Keesokan harinya, Brendan sudah diizinkan pulang oleh dokter yang menanganinya, dan juga atas permintaan pasien itu sendiri yang merasa tidak betah berlama-lama dirawat di rumah sakit dan ingin segera pulang ke rumah.
Dengan bantuan Morgan, Brendan dan Jessica pulang ke rumah menaiki mobil milik pria itu. Pria yang menunjukkan sikap bahwa ia begitu peduli pada Brendan, hingga membuat keduanya tidak enak untuk menolak.
Selama di perjalanan menuju rumah kediaman Brendan dan Jessica, ketiganya terlibat obrolan ringan. Namun, siapa yang menyangka bahwa di dalam pikiran Morgan saat ini, pria itu berniat ingin sekali mencelakai Brendan agar ia memiliki kesempatan untuk dekat dengan Jessica lebih lama lagi.
Terlebih hati Morgan terasa panas ketika melihat kemesraan Brendan dan Jessica yang duduk di belakang kursi kemudinya, membiarkannya duduk seorang diri di depan seperti supir. Namun, ia harus berpikir berulang kali untuk melakukan hal senekat itu mengingat saat ini ada nyawanya dan nyawa Jessica yang sangat berharga di dalam mobil tersebut.
"Sial, kenapa Brendan sengaja sekali membuatku marah dan cemburu seperti ini dengan bermesraan di depan mataku! Sepertinya dia juga sudah mulai sengaja untuk menjauhkan aku dengan Jessica. Lihat saja kau Brendan, sebentar lagi aku akan membuat hubunganmu dan Jessica hancur, bahkan tidak dapat diselamatkan untuk terus tetap bertahan seperti yang terjadi saat ini!" batin Morgan yang telah menyusun rencana cantik untuk membuat keduanya berpisah, agar ia memiliki kesempatan untuk mendapatkan Jessica secepatnya.
"Morgan, kenapa kau selalu melihat ke kaca spion? Apa kau sengaja ingin mengintip aku dan Jessica yang ada di belakangmu?" sindir Brendan dengan tersenyum tipis dan suaranya terdengar bernada candaan. Ia memang suka menggoda Morgan yang jomblo.
"Jangan kepedean jadi orang! Dari tadi aku melirik ke kaca spion itu karena ada mobil yang seperti sengaja membuntuti kita dari belakang! Ngapain juga aku lihat kalian yang pamer kemesraan, aku juga dulu pernah kok seperti kalian!" jawab Morgan ketus dan dengan begitu bangganya.
Seketika pandangan Brendan dan Jessica menoleh ke belakang, untuk melihat mobil yang Morgan maksud dan diduga tengah mengikuti mereka dari arah belakang.
"Mana?" tanya Brendan dan Jessica secara bersamaan.
"Mobilnya sudah melewatiku beberapa detik yang lalu, sebelum kalian menoleh ke belakang. Makanya fokus sama keadaan sekitar, jangan asik mesra-mesraan terus!" ketus Morgan sembari berdecak kesal.
"Itu artinya tidak ada orang yang mengikuti kita dari belakang seperti yang kau katakan, Morgan. Kau saja yang terlalu curiga!" balas Brendan sembari meninju bahu pria itu yang tengah fokus mengemudi.
Morgan hanya menyeringai tipis tanpa menjawab apa-apa, ia mulai kembali fokus menatap lurus ke depan tanpa menghiraukan yang terjadi di kursi penumpang di belakang.
Setelah menempuh perjalanan selama tiga puluh lima menit, mobil yang Morgan kendarai pun tiba di tujuan dan ia segera memarkirkan mobilnya di depan rumah Brendan dan Jessica.
Morgan memutuskan turun lebih dulu untuk membantu sahabatnya keluar dari mobil mengingat kondisi Brendan yang masih belum pulih 100%.
"Sini biar aku bantu!" ucap Morgan yang segera memapah tubuh Brendan dan membawanya masuk ke dalam rumah.
"Thanks ya, Morgan," ucap Brendan mengungkapkan rasa terima kasihnya karena Morgan sudah banyak membantunya dengan tulus, sejak ia mengalami insiden penembakan pada malam itu.
Melihat kebaikan Morgan kepada Brendan membuat Jessica yakin bahwa pria itu tidak memiliki niat lain terhadapnya, seperti yang Brendan khawatirkan kemarin.
"Morgan kelihatan tulus gini kok baiknya, malah dicurigai sama Brendy. Dasar suamiku yang pencemburu!" batin Jessica menggelengkan kepala sambil terus melangkahkan kedua kakinya.
Setibanya di ruang keluarga, Morgan dan Brendan diminta Jessica duduk di sana. "Sayang, tunggu sebentar ya. Aku akan buatkan minuman untuk kamu dan Morgan."
"Tidak perlu repot-repot, honey. Morgan biasa kok nggak minum sampai rumah. Sudah mending kamu istirahat saja, aku nggak mau kalau kamu sampai kelelahan dan akhirnya jatuh sakit, apalagi kamu sudah capek banget jagain aku selama di rumah sakit," larang Brendan sebelum Jessica pergi meninggalkan ruang keluarga tersebut.
"Masa kamu tega sih sama sahabat sendiri? Kasihan loh, pasti Morgan haus, apalagi dia capek nganterin kita sampai di rumah." Jessica coba memperingati suaminya yang ia ketahui bahwa Brendan hanya bermaksud bercanda.
"Astaga, kau ini sialan banget! Masa aku sebagai tamu di sini tidak disuguhkan apa-apa, setidaknya segelas minuman saja untuk melepas dahaga!" protes Morgan sembari mendaratkan pukulan telak yang mengenai bahu Brendan, hingga pria itu menjerit kesakitan.
"Aww! Sakit sialan!" keluh Brendan yang mengumpat sembari memegangi bahunya yang baru saja dipukul oleh Morgan.
Hingga seketika Jessica yang panik berlari ke arah Brendan dan duduk tepat di tengah-tengah antara sang suami dan Morgan, membuat jarak tubuhnya cukup rapat dengan sahabat dari suaminya.
"Sayang, apa kamu baik-baik saja? Apa aku perlu mengobati bekas luka tembak di bahumu?" tanya Jessica yang panik sambil membuka kancing kemeja yang Brendan kenakan agar ia dapat melihat kondisi bahu sang suami saat ini.
"Brendan, i'm so sorry. Sumpah, aku tidak sengaja. Aku tidak bermaksud memukul bahumu, tadinya aku berniat hanya ingin memukul lenganmu saja," jelas Morgan yang mulai merasa bersalah sambil menampilkan raut wajah penuh penyesalan.
"Tidak apa-apa, sayang. Aku baik-baik saja. Kau sengaja ingin membuatku celaka, Gan?" jawab Brendan agar istrinya tidak panik lagi, dan mengumpat pada sahabatnya yang ia ketahui pasti tidak sengaja mengenai bahunya.
"Brendan, sorry. Aku serius tidak sengaja. Sebagai bentuk pertanggungjawaban bagaimana kalau aku saja yang mengobati luka di bahumu? Okay?" pinta Morgan yang benar-benar pandai menipu Brendan dan juga Jessica dengan daya tipu muslihatnya.
"Tidak perlu. Aku baik-baik saja! Lain kali kendalikan sikapmu jika sedang berhadapan dengan orang yang bukan lawanmu!" jawab Brendan yang berhasil menyudahi keluhannya, walau luka di bahu terasa nyeri.
"Sudah sayang, kalau kamu mau buat minuman, buat sekarang ya. Biar setelah itu kamu bisa beristirahat," titah Brendan yang langsung diangguki oleh Jessica setelah kembali mengancingkan kemeja suaminya.
"Okay. Morgan, jangan lukai suamiku lagi ya. Jaga dia dengan baik selama aku pergi ke dapur!" Sebelum berlalu pergi Jessica menyempatkan diri untuk memperingati Morgan agar tidak mengulangi sikap bercandanya lagi.
"Siap, Nyonya Cooper." Morgan menjawab seraya menampilkan senyuman yang terlihat begitu bahagia karena baru saja ia diam-diam menyentuh b****g Jessica yang menduduki tangannya karena begitu mengkhawatirkan kondisi Brendan, tanpa disadari oleh wanita itu.
Setelah Jessica berlalu pergi ke dapur, Brendan mulai fokus membuka obrolan dengan sahabatnya.
"Bro, wanita mana yang sedang kau dekati saat ini? Sepertinya sudah lama sekali ya aku tidak mendengar ceritamu tentang seorang wanita. Kau masih normal kan? Maksudku kau masih suka dengan wanita kan?" tanya Brendan dan diakhiri dengan suara kekehan yang terdengar cukup renyah.
Morgan menatap tajam sahabatnya, ia menyeringai licik mendengar pertanyaan Brendan sambil bersedekap.
"Aku sedang menunggu istrimu menjadi milikku, bodoh!" batin Morgan di kedalaman hatinya yang bersorak keras.
"Ya, aku masih normal kali. Kau pikir aku ini pria macam apa? Aku sudah tidak pernah menceritakan tentang wanita pada kau itu karena aku memang sedang tidak menjalin hubungan dengan siapapun. Hitung-hitung aku masih dalam tahap seleksi dan memantapkan hati," jawab Morgan dengan bahasa yang disusun serapi mungkin.
"Serius? Lalu wanita yang sering tidur denganmu hampir setiap malam itu siapa?" tanya Brendan yang memang tidak tahu siapa sosok wanita itu, walau sebenarnya ia tahu sebebas apa kehidupan Morgan di malam hari.
"Hanya wanita panggilan. Biasalah, namanya juga pria normal, pasti ada masa-masa tertentu di mana dia butuh melampiaskan hasratnya saat tidak memiliki pasangan." Morgan dengan begitu santainya menjawab pertanyaan Brendan.
"Bukan pria normal, tapi pria nakal!" ledek Brendan dengan sengaja.
"Aku yakin kau pasti akan melakukan hal yang sama jika tidak memiliki pasangan. Pergi ke club sendirian, pulang-pulang berdua dengan wanita bayaran yang akan memuaskan hasratmu."
"Sayangnya aku tidak akan pernah melakukan hal itu, karena aku punya Jessica. By the way, lalu ke mana rencana kau akan berlibur sebelum kembali bekerja dan memberantas kejahatan?" tanya Brendan kembali untuk mengisi waktu kosong dan menemani Morgan berbicara sebelum pamit pulang.
"Sepertinya aku akan tetap stay di apartemen karena aku tidak memiliki rencana akan ke mana untuk mengisi waktu liburan Minggu ini."
"Saranku lebih baik kau pergi berlibur bersama salah satu wanita yang pernah tidur denganmu dan yang menurutmu cocok untuk dijadikan pasangan. Dengan begitu kamu akan memiliki tujuan akan pergi ke mana setiap kali memiliki waktu libur seperti ini."
Belum sempat Morgan menjawab perkataan Brendan. Wanita pujaan hatinya sudah kembali dari dapur dan tiba di hadapannya dengan membawa sebuah nampan yang berisi 3 gelas minuman segar.
"Hai, guys. Aku hanya bisa buat ini, karena ternyata ada banyak bahan-bahan minuman yang habis di kulkas. Jadi selamat menikmati!" ucap Jessica memberitahu suaminya dan juga Morgan, lalu ia menghidangkan minuman itu ke mereka satu persatu.
Setelah selesai menghidangkan minuman segar tersebut, Jessica pun memilih duduk di sebelah Brendan. Tepatnya di sisi sebelah kiri, membuat jarak jauh dengan Morgan yang duduk di tepi sebelah kanan.
"Terima kasih sayang untuk minumannya, maaf ya aku dan Morgan jadi ngerepotin kamu. Besok kita akan pergi ke supermarket untuk belanja bahan-bahan yang habis di dapur," ucap Brendan sembari mengusap punggung tangan sang istri yang bertumpu di atas pahanya.
"Sama-sama, sayang. Ide yang bagus, besok kita harus belanja kebutuhan selama satu bulan. Sekarang ayo diminum dulu minumannya. Mor, ayo diminum juga!" jawab Jessica dan mempersilakan Morgan untuk menyeruput minuman yang dihidangkannya.
"Thanks ya, Jess. Sorry banget loh ini aku jadi ngerepotin kamu."
"No problem. Ini sama sekali tidak merepotkanku, malah aku senang loh bisa menghidangkan kamu segelas minuman untuk pertama kalinya, karena biasanya kan kamu tidak pernah mampir lama kalau ke rumahku hanya sekedar untuk menjemput atau mengantarkan Brendy," jawab Jessica dengan begitu ramahnya, karena wanita itu memang terkenal ramah dan friendly, walau sedikit pemalu jika belum terlalu saling mengenal satu sama lain.
"Wah, apakah ini kode yang mengizinkan untuk aku sering-sering main ke sini?" tanya Morgan yang hatinya selalu merasa terisi setiap kali berbincang dengan Jessica, seakan tak menghiraukan kehadiran Brendan yang berada di antara mereka.
Brendan langsung meninju paha Morgan agar berhenti bicara dengan istrinya. "Sudah, jangan kebanyakan ngobrol, Bro. Lebih baik cepat habiskan minumanmu karena aku tidak bisa menemanimu terlalu lama, kamu dengar sendiri kan dokter memintaku untuk banyak-banyak beristirahat," usir pria itu secara halus karena merasa tidak suka Jessica terlalu ramah dengan sahabatnya.
"Yes, aku mengerti!" jawab Morgan yang menampilkan seulas senyuman seakan mengerti dengan kondisi Brendan saat ini, namun di dalam hatinya Morgan mengumpat kesal.
"Sial, Brendan sekarang malah berani mengusirku di saat dia tidak sedang membutuhkan tumpangan dariku lagi. Sepertinya dia sudah mulai cemburu melihat kedekatanku dengan Jessica. Ah, ini momen yang bagus untuk aku bisa memanfaatkan semuanya!" batin Morgan yang sudah tidak sabar untuk menantikan kedua matanya melihat kehancuran pernikahan Brendan dan Jessica. Dan saat itu tiba, maka orang pertama yang merasa bahagia adalah dirinya yang selama ini berkedok sebagai sahabat dari Brendan, tapi malah menusuk dari belakang.