Tiga tahun berlalu begitu saja. Aku sudah melupakan kejadian yang membuat singkong mentegaku saat itu benar -benar berdiri bagai menara eiffel yang tegak lurus menjulang ke atas.
"Cantas ... Kamu jadi ambil beasiswa kamu ke S2?" tanya Mama padaku.
"Jadi Ma. Aku harus sesuaikan juga sama Kampusnya," ucapku lembut sambil sarapan pagi dengan nikmat.
"Memang bisa sesuaikan Kampus sama tempat kamu kerja?" tanya Mama sambil mengerutkan keningnya.
"Bisa dong, Ma. Aku kan udah di terima kerja di Yogya. Aku harus ambil Kampus yang satu kota dengan tempat kerja aku. Masa iya, aku kuliah lagi tanpa bekerja, Kapan aku mandiri dan bisa mengurus diriku sendiri," jelasku pada Mama.
"Terus? Kamu mau kos? Atau kontrak? Atau sewa apartemen?" tanya Mama mendesak ingin tahu.
Aku menggelengkan kepalaku pelan, "Aku belum tahu, Mah. Mau lihat situasinya dulu."
Sepertinya memang harus begitu bukan? Aku harus investigasi sendiri ke Kota Gudeg itu untuk melihat situasi dan kondisinya. Dimana letak kantor yang menerimaku bekerja dan dimana pilihan Kampus yang memberikan beasiswa kelanjutan untuk kuliahku. Baru aku bisa menyimpulkan dimana aku akan tinggal. Hanya butuh penyesuaian saja. Aku kerja sampai jam berapa? Aku kuliah mulai kapan dan jam berapa? Lalu berapa lama waktu yang dibutuhkan.
"Oh ya, Tas ... Gimana kalau kamu tinggal di rumah Tante Puspa. Dia ada di Yogya sekarang," ucap Mama memberitahu.
"Memang Puspa ada di Yogya sekarang?" tanya Papa yang baru keluar dari kamar dan langsung nimbrung.
"Iya Mas. memang kamu ga tahu?" tanya Mama serius.
"Aku gak tahu dan gak perlu tahu. Cuma, aku merasa kok udah lama kamu diam di rumah dan gak pernah kumpul- kumpul di luar lagi. Ternyata, sahabatnya tidak ada lagi," goda Papa pada Mama.
Aku hanya menatap keduanya dan mengulum senyum. Mama dan Papa memang selalu bucin dan bahkan tidak malu saling tersenyum manja membuat jiwa -jiwa jmbloku tentu saja meronta. Hati ini jujur, tidak baik -baik saja.
Pikiranku kembali berputar ke waktu lima tahun yang lalu dan bahkan tahun -tahun sebelumnya.
Ya, Tante Puspa. Jarak usiaku dan dia sekitar sepuluh tahun saja. Mama dan Tante Puspa lumayan berjarak tapi mereka satu frekuensi jadi sangat cocok.
Tapi, kata Mama, Tante Puspa itu hanay istri kedua yang di nikah siri. Atau lebih tepatnya hanya seorang simpanan seorang pengusaha tambang dari Kmalimantan. Hanya itu, tidak ada lagi yang diceritakan Mama padaku. Aku pun tidak banyak tanya. Aku merasa bodo amat. Apa peduliku? Bukan teman, bukan saudara juga. Dia hanay teman atau sahabat Mamaku saja.
Semenjak kejadian itu, jujur aku tidak bisa melupakan segala hal yang berkaitan dengan Tante Puspa.
Tangannya yang mulus dan putih tanpa ada cela, dengan jari -jari lentik serta kuku buatan berwarna merah dengan aksen silver mirip permata. Bagus sekali. Tangan mungil yang sesuai ukuran tubuhnya mulai mendarat di atas singkong mentegaku yang sedang mengembang bagai adonan donat yang sudah di beri ragi.
Senyum manis Tante Puspa ikut mengembang saat tahu singkong begitu keras dan sangat padat. Ia melirik sekilas ke arah bawah dan kembali menatapku dengan sangat lekat.
Suaranay yang mendesah pelan dan bilang, "Aku suka yang seperti ini ..."
Tubuhku merinding seketika, suara itu tepat ia bisikkan di dekat telingaku. Lelaki ana yang tidak langsung kesetrum di rayu dengan wanita agresif seperti Tante Puspa.
Tunggu dulu, Dia entah agresif atau memang kurang kasih sayang atau kurang sentuhan dari suaminya yang katanya tajir melintir itu.
"Tas? Lagi ngelamunin apa?" tanya Mama sambil mengibaskan tangannya di depan wajah Cantas.
"Hmmm ... Enggak ngelamun ok. Cuma lagi mikir aja," ucapku begitu kaget. Aku harus bisa mengelak dengan tenang agar Mama tidak curiga, kalau aku sedang melamunkan kecantikan Tante Puspa, sahabat Mama.
"Masa? Tadi kamu itu senyum -senyum, Tas. Mama gak yakin kalau kamu itu sedang berpikir. Kamu kira, Mama ini bukan Mama kandung kamu, yang tidak tahu siap putra semata wayangnya? Hah?" ucap Mama sedikit kesal karena di bohongi oleh putranya sendiri.
"Mungkin ... Cantas sedang melamunkan pacarnya, Ma. Biarkan saja. Dia sudah dewasa,kalau perlu dia harus cepat -cepat menikah," jelas Papa menengahi.
"Belum Pah. Cantas gak mau cari jodoh dulu. Cari perempuan itu mudah. Kalau kita mampu dan mapan, banyak wanita yang mau dan mendekati kita. Kita tinggal pilih saja. Betul kan, Papaku sayang?" godaku pada Papa.
"Betul sekali. Lihat ini contohnya Mama kamu, ngelendot aja sama Papa," ucap Papa dengan bangga.
"Nah kan ..." jawab Cantas ikut tertawa.
"Jadi gimana? Tawaran Mama? Kamu mau tinggal di rumah Tante Puspa? Biar Mama nantinya bakal sering main ke Yogya kan?" ucap Mama penuh harap.
Jujur, aku tidak tega menolak permintaan Mama. Sepertinya, ide itu perlu aku coba. Lumayan menghemat uang untuk biaya tempat tinggal dan bahkan untuk makan. Aku kan baru mau kerja. Kalau aku gak betah, baru aku cari tempat baru dengan alasan yang wajar kepada Mama, batinku.
***
Mama sudah asyik mengobrol dengan tante Puspa melalui telepon. Mereka memang betah berjam -jam ngobrol ngalor ngidul tanpa jlunturan begitu.
Intinya, Mama memberi kabar pada Tante Puspa kalau aku itu siap untuk tinggal sementara di rumah Tante Puspa.
Sekarang aku harus semuanya dulu, untuk kelengkapan surat mendaftar di Kampus yang aku mau.