Bab 3. Kelulusan

1600 Words
Lyra mengedipkan matanya berkali-kali mencoba fokus pada ruangan tempat di mana dia bangun, ini bukan kamarnya sampai Lyra bingung dan tidak terbiasa dengan pemandangan yang disuguhkan setelah bangun tidur. "Selamat pagi, Nona." Satu sapaan suara pria dari samping mengetuk halus gendang telinga Lyra. Wanita itu melirik ke samping tempat suara itu muncul dan dia baru menyadari ternyata dari tadi dia dipeluk seorang pria, pantas saja dia merasa hangat dan nyaman sampai-sampai masih belum sadar kalau dia tidak memakai pakaian sama sekali. Lyra beringsut menjauh sedikit dari Damian yang memeluknya. Dia menatap Damian sesaat setelah itu memejamkan matanya kembali mengingat kejadian tadi malam, Lyra memang mabuk, tapi dia ingat semuanya. "Selamat atas kelulusanmu," bisik Damian. Pipi Lyra memerah, dia paham betul apa maksud Damian ditambah kekehan geli seperti mengejeknya yang belum pernah melakukan hal itu. Lyra melupakan pertengkarannya dengan mantan sahabat dan mantan tunangannya kemarin, rasa sakit itu langsung terobati dengan kehadiran Damian, tapi Lyra tidak sadar akan hal itu. "Apa itu air yang disediakan untukku?" tanya Lyra, matanya menangkap segelas air putus di meja samping Damian. "Iya ...," jawab Damian agak merasa aneh. "Bisa tolong kau ambilkan?" mohon Lyra. Damian tidak mengatakan apa pun dan langsung melakukan perintah Lyra, walaupun dalam hatinya bertanya-tanya seperti apa kepribadian wanita yang memesannya, dia terus membandingkan Lyra dengan wanita lain yang pernah memesannya. "Kau terlalu sopan untukku," batin Damian. Dengan hati-hati Damian membantu Lyra duduk dan membiarkannya minum perlahan. Damian bisa melihat dari samping detail ukiran wajah Mira, sangat cantik dan masih sangat muda, itulah penilaian Damian. "Terima Kasih." Tangan Damian agak gemetar menaruh gelasnya kembali setelah mendengar itu, dia merasa aneh sekali dengan ucapan Lyra barusan, di hatinya langsung tertanam sesuatu yang mengganjal, bahkan Damian juga tidak bisa mengartikannya. "Apa selama ini aku tidak pernah mendapatkan kata terima kasih ...? Ya, tidak pernah! Hanya wanita ini yang mengatakan hal itu," ucap Damian dari dalam hatinya. "Kau belum pergi?" tanya Lyra. Damian menggeleng, mengulas senyumnya yang manis di hadapan Mira. "Waktuku belum habis, aku akan pergi nanti ketika waktuku sudah habis, masih ada 2 jam lagi," jawab Damian. Lyra kembali menidurkan dirinya yang begitu lelah, matanya mulai memejam kembali. "Nona, waktuku masih banyak, jika kau menginginkannya lagi katakan saja," ucap Damian. Lyra menggeleng pelan dengan mata yang masih terpejam. "Tidak, aku kelelahan, kau benar-benar monster," balas Lyra. Damian terkekeh melihat balasan wanita muda yang tengah tiduran di sampingnya, baru kali ini ada wanita yang bicara dengannya seperti teman. Lyra baru menyadari kalau hanya dia yang telanjang sedangkan Damian sudah memakai celananya, Lyra menghela napas lelah takut untuk keluar dari ranjang. "Nona ...." Damian mencoba memeluk Lyra dengan sangat lembut. Lyra yang merasakan Damian mencium pipinya berkali-kali merasa berdebar, menghabiskan malam dengan pria asing hanya karena emosi sesaat adalah ide gila yang tidak pernah terpikirkan olehnya. Kecupan Damian menurun ke leher, membuat jantung Lyra semakin berdebar tidak karuan. Lyra membuka matanya dan memposisikan dirinya menghadap Damian. "Kau tidak perlu melakukan lebih, aku sudah cukup puas," ujar Lyra. "Baiklah, aku hanya akan mendekapmu sampai waktuku habis." Damian menyingkap lembur rambut yang menghalangi wajah Lyra kemudian memeluknya. Tapi Lyra mendongakan kepalanya menatap Damian lekat, pria yang ditatap menyadari dan menatap Lyra balik. "Ada apa?" tanya Damian. "Siapa namamu?" Damian mengernyit tidak mengerti, semua hal pertama kali yang dia alami sekaligus bersama Lyra, dari mulai ucapan terima kasih, sopan dan kali ini hanya Lyra yang menanyakan namanya. "Itu rahasia," balas Damian. "Kenapa rahasia? Bukankah nama itu perlu diketahui dan tidak perlu dirahasiakan," keluh Lyra. Damian terkekeh geli melihat respon yang menggemaskan dari Lyra. "Iya, rahasia. Ini rahasiaku, aku tidak akan memberitahukan namaku pada semua wanita yang memesanku," ungkap Damian. Lyra merengut, padahal dia suka sekali mengobrol dengan Damian. Lyra merasa cocok dan juga merasa dekat padahal ini pertemuan pertama mereka. "Bagaimana aku akan memanggilmu? Dan bagaimana aku akan mencarimu?" Tiba-tiba pertanyaan yang tidak seharusnya terlontar dari bibir Lyra. "Bodoh! Memangnya kenapa aku harus mencarinya?" gerutu Lyra dalam hati. "Kau begitu menyukaiku, ya? Tenanglah kau bisa datang ke sini karena aku selalu di sini tiap malam," jelas Damian. "Lalu namamu siapa ...?" Satu sentilan mendarat di dahi Lyra membuat sang empunya meringis kesakitan. "Sudah aku bilang rahasia, kenapa mengotot sekali," ujar Damian disertai tawa renyah yang keluar dari mulutnya. Setelah tawanya berhenti, Damian merasa jadi aneh dan mulai bertanya-tanya lagi, apa dia pernah tertawa seperti ini ke semua pelanggan sebelumnya? "Waktuku sudah habis, Nona. Aku akan keluar." Damian menyingkap selimut yang menutupi kakinya dan menyambar bajunya di lantai. "Setidaknya katakan padaku bagaimana harus bertemu denganmu lagi," protes Lyra. "Aku sudah jelaskan, kau datang ke sini malam hari." Damian membuka pintunya perlahan. Kemudian Damian berbalik menatap Lyra yang masih memegangi selimut di d*danya menutupi tubuhnya yang tak terbalut apa pun. "Kau bisa mengatakan pada pelayan di sini jika ingin bertemu denganku lagi ... Sebut saja aku nomor sembilan," ucap Damian. "Tunggu—" Dering telepon berbunyi bersamaan dengan bantingan pintu dari Damian. Lyra hanya bisa menghela napas lelahnya dan merutuki dirinya yang terlihat seperti sedang mengejar-ngejar pria baru dikenal. "Telepon dari siapa, sih?!" gerutu Lyra. Lyra menyambar ponselnya di samping dan segera mengecek nama yang tertera di layar ponselnya. Segera dia mengangkat dengan perasaan malas. "Aku akan pulang nanti, tidak perlu bawel begitu, Pa." *** Lyra berjalan tertatih-tatih merasakan sakit di bagian intimnya, dia tidak tahu kalau rasanya akan sangat sakit seperti itu, bagian lututnya sangat pegal dan kakinya gemetar seakan tidak kuat menopang berat dirinya sendiri. Butuh waktu agak lama sampai dia masuk ke mobilnya. "Hah ... b******k! Aku tidak pernah tahu kalau akan sesakit ini!" gerutu Lyra sambil menutup pintu mobilnya. "Nomor sembilan itu benar-benar luar biasa, bagaimana ada pria seperti monster begitu yang sama sekali tidak merasakan lelah sama sekali." Lyra tersenyum dalam pejamannya mengingat bagaimana dia menghabiskan malam penuh kenikmatan dengan Damian, tidak sadar Lyra menggigit bibirnya sendiri, terbayang menyentuh perut berotot milik Damian yang sangat menggoda dengan ukiran sempurna. "Astaga, subuh-subuh begini pikiranku sudah kotor!" Lyra buru-buru menepis pikirannya terhadap Damian, dia menjalankan mobilnya agar segera pulang karena ayahnya sudah mengomel sangat keras padanya di telepon tadi. Beberapa saat Lyra tidak sengaja menangkap sosok yang dia kenali, Selly dan Samuel mereka berdua keluar dari penginapan kecil subuh-subuh. "Dua b******k itu lagi, pasti sehabis tidur di rumah pengantinku mereka melanjutkannya ke sini!" kesal Lyra. Padahal Damian sudah mengobatinya, tapi Lyra merasa kesal lagi begitu melihat Selly dan Samuel yang terlihat sama sekali tidak menyesal, malah melanjutkan malam panasnya dengan di tempat lain. "Benar, kan?! Mereka sudah pasti tidak melakukannya hanya satu kali saja!" omel Lyra yang terus memperhatikan mereka. Lyra melirik ke arah tempat di mana mereka keluar, kemudian melayangkan senyuman remehnya. "Dasar miskin! Mereka tidak mampu menyewa hotel bintang lima, malah menyewa hotel buruk begini!" hina Lyra. Satu ide gila terbesit di otaknya, Lyra langsung menancap gas mengarah ke mereka yang baru keluar dari parkiran sampai menyenggol sepeda motor yang hampir dinaiki Samuel dan Selly. Kemudian Lyra tertawa dan tersenyum puas melihat rencananya berhasil, bahkan Selly sampai tersungkur menyentuh aspal, lalu Lyra buru-buru keluar untuk meledek mereka yang baru saja dia kerjai. "Astaga, lihat dua orang miskin ini, mobilku sampai lecet karena menyenggol rongsokan," ujar Lyra dengan nada meledek ke arah Samuel. Samuel melayangkan tatapan nyalang sambil membantu Selly berdiri, dia sungguh tidak menyangka akan bertemu Lyra dan akan mendapat perlakuan seperti ini dari Lyra, wanita yang dulu selalu bersikap lemah lembut di hadapannya sekarang berubah total. "Apa-apaan kau menabrak kami?! Kau sengaja, ya?!" teriak Selly tidak terima. Lyra tersenyum penuh kemenangan melihat mantan sahabatnya yang begitu kesal padanya, sekarang sikap asli mereka benar-benar sudah terbongkar. "Bukankah kalian hanya sekali tidur bersama? Tapi apa ini ...? Aku melihat kalian keluar dari hotel," ucap Lyra menutup mulutnya seakan membuat ekspresi kaget. "Terlebih lagi hotel murah." Ekspresinya langsung berubah mengejek Samuel dan Selly. Samuel tidak bisa berkata apa-apa karena memang malam itu sangat tanggung ketika Lyra datang dan menghentikan aktivitas mereka, makanya mereka memilih ke hotel untuk melanjutkannya. Selly mengangkat tangannya tinggi-tinggi berniat ingin menampar Lyra, tapi Lyra sudah mencekal tangannya lebih dulu dan menyentak kasar mengakibatkan Selly tersungkur kembali ke bawah. Samuel yang melihatnya langsung memegang kedua bahu Lyra dengan cengkraman kuat, dia sungguh kesal pada Lyra yang selalu bertindak semuanya. "Apa?! Lepaskan aku br*ngsek!" Lyra berusaha berontak, tapi Samuel lebih kuat darinya. "Kau tidak bisa berlaku semaumu sendiri, Lyra!" Samuel ingin bicara dengan Lyra tentang hubungan pertunangannya, tapi dia sendiri emosi dan malah berlaku kasar padanya. "Lepaskan dia!" Mereka semua menoleh ke arah datangnya suara, Damian sudah berdiri di samping Lyra dan melepaskan cengkraman dari Samuel dengan mudahnya. "Apa-apaan kau?! Kenapa ikut campur masalah kami?!" Samuel tentu tidak suka dengan kedatangan Damian. "Pergi baik-baik atau aku akan membunuhmu sekarang juga," balas Damian dengan nada dingin dan tatapan tajam. Samuel melirik di tangan kanan Damian terdapat pisau lipat, pria itu jadi bergidik ngeri dan lebih memilih mundur mengajak Selly pergi dari hadapan Mira. Lyra langsung menatap Damian tidak menyangka kalau dirinya bisa bertemu dengan Damian di sini setelah kenangan yang dia lalui bersamanya. "Apa kau tetap akan membunuhnya kalau dia tidak mundur?" Satu pertanyaan konyol terlontar begitu saja dari bibir Lyra. "Mana mungkin aku menyusahkan diriku untuk menolongmu? Hidupku saja sudah susah, tidak mungkin aku membuat hidupku tambah susah, aku hanya menggertaknya saja tadi," balas Damian. Lyra merengut dengan jawaban tidak diharapkannya. "Siapa namamu, sih?" tanya Lyra penasaran. Damian tidak menjawab dan malah berjalan menjauh meninggalkan Lyra yang masih menatapnya dari belakang. "Hei ...! Siapa namamu?! Aku hanya ingin berterima kasih!" teriak Lyra dari kejauhan. Damian berbalik kemudian tersenyum. "Kalau ingin berterima kasih, kau harus membeliku lagi!" teriak Damian balik dari jarak yang terpaut agak jauh, kemudian Damian melanjutkan langkahnya meninggalkan Lyra. "Hei, nomor sembilan ...!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD