Dokter Cantikku

1262 Words
Setelah menghabiskan minumannya, Morgan pun berinisiatif untuk pergi meninggalkan kediaman Brendan dan Jessica. "Get well soon, bro. Aku pamit pulang dulu ya. Kalau kamu butuh bantuan apa pun jangan sungkan untuk menghubungiku," pamit Morgan yang telah bangkit dari posisi duduknya. "Thanks ya, Gan. Sorry banget ya aku banyak membuat kau repot." Brendan menjawab sambil menganggukkan kepalanya dengan pelan. "Be careful dalam perjalanan pulang dan perbanyaklah istirahat setelah tiba di apartemen!" lanjutnya kembali. "You're welcome, bro. Selamat beristirahat juga untukmu." Morgan mengakhiri ucapannya pada Brendan dan mulai mengalihkan pandangannya ke arah Jessica. "Jess, aku pamit pulang dulu ya." Hanya kata-kata itu yang mampu Morgan ucapkan di hadapan Brendan, agar sahabatnya itu tidak semakin menyimpan banyak kecurigaan terhadapnya. "Ya, Morgan. Hati-hati di jalan ya. Terima kasih banyak atas bantuanmu selama Brendy dirawat di rumah sakit," jawab Jessica yang ikut bangkit dari atas sofa. "Sayang, aku antar Morgan sampai depan ya," pamit wanita cantik itu pada suaminya untuk meminta persetujuan. Brendan yang tidak ingin menolak keinginan istrinya, ia pun menganggukan kepala untuk mengiyakan perkataan Jessica. "Boleh, tapi jangan lama-lama ya, aku tunggu kamu di kamar!" jawabnya yang juga ikut bangkit dan hendak melangkah menuju kamar. "Ok, sayang. Yuk, Mor, aku antar kamu sampai depan!" ajak Jessica yang langsung diangguki oleh Morgan. Pria itu pun segera melangkah lebih dulu dan disusul oleh Jessica di belakang. Setibanya di pelataran rumah tepatnya di samping mobil Morgan yang terparkir, Jessica seperti hendak menyampaikan sesuatu pada pria itu tetapi terlihat masih ragu. "Jessy, apakah ada hal yang ingin kamu sampaikan padaku?" tanya Morgan yang seakan paham dengan kegelisahan Jessica. Wanita itu tampak memilin jemarinya yang terasa dingin, bahkan jantungnya pun berdebar tak karuan. "Morgan, aku ingin meminta satu hal darimu. Ini tentang Patrick." Jessica berucap dengan memelankan suaranya agar tidak terdengar hingga ke dalam rumah. Perasaannya tidak tenang, ia masih begitu ketakutan. Takut jika Brendan mengetahui apa yang Jessica alami saat menunggunya di ruang rawat. "Kamu mau minta aku melakukan apa? Katakan Jess, aku akan melakukan apa pun untuk kamu," tanya Morgan sembari menangkup kedua lengan Jessica. "Tolong jangan beritahu pada Brendan tentang apa yang aku alami bersama Patrick. Hubunganku dan Brendan baru mulai berangsur membaik, aku tidak ingin jika hubungan kita kembali retak karena permasalahan Patrick. Kamu bisa kan Morgan, melakukan itu untukku?" pinta Jessica dengan nada suara yang diselimuti permohonan. "Apakah kamu berpikir aku akan mengatakan hal itu pada Brendan?" tanya Morgan yang semakin memperdalam tatapannya. "Aku hanya takut kamu akan mengatakan hal yang sebenarnya, hal yang kamu lihat pada malam itu kepada suamiku setelah kalian sama-sama kembali bertugas nanti. Kamu tahu kan apa yang akan terjadi jika Brendan mengetahui semua itu?" ungkap Jessica menjelaskan ketakutannya kepada Morgan. "Aku tahu akan ketakutanmu dan aku tidak mungkin melakukan hal tersebut. Sebisa mungkin aku tidak akan memberitahu Brendan tentang kejadian malam itu. Kamu tenang saja, Jess. Tidak perlu merasa secemas ini. Rahasiamu aman di tanganku," jawab Morgan berusaha menenangkan wanita itu. "Thanks, Morgan. Kali ini aku benar-benar menggantungkan harapan yang besar padamu. Ya sudah, kamu lanjut deh dan hati-hati di jalan ya," ucap Jessica yang kemudian membuka pintu mobil dan mempersilahkan Morgan untuk masuk ke dalam. "You're welcome. Jaga dirimu baik-baik ya, jangan membebani pikiran kamu dengan hal-hal yang tidak penting. Aku pamit dulu, bye." Morgan pun segera duduk di kursi kemudi dan menutup pintu, sambil membuka kaca setengah bagian untuk dapat menatap wajah Jessica yang cantik. Jessica tersenyum dan melambaikan tangan, perlahan tapi pasti mobil Morgan mulai melaju pergi meninggalkan pelataran rumahnya. Kemudian wanita itu kembali masuk dan menemui suaminya di kamar. "Sayang, kok lama sih antar Morgannya? Ngobrolin apa dulu sama dia, sampai Morgan mencengkram dan mengusap lenganmu berulang kali?" tanya Brendan begitu sang istri melangkah masuk ke dalam kamar. Ya, Brendan dapat melihat dari jendela kamar kedekatan antara Jessica dengan Morgan yang terlihat cukup akrab. Tidak seperti sebelumnya, dulu baik Morgan dan Jessica tidak pernah terlibat obrolan yang cukup panjang, hanya saling menyapa ketika bertemu sebagai formalitas bahwa keduanya saling mengenal. "Itu loh sayang, tadi Morgan coba untuk menguatkan aku. Katanya aku nggak boleh sedih lagi dengan kondisimu saat ini karena kamu pasti akan kembali pulih secepatnya," jawab Jessica penuh kebohongan. Brendan menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk seulas senyuman karena ia sangat mempercayai perkataan istrinya yang tidak mungkin berbohong. "Apa yang Morgan katakan itu benar sayang, kamu tidak boleh bersedih lagi karena kamu bisa melihat sendiri kan sekarang aku sudah baik-baik saja. Semua ini juga berkat kamu, karena kamu sudah merawatku dengan baik hingga nyawaku masih dapat diselamatkan," ucap Brendan dengan begitu lembutnya, lalu kedua lengannya merengkuh tubuh Jessica setelah langkah wanita itu terhenti tepat di depannya. "Ya, sekarang aku dapat bernapas dengan lega karena bisa melihat dan menyaksikan secara langsung bahwa kamu kuat dan kondisimu semakin hari semakin membaik. Kalau begitu mari kita lanjutkan pembicaraan kemarin di rumah sakit, tentang ke mana tujuan liburan kita!" ajak Jessica yang begitu antusias menyambut hari liburan mereka berdua, setelah Jessica dan Brendan tidak pernah pergi berlibur selama satu tahun terakhir ini karena disibukkan pekerjaan masing-masing. Brendan mulai mengurai pelukannya, lalu ia menggenggam sebelah pergelangan tangan Jessica untuk diajaknya berbaring di atas ranjang. Setelah posisi keduanya saling berhadapan dan saling memeluk satu sama lain, barulah Brendan membuka obrolan di antara keduanya untuk membahas rencana liburan mereka. "Katakan, kamu mau kita liburan ke mana?" tanya Brendan dan mengakhiri kalimatnya dengan mengecup lembut permukaan bibir istrinya. "Berhubung aku hanya dapat cuti selama satu Minggu dari rumah sakit, jadi kita cukup pergi liburan ke Paris saja. Bagaimana?" Jessica pun tetap membutuhkan persetujuan dari suaminya atas jawaban yang ia lontarkan. "Satu Minggu adalah waktu yang cukup singkat bagi aku jika digunakan menghabiskannya bersama kamu. Tapi karena tuntutan pekerjaan, satu Minggu sepertinya tidak masalah asalkan kita harus pergunakan waktu itu dengan baik. Besok kita pergi ke Paris!" ucap Brendan memutuskan dan lagi-lagi mendaratkan sebuah kecupan mesra di permukaan bibir sang istri setiap selesai mengatakan sesuatu. "Besok? Kamu yakin kondisimu sudah sekuat itu untuk melakukan perjalanan ke Paris?" tanya Jessica dengan kedua alis yang saling bertaut. "Bukankah tadi kamu sendiri yang bilang, kalau kamu percaya kondisiku semakin membaik sejauh ini?" Kali ini Brendan menggigit hidung lancip sang istri yang seakan melupakan hal yang belum lama ini Jessica katakan. Seketika Jessica dibuat kikuk, entah mengapa berdekatan dengan Brendan kali ini membuat jantungnya berdebar-debar tak beraturan, padahal mereka sudah menikah selama lima tahun dan tak terhitung berapa ribu malam yang telah keduanya lalui. Namun, perasaan Jessica tak pernah berubah, jantungnya akan selalu berdebar seperti ini walau momen yang keduanya lewati bukan hal kali pertama. "Ah, iya… Aku lupa kalau baru saja mengatakan hal itu. Tapi kamu seriusan kuat kan? Aku takut kalau kamu terlalu memaksakan diri, itu hanya akan membahayakan kondisimu sendiri." Jessica berucap dengan menampilkan sorot mata yang diselimuti kecemasan. "Aku tidak pernah merasa khawatir selagi berada di dekatmu karena aku memiliki seorang dokter yang siap siaga menjagaku kala terluka. Seperti beberapa kejadian, kamu adalah dokter yang mengobati setiap kali aku terluka." Brendan mengatakan hal itu dengan penuh rasa bangga sekaligus memuji istrinya yang begitu sempurna untuk dirinya. "Aku juga hampir melupakan hal yang satu itu." Jessica terkekeh saat mengatakan hal tersebut. Wanita itu hampir melupakan bahwa dirinya merupakan seorang dokter karena entah mengapa Jessica selalu merasa ketakutan dan cemas jika suaminya terluka. Mendengar suara tawa Jessica yang begitu renyah dan raut yang begitu lucu membuat Brendan merasa gemas bukan kepalang. Hingga pria itu semakin mempererat dekapannya dan mulai melumat bibir sang istri tanpa aba-aba. Jessica tak menolak, ia menerimanya dengan pasrah. Bahkan wanita itu membalas dan mengimbangi permainan Brendan. Tak ada kata nanti untuk menolak keinginan sang suami walau kondisi pria itu masih sangat mengkhawatirkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD