan matanya merasakan kekosongan hatinya yang baru saja mengkandaskan hubungan dengan sahabat dan kekasihnya. Tiba-tiba wajah Damian datang menyapa ingatan Lyra, di memorinya Damian tersenyum manis dengan rayuan yang sama manisnya serta suara lembut membuat kekosongan Lyra terisi detakan yang kian memburu, buru-buru Lyra membuka matanya dan mengusir Damian dari kepalanya. "Sayang ...." Lyra menoleh ke belakang, sudah ada pria dengan senyum merekah padanya, siapa lagi kalau bukan ayahnya. Lyra menyambut dengan senyuman juga, tapi ada rasa sedih terbesit di hatinya setelah melihat sang ayah. "Apa yang ingin kau bicarakan?" tanya Daniel. "Pa, aku ingin Papa memecat Samuel," jawab Lyra tanpa basa-basi. Daniel mengernyitkan alisnya menatap putrinya heran, padahal dulu Lyra yang memohon agar mantan kekasihnya bekerja di perusahaannya, tapi tiba-tiba putrinya datang meminta hal ini. "Memangnya ada apa? Kau tidak ingin menceritakannya pada Papa? Apa yang terjadi sampai kau berubah pikiran?" tanya Daniel keheranan. Tiba-tiba rasa kesal menyentuh hati Lyra yang tadi malam sudah disembuhkan Damian. "Dia selingkuh." Satu kalimat dari Lyra langsung ke inti membuat Daniel agak sedikit kaget mendengar putrinya diselingkuhi. "Bagaimana bisa dia menyelingkuhimu? Apa kau melihatnya sendiri?" Daniel bukannya tidak percaya pada Lyra, tapi dia tidak percaya kalau putrinya yang di matanya sangat sempurna dari fisik, pendidikan dan latar belakang yang jelas disia-siakan. "Ya, aku melihatnya sendiri dengan mata kepalaku, aku melihatnya tidur dengan temanku di rumah pengantin kami kemarin waktu aku ingin mengambil beberapa barangku di sana," jelas Lyra. Daniel melirik ke jari manis putrinya dan benar saja, Lyra sudah tidak memakai cincin pertunangannya, pasti gadis itu sudah membuangnya cincin murah dari mantan kekasihnya pikir Daniel. "Dari awal Papa sudah tidak merestui kalian karena Papa melihat dia bukan pria yang baik untukmu, tapi kau yang selalu memaksa hubungan kalian sampai Papa terpaksa merestui pertunanganmu dengan Samuel." Daniel menghela napas lelahnya. "Ya, sekarang aku menyadari kalau dia pria yang tidak baik," balas Lyra. "Baiklah, Papa akan melakukannya seperti maumu, kau fokus saja pada pendidikanmu, teruskan pendidikanmu di Amerika, bagaimana?" tawar Daniel. Tapi Lyra mengartikan maksud ayahnya dengan tidak baik, dia tidak suka ditendang jauh begini, entah kenapa dia jadi tidak mau pergi seperti yang dia katakan sebelumnya kalau dia ingin ke Amerika pada ayahnya. Sekarang berbeda, Lyra ingin tetap di sini entah alasannya, dia sendiri tidak tahu. "Apa ini ide dari wanita itu? Papa ingin menendangku jauh dari sini karena tidak ingin aku mengganggu hubungan kalian? Aku tidak percaya Papa lebih memilih menendangku jauh begitu demi wanita itu," protes Lyra. Daniel yang menyadari perasaan putrinya sedang tidak baik berhenti sejenak, padahal tidak ada maksud untuk menuruti permintaan Sania, dia hanya ingin mengabulkan apa yang dulu pernah Lyra katakan padanya. "Bukan begitu, Sayang. Bukankah dulu kau sendiri pernah mengatakannya pada Papa kalau kau ingin ke sana? Papa hanya menawarkannya saja, tidak ada hubungannya dengan Sania. Kau tahu Papa lebih menyayangimu dari siapa pun, termasuk dia," bujuk Daniel. "Ya, akan aku pikirkan nanti, sekarang aku perlu memperbaiki perasaanku dan menata hatiku dulu." Lyra langsung membuang pandangan ke arah lain malas menatap ayahnya. "Astaga, anak Papa kalau marah menyeramkan, ya? Bagaimana kalau besok kita pergi ke suatu tempat agar perasaanmu jauh lebih baik?" Daniel mencoba membujuk putrinya yang seperti jadi kesal karena tawarannya barusan, seperti yang dia katakan kalau Lyra lebih penting dari segalanya, bahkan perasaannya sangat penting bagi Daniel, dia tidak ingin putrinya menjauh dan pergi seperti ibunya. "Ke mana?" tanya Lyra sedikit melirik Daniel. "Rahasia. Tunggu saja kejutan dari Papa," sahut Daniel. "Apalah orang tua ini, sedikit-sedikit kejutan, sedikit-sedikit rahasia," omel Lyra mencebik bibirnya. *** "Aku pergi dulu, kau jangan berjalan-jalan, diam saja di ranjang," ujar Damian. Damian keluar dari rumah seperti keseharian biasa, membeli keperluan rumah yang akan dia habiskan seminggu ke depannya, perasaannya hari ini berbeda dari yang sebelumnya, rasanya lebih bersemangat dan ceria. Sampai minimarket Damian menjadi terlalu fokus pada barang di depannya sampai dia tidak sadar menabrak orang di sampingnya. Damian merasa bersalah dan langsung berniat membantu orang yang barusan dia tabrak bangun. "Kau ...?" "Nona ...?" Yang dia tabrak barusan Lyra, takdir mempertemukan mereka kembali setelah malam panas yang mereka habiskan. Seakan memberi mereka pilihan untuk mengenal lebih jauh dari yang hanya sekedar urusan ranjang. "Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja tadi," ujar Damian membuka pembicaraan. "Kau tinggal di sekitar sini?" tanya Lyra tanpa basa-basi. Damian mengangguk memvalidasi pertanyaan Lyra. Secara tidak langsung Damian memperhatikan Lyra dengan perasaan lain, entah suasananya jadi menghangat setelah tadi. "Kau tinggal di mana?" tanya Lyra lagi. Damian tersenyum manis menanggapi pertanyaan Lyra. "Kalau aku tidak bisa memberitahu namaku, kau harus berpikir aku juga tidak bisa memberitahu di mana aku tinggal," jawab Damian. Terdengar helaan dengus kesal dari Lyra yang membuat Damian merasa lucu pada wanita di hadapannya. "Kalau tidak bisa memberitahu itu, setidaknya beritahu namamu, aku tidak tahu cara memanggilmu ketika kita bertemu lagi nanti," gerutu Lyra. "Gampang saja, kita tinggal tidak perlu bertemu jadi kau tidak perlu pusing memikirkan bagaimana cara memanggilku," ujar Damian. Kekecewaan tidak kentara terbesit di wajah cantik Lyra, sedangkan Damian tidak merasa bersalah dengan perkataannya barusan atau memang tidak peka karena tidak melihat wajah kecewa Lyra. "Aku permisi dulu." Damian beranjak pergi menjauhi Lyra. Lyra tidak tahu kenapa dia sangat penasaran dengan Damian, tentu saja dia berniat mencegah Damian untuk pergi sebelum menjawab salah satu pertanyaannya. "Tunggu, setidaknya jawab salah satu dari pertanyaanku," cegah Lyra. "Maaf, Nona. Kau tidak bisa memberiku pilihan seperti itu karena aku tidak akan menjawab salah satunya dan sepertinya kau menerima telepon, angkatlah sepertinya itu penting jangan mengabaikannya karena aku," ujar Damian melirik ke arah ponsel Lyra yang berbunyi. Lyra mendengus kesal lagi karena ada seseorang dengan nomor tidak dikenal sekarang menghubunginya di waktu yang tidak tepat. Baru saja Lyra mengangkat teleponnya satu detik kemudian sudah dimatikan dan berganti dengan kiriman pesan dari nomor itu. "Ayahmu menyuruhmu ke sini." Begitu isi pesan yang dia dapat beserta titik lokasi yang dia terima. Lyra langsung memandangi Damian yang masih tersenyum dengan perasaan kesal. Terpaksa Lyra memilih pergi meninggalkan Damian yang hanya tersenyum memandangi punggungnya menjauh. "Dasar! Sok jual mahal sekali dia!" gerutu Lyra selama perjalanan menjauh dari Damian. Lyra juga kesal kenapa ayahnya selalu saja menyuruh orang yang tidak dia kenali untuk menghubunginya, terlalu banyak bawahan ayahnya sampai Lyra tidak mengenalnya semua. Jika bukan karena kejutan ayahnya yang tempo hari dikatakan beliau, mungkin saja Lyra sudah menahan Damian lebih lama lagi dan mungkin bisa mendesak Damian menjawab salah satu pertanyaannya. "Kenapa Papa menyuruhku ke gedung terbengkalai begini, ide gila apa lagi yang dia lakukan?" Lyra bertanya-tanya sendiri heran dengan ayahnya. Lyra sudah dihadapkan dengan gedung tua setelah dia mengikuti titik lokasi yang dikirim. Agak ragu, tapi dia tetap memasuki gedung tua itu. Gelap, lembab dan berdebu, itulah penilaian Lyra begitu dia memasuki gedung tua itu, tapi Lyra terus melangkahkan kakinya memasuki lebih dalam lagi, sinar matahari di sore hari tidak dapat menembus masuk ke dalam, hingga terpaksa Lyra menyalahkan senter dari ponselnya. "Duh ... Papa apa-apaan membawaku ke tempat kotor begini, aku sangat benci sesuatu yang kotor masa dia tidak tahu, sih?" Lyra terus menggerutu sepanjang jalan sambil mencari tangga untuk naik ke lantai atas. Satu jambakan dari belakang sukses membuat Lyra terpental jauh dan ponselnya terbanting ke sembarang arah. Lyra meringis kesakitan, mencoba bangun untuk melihat siapa yang berani melakukan ini padanya. Cahaya remang dari ponselnya masih menyala menggapai wajah orang yang berjalan ke arahnya hingga Lyra bisa melihat siapa wajah orang yang menjambaknya. Pria tinggi, berbadan besar yang dia kenali menyeringai menatapnya. "Kau ...?" Pria itu sama sekali tidak menampilkan raut wajah biasanya, tatapannya kali ini kejam membunuh nyali Lyra hingga tangan wanita itu gemetar. Lyra beringsut menjauh perlahan, dia tidak sanggup bangun karena kakinya sangat sakit, dia hanya bisa menyeret tubuhnya ke belakang. "Aku senang kita bisa bertemu lagi, Nona." Seringai licik terukir di wajah pria itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD