Dua hari kemudian…
48 jam sudah Jessica menghabiskan waktunya di dalam ruang rawat sang suami yang sampai saat ini masih belum sadarkan diri dari komanya. Selama itu juga Jessica tidak dapat tidur dengan tenang karena bayangan saat Patrick melecehkannya masih terngiang jelas dalam benak wanita itu, membuatnya selalu mengalami mimpi buruk ketika berusaha untuk memejamkan kedua matanya.
Lagi dan lagi bisa dikatakan keberadaan Morgan di sampingnya sejak insiden itu terjadi membuat Jessica merasa beruntung karena masih ada seseorang yang menemaninya di kala terpuruk seperti ini.
Dua hari sudah Jessica dan Morgan menghabiskan waktu bersama, di dalam ruang rawat Brendan tanpa beranjak pergi ke mana pun. Bahkan Morgan lebih sering delivery makanan untuk mengisi perut keduanya yang lapar daripada harus pergi keluar dan jauh dari Jessica. Jika Jessica menganggap Morgan adalah sahabat baik dari suaminya dan ia merasa nyaman dekat dengan Morgan, tetapi pria itu malah beranggapan yang lain.
"Jess, kamu yakin tidak ingin pulang ke rumah untuk beristirahat? Aku tidak tega loh melihat kamu kelelahan seperti ini," tanya Morgan yang melihat Jessica begitu kelelahan, tapi wanita itu berusaha untuk kuat dan menampilkan ekspresi bahwa ia baik-baik saja.
"Terima kasih Morgan karena kamu sudah mencemaskanku, tapi tenanglah aku baik-baik saja. Jadi kamu tidak perlu khawatir dan terus menyuruhku untuk pulang dan beristirahat di rumah, aku di sini untuk suamiku, menguatkannya dan terus memberinya semangat agar dia lekas sadar," jawab Jessica yang sudah dua malam ini tidur di sofa bed, letaknya tepat berseberangan dengan ranjang yang ditiduri oleh Brendan. Sementara Morgan tidur di sofa yang lainnya.
"Ah iya, baiklah. Aku lupa kalau kamu itu wanita yang keras kepala dan tidak suka diatur."
"Nggak usah mulai lagi Morgan, aku capek deh ngomongin masalah itu lagi sama kamu. Pokoknya kamu tenang saja ya, aku akan tetap baik-baik saja sampai suamiku sadar dari komanya nanti. Aku yakin Tuhan tidak akan tega melihatku larut dalam kesedihan, jadi Tuhan pasti akan segera membangunkan Brendan kembali untukku," jawab Jessica yang semula sempat mengerucutkan bibirnya karena merasa kesal dengan Morgan yang sering menggodanya dan mengatakan bahwa dirinya adalah wanita yang keras kepala.
"Ok, baiklah. Aku janji tidak akan membahas masalah ini lagi. By the way, bicara soal rencana liburan kamu bersama Brendan, memangnya kamu mau liburan ke mana? Mungkin aku bisa ikut untuk merilekskan pikiranku yang jenuh dan bosan ini karena terus bermain dengan senjata-senjata untuk melumpuhkan para penjahat di kota ini," pancing Morgan yang sangat ingin mengetahui destinasi liburan wanita yang diidamkannya.
"Rencananya aku mau pergi ke Paris, but i am so sorry, aku hanya ingin pergi berlibur bersama Brendan. Hanya berdua tanpa ada siapapun. Jadi silakan kamu pergi berlibur bersama kekasihmu. Itu jauh lebih mengasyikkan daripada mengganggu waktu liburanku dan Brendan." Jessica mengatakan hal itu dengan menyunggingkan seulas senyuman yang begitu manis dan menawan. Kini giliran wanita itu yang menggoda Morgan dan membahas tentang kekasih pria tersebut yang tidak Jessica diketahui dan tidak ada dalam pembahasan dari obrolan mereka selama 2 hari ini.
"Sayangnya aku tidak memiliki kekasih," jawab Morgan dengan nada suara yang sedih. Pria itu memang pandai berakting di hadapan Jessica dan Brendan, hingga dua manusia itu tidak mengetahui siasatnya.
"Serius? Kok bisa?"
"Bisa apanya?"
"Maksud aku, kok bisa pria sepertimu tidak memiliki kekasih!" jawab Jessica yang mulai terdengar ketus sembari merapikan sofa tempatnya tidur selama beberapa jam malam tadi.
"Memangnya aku pria seperti apa?" tanya Morgan yang seketika penasaran mendengar ucapan Jessica barusan. Ia pun bergegas melangkah dan berpindah tempat duduk. Dalam hitungan detik kini pria itu telah duduk di seberang sofa yang Jessica tempati.
"Kamu pria yang baik, tampan dan sepertinya tipe pria yang tanggung jawab. Jadi wajar dong kalau aku tidak percaya kamu belum memiliki girlfriend." Jessica menjawab dengan apa adanya. Namun, jawaban wanita itu membuat Morgan bahagia mendengarnya karena setidaknya Jessica mengakui akan ketampanan dan kebaikannya.
Morgan pun mulai menatap wajah cantik Jessica lekat-lekat, lalu menarik kedua sudut bibirnya hingga menyunggingkan seulas senyumannya yang mampu menghipnotis banyak wanita di luar sana. Namun, Morgan selalu menolak cinta yang hadir setelah sang kekasih meninggal dunia. Wanita yang ia pacari hanya untuk melampiaskan hasratnya sementara waktu sampai ia berhasil mendapatkan Jessica setelah Brendan melepasnya.
Ya, walau tak dapat dipungkiri terkadang Morgan selalu menghabiskan malamnya dengan bergonta-ganti wanita. Namun, setelah wanita yang pernah menjadi kekasihnya meninggal beberapa bulan silam, Morgan tak ingin menjalin hubungan serius dengan wanita mana pun, hanya sekedar menghabiskan satu malam bersama, lalu ia pergi begitu saja tanpa kabar.
"Aku yakin kamu pasti akan mengakui semua hal yang sempurna dariku, Jessica. Aku berharap, setelah ini kita bisa semakin dekat dari sebelumnya. Aku jadi semakin tidak sabar untuk segera menghancurkan pernikahanmu bersama Brendan agar aku bisa segera memilikimu seutuhnya," batin Morgan yang memiliki harapan yang sudah melambung tinggi dalam bayangannya.
"Hei, kenapa kamu malah senyum-senyum? Kamu nggak mendadak gila kan karena terlalu lama berada di sini?" tanya Jessica dengan dahi yang mengernyit, setelah selesai merapikan bekas tidurnya.
Seketika Morgan tersadar dari lamunannya, lalu ia terkekeh pelan mendengar ucapan Jessica. "Siapa yang gila? Kalau ngomong jangan suka asal deh. Tapi serius deh, aku memang tidak memiliki kekasih. Kalau tidak percaya coba saja nanti kamu tanya pada Brendan. Dia tahu semua kisah hidupku dan percintaanku," jawabnya sembari mengarahkan sorot matanya ke arah Brendan.
Hingga tatapan Morgan terhenti tepat lurus ke arah Brendan yang masih terbaring di atas ranjang. Pria itu pun segera bangkit dari duduknya dan melangkah menuju Brendan yang terlihat tengah mengerjapkan mata dengan perlahan.
"Jess, Brendan sudah sadar." Morgan segera memberitahukan Jessica yang seketika bangkit dari duduknya dan berlari ke arah ranjang yang ditiduri oleh Brendan.
Jessica mengucap syukur berulangkali atas kesadaran suaminya, ia sangat lega karena dapat kembali melihat Brendan membuka mata di pagi hari. Ia pun segera meraih jemari sang suami, kemudian ia menggenggamnya erat-erat. Perasaannya seketika membuncah bahagia dengan senyuman yang mengembang sempurna. Air mata bahagia seketika menetes perlahan demi perlahan dari kedua sudut matanya.
"Brendy, akhirnya kamu sadar juga. Bagaimana kondisimu sekarang?" tanya Jessica sembari mengusap permukaan wajah suaminya setelah ia membuka masker oksigen yang dikenakan oleh Brendan sebelumnya.
Tampak jelas air mata mengalir dari sudut mata Brendan walau hanya setetes, dengan cepat Jessica menghapusnya. Ia tak akan membiarkan suaminya kembali menangis karena mendengar tuntutan darinya.
"Ssttt, kamu tidak perlu menjawab apa-apa. Biar aku periksa kondisimu dulu. Okay!" titah Jessica yang kembali mengurai genggamannya dari jemari sang suami ketika melihat Brendan tampak payah saat hendak menggerakkan mulutnya.
Jessica pun segera mengeluarkan alat-alat medis yang ia simpan dengan baik di laci nakas untuk terus dapat memantau kondisi perkembangan Brendan selama mengalami koma. Dengan senyuman merekah Jessica melakukan pemeriksaan. Senyuman yang dapat menggambarkan betapa bahagianya Jessica saat ini karena setelah menunggu cukup lama, akhirnya apa yang ia harapkan Tuhan kabulkan. Akhirnya Brendan kembali sadar dan berhasil melewati masa kritisnya.
"Apakah ini nyata, Tuhan? Apakah benar dokter yang ada di hadapanku saat ini dan tengah memeriksa keadaanku adalah Jessica milikku?" batin Brendan di kedalaman hatinya yang dipenuhi rasa tidak percaya setelah memori dalam kepalanya berhasil mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya berada di rumah sakit, di tempat ini. Namun, Brendan tidak mengetahui apa yang terjadi setelah seseorang menembaknya.
Setelah menyelesaikan pemeriksaannya terhadap Brendan, Jessica kembali melepaskan alat-alat yang ia gunakan dan meletakkannya lagi di laci nakas. Kini ia semakin merasa bahagia sekaligus lega karena kondisi sang suami sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.
"Bagaimana, Jess? Brendan baik-baik saja kan?" tanya Morgan penuh kepalsuan, karena pertanyaan yang terlontar dari mulutnya tidak sesuai dengan isi hatinya yang mengharapkan Brendan tidak akan pernah membuka kedua mata untuk selamanya.
"Jauh lebih baik. Sekarang boleh aku minta waktu berdua dengannya dulu?" jawab Jessica yang mengakhiri kalimatnya dengan sebuah pertanyaan, sekaligus meminta Morgan untuk menunggu di luar dan memberinya sedikit waktu, meninggalkan ia bersama Brendan di ruangan tersebut.
"Ya, aku akan keluar sekarang. Setelah kalian selesai mengobrol, aku akan kembali masuk untuk mengajukan beberapa pertanyaan pada Brendan," jawab Morgan dengan perasaan yang menggebu-gebu setelah mendapati Brendan sadar secepat ini.
"Baiklah Morgan." Jessica menjawab perkataan Morgan dengan suara yang terdengar begitu ceria, tidak seperti beberapa hari sebelumnya yang selalu terdengar lemah dan tak bertenaga.
Setelah Morgan pergi dari hadapan keduanya, perhatian Jessica pun kembali fokus pada Brendan. Wanita itu masih nyaman untuk terus tersenyum sambil memandangi wajah sang suami.
Mendengar percakapan antara Morgan dan Jessica, hal itu akhirnya cukup meyakinkan Brendan bahwa dokter cantik yang ada di sampingnya saat ini adalah Jessica, istrinya.
"Ya Tuhan, ternyata dia benar-benar istriku dan sepertinya ini bukan mimpi karena ternyata ada Morgan juga di sini. Tapi bagaimana mungkin Jessica masih mau melihatku lagi dan memanggilku dengan panggilan sayang setelah apa yang dia inginkan sudah aku wujudkan?" batin Brendan yang merasa teramat bahagia dengan kenyataan saat ini, walau banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya.
"Sayang, coba jawab pertanyaanku dengan perlahan-lahan. Apakah kamu ingat siapa nama istrimu?" tanya Jessica coba memastikan bahwa ingatan suaminya baik-baik saja dan tidak melupakan tentangnya.
"Jessica Mille."
"Jessica Mille, istrinya siapa?" tanya Jessica kembali dengan senyuman yang tidak kunjung redup.
"Brendan Cooper."
Hanya dengan mendengar jawaban Brendan, hal itu mampu membuat kedua pipi Jessica merona merah dan rasa panas mulai merayap naik ke permukaan wajahnya.
Sontak saja Jessica langsung berhambur memeluk Brendan untuk meluapkan rasa bahagianya, sekaligus menyalurkan rasa rindunya pada pria yang sudah membuatnya cemas selama beberapa hari dirinya mengalami koma.
Brendan membalas pelukan Jessica, dan mengusap kepala sang istri dengan begitu lembutnya. Jauh di kedalaman hatinya Brendan merasa bahagia atas apa yang dapat ia rasakan saat ini, yaitu merasakan Jessica mau memeluk tubuhnya kembali. Walaupun sebenarnya ia sangat penasaran, hal apa yang membuat Jessica mau kembali lagi kepadanya.
"I miss you, honey. Akhirnya aku bisa memelukmu seerat ini lagi. Kamu berdosa banget tau karena sudah membuatku larut dalam kesedihan selama dua setengah hari ini. Pokoknya kamu harus tanggung jawab dan buat aku bahagia lagi dengan menghapus kesedihan yang aku rasakan kemarin!" Setelah mengungkapkan rasa rindunya, Jessica langsung meminta pertanggungjawaban dari sang suami yang keadaannya baru sadar dari koma.
Sebelum Brendan menjawab dan setelah puas memeluk tubuh pria itu, perlahan demi perlahan Jessica mulai mengurangi pelukan tersebut. Lalu ia melabuhkan bibirnya di permukaan bibir sang suami yang masih terlihat pucat, kemudian ia mengecup dan melumat bibir itu dengan penuh kelembutan. Begitupun dengan Brendan yang membalas ciuman Jessica penuh rasa bahagia dan semua yang ia alami saat ini masih terasa seperti mimpi.
Jessica yang tidak ingin menuntut banyak mengingat kondisi suaminya baru siuman, ia pun melepas pagutan bibirnya walau harus membuat Brendan berakhir kecewa. Wanita itu tertawa kecil melihat raut wajah kecewa sang suami yang seperti anak kecil.
"Gimana, Brendy? Dengan cara apa kamu mau menebus kesalahanmu padaku?" tanya Jessica kembali menuntut jawaban dari Brendan.
"Katakan, aku harus apa? Maka aku akan melakukan apa pun yang kamu minta asalkan bukan perceraian yang kamu inginkan, karena permintaan yang satu itu sangat berat dan terasa sulit untuk aku bisa mengabulkannya." Brendan balik bertanya untuk dapat menebus kesalahannya pada Jessica yang telah dibuat cemas karena ternyata dirinya sempat mengalami koma setelah insiden baku tembak pada malam itu.
Jessica tersenyum manis sembari menggelengkan kepalanya. "Aku tidak akan meminta hal yang satu itu lagi, Brendy, asalkan selamanya kamu bisa tetap setia sampai aku tua nanti. Aku minta maaf ya karena sudah meminta sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh aku minta darimu karena kita sudah saling berjanji untuk sehidup semati. Aku menyesal dengan apa yang pernah aku katakan padamu, tapi kamu harus tahu satu hal bahwa aku dan Patrick tidak pernah menjalin hubungan spesial dan aku sama sekali tidak cinta sama dia, karena selama ini aku hanya menganggapnya sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Kamu harus percaya itu ya sayang. Selama ini aku setia sama kamu, hanya kamu satu-satunya, kamu pria pertama dan terakhir yang aku cintai selamanya."
Walau suara Jessica terdengar lembut saat menjelaskan semuanya kepada Brendan, tapi sorot matanya memancarkan kesedihan yang diselimuti kecemasan. Hal itu tertangkap jelas oleh mata Brendan yang seolah mengerti bahwa ada sesuatu yang Jessica sembunyikan darinya. Namun, Brendan memilih untuk tidak menanyakannya saat ini juga mengenai hal yang mengganjal pikirannya.
"Kenapa ya aku seperti merasakan Jessica tengah menyembunyikan sesuatu dariku? Hal apa yang sebenarnya Jessy sembunyikan dariku tentang Patrick? Aku merasa sorot matanya berubah cemas saat membahas tentang Patrick," batin Brendan yang pada akhirnya menaruh rasa curiga di kedalaman hatinya dan memutuskan akan mencari tahu semuanya setelah kondisinya pulih nanti.