15

1007 Words
Tiffany berjalan mendekati Kriss dan menatap ke arah laki-laki itu dengan tatapan yang lebih dalam. "Ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Tiffany yang sedikit khawatir. Dirinya baru saja tahu apa tujuan ayahnya membawa Kriss gabung ke dalam penelitiannya, dan tiba-tiba saja Kriss bersikap aneh seperti itu. "Tidak, aku hanya sedikit terkejut, aku pikir aku sendirian di sini." Jawab Kriss setelah menelan ludahnya kasar. Demi apapun dirinya masih sangat terkejut. Melihat orang yang dimakan oleh makhluk tadi secara hidup-hidup tentu saja membuatnya takut dan juga sedikit trauma. "Ayo makan malam dulu, sepertinya kamu tidak akan bisa melanjutkan pekerjaanmu jika seperti ini." Ajak Tiffany seraya mengeluarkan nasi bungkus yang tadi ia beli. Satu untuk Kriss dan satu untuk dirinya. Kriss pun mengangguk dan menerima nasi yang diberikan oleh Tiffany. Kriss berdiri dari duduknya dan memilih untuk makan di lantai, karena di sana tidak ada meja lain kecuali meja di mana komputernya berada. Tiffany yang dari awal ingin makan di atas meja dan menyingkirkan beberapa barang tentu saja berubah pikiran. Dirinya mengikuti Kriss turun dan makan di bawah. Tiffany membuka bungkusan nasi uduk yang tadi ia beli, sebenarnya dirinya sangat jarang makan makanan seperti ini. Apalagi nasi uduk mengandung banyak minyak dari kelapa yang tidak bagus untuk badan dan juga kesehatannya. Tapi demi Kriss dirinya ingin mencobanya. "Nanti aku ganti uangnya." Kata Kriss setelah memakan satu suap nasi dengan tangannya. "Tidak usah, tapi kenapa kamu makan pakai tangan? Itukan ada sendoknya?" Balas Tiffany sembari bertanya pada Kriss. "Lebih enak pakai tangan." Jawab Kriss dengan singkat. Tiffany pun memilih mengangkat bahunya acuh. Sebenarnya dirinya lebih ke merasa tidak nyaman, bagaimanapun juga laki-laki itu makan dengan tangan yang belum di cuci. Padahal sebelumnya laki-laki itu menggunakan tangannya untuk berbagai hal. Tiffany menggelengkan kepalanya dan memilih untuk ikut makan. Jangan berharap Tiffany sangat kagum dan suka denan makanan yang tadi dibungkusnya, karena kenyataannya Tiffany tidak terlalu suka. Lidahnya benar-benar susah untuk berhadapan dengan makanan baru, dan tentu saja lidahnya juga terbiasa makan dengan resep yang luar biasa. Tiffany melirik ke arah Kriss yang makan dengan lahap. Di dalam hati dirinya memikirkan apakah hanya dirinya yang tidak wajar? Dirinya selalu berpikir seperti itu saat melihat temannya yang bisa makan segalanya dan juga makan dengan lahap di saat dirinya tidak bisa mengunyah dengan baik. "Mau nambah?" Tanya Tiffany yang langsung saja membuat Kriss menoleh dan melirik ke arah nasi uduk milik wanita itu yang masih utuh. Kriss menarik bungkusan nasinya ke arah bungkusan nasi milik Tiffany. Dirinya dari kalangan orang tidak punya, bahkan juga pernah kelaparan berhari-hari. Jadi akan sangat sayang jika melihat nasi yang dibuang begitu saja. "Lain kali kalau tidak suka tidak usah beli, jangan buang-buang makanan karena di luaran sana masih banyak orang yang berharap bisa makan satu butirnya saja." Kata Kriss dengan suara pelan. Tiffany yang mendengarnya pun merasa sangat bersalah, selama ini dirinya sangat semena-mena terhadap makanan. Ia benar-benar tidak pernah bertemu orang-orang seperti mereka dan tidak pernah berpikir seperti itu sekalipun. "Apa kamu dulu juga seperti itu?" Tanya Tiffany dengan pelan. Kriss tidak ingin berbohong, dirinya memilih untuk menganggukkan kepalanya dan jujur tentang masalalunya. Dirinya juga tidak memiliki banyak teman untuk bercerita, jadi dirinya tidak takut jika Tiffany akan menjauhinya. Baginya, hidup sendiri di dunia yang mengerikan ini benar-benar tidak apa-apa. Mungkin saja dirinya akan lebih nyaman karena tidak perlu menjaga sikap dan juga melakukan hal-hal yang tidak ia sukai. "Bahkan aku juga makan dari makanan yang mereka buang jika hari itu aku belum makan." Jawab Kriss yang langsung saja membuat Tiffany ingin muntah saat mendengarnya. Dirinya benar-benar membayangkan bagaimana saat melihat orang-orang itu makan makanan sisa seperti itu. Benar-benar sangat menjijikan. Tiffany memilih diam dan tidak melanjutkan makannya, mendengar cerita dari Kriss tentu saja dirinya tidak bisa makan lagi. Benar-benar sangat menjijikan. "Aku tidak pernah tahu ada orang seperti itu." Balas Tiffany dengan pelan. Kriss tersenyum tipis saat mendengarnya, dirinya tahu Tiffany tidak akan tahu karena wanita itu adalah anak kesayangan pemilik perusahaan besar seperti ini. Selain itu dirinya juga tidak ingin menyalahkan Tiffany karena hal itu. "Kamu tidak tahu karena kamu tidak pernah ingin melihatnya, kamu hanya berputar di tempat-tempat itu saja dan menikmatinya dengan cara yang sama." Kata Kriss yang langsung saja membuat Tiffany terdiam dan memikirkannya. Jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan oleh Kriss memanglah benar. Dirinya memang tidak pernah berniat untuk melihat ke arah lain kecuali sekelilingnya. Selain itu, dirinya juga sangat jarang sekali datang ke tempat-tempat yang jauh, yang sering ia datangi adalah tempat-tempat yang luas dan juga ramai. Seperti mall dan juga butik yang terkenal. Semua dugaan yang diberikan Kriss memanglah benar, dirinya hanya menemui orang yang itu-itu saja. Dirinya tak pernah melihat ke arah orang-orang yang ada di kota-kota kecil yang mungkin saja banyak orang yang membutuhkan, tidak seperti pengemis yang ia temui di sekitar mall-mall besar. Pakaian mereka juga masih layak pakai, tidak seperti pakaian milik Kriss yang dulu dipakai saat laki-laki itu baru datang ke sini. Benar-benar kumal dan memprihatinkan. Tiffany menatap ke arah Kriss yang tengah memakan makanan sisa miliknya, jika dipikir-pikir lagi laki-laki itu benar-benar tidak jijik makan dari makanan sisanya. Padahal laki-laki tidak tahu masalah kesehatannya, bagaimana jika dirinya memiliki penyakit menular? Apakah laki-laki itu tidak memikirkan hal yang sangat penting itu. "Bagi kami, orang-orang yang tidak mampu, bisa makan sesuap dan minum setetes pun sudah sangat bersyukur, karena kami tidak bisa membelinya." Kata Kriss tiba-tiba, membuat Tiffany sadar dan tahu kenapa laki-laki itu tidak memikirkan macam-macam tentang nasi sisanya. Tiffany menatap ke arah dirinya sendiri, dirinya benar-benar beruntung hidup dengan layak di keluarga berada, tapi lihatlah dirinya yang masih tidak bersyukur dengan hal itu. Dirinya masih terus mengeluh perihal keluarganya yang tidak harmoni seperti keluarga teman-temannya yang lain, padahal jelas dirinya tidak tahu bagaimana keadaan keluarga itu sebenarnya. Dirinya selalu melihat ke atas tanpa sedikitpun berpikiran untuk melihat ke bawah dan menatap ke arah orang-orang yang tidak seberuntung dirinya, salah satunya adalah laki-laki yang ada di depannya. Laki-laki yang dulunya memiliki masalalu yang sangat menyedihkan dan tidak bisa ia bayangkan bagaimana semua itu bisa terjadi, lebih-lebih laki-laki itu bisa bebas dari keadaannya dulu. Tbc
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD