CHAPTER 8

1520 Words
Raya menghidangkan kotak-kotak bekal yang ia bawa di atas meja yang tepat berada di depan televisi. Ruangan kerja Aksa sangat luas, terdapat sofa beserta meja kecil yang berhadapan langsung dengan televisi. “Kamu belum makan, kan?” tanya Aksa melirik istrinya yang hanya diam. Raya tersentak pelan, dan baru menyadari jika ia sendiri belum makan. Gadis itu meringis pelan kemudian menggeleng. “Belum, Mas. Lupa.” Aksa menatap kotak bekal makanan untuknya, cukup banyak porsi yang disiapkan oleh Raya. Jadi ia tidak mempermasalahkan jika makan berdua. “Ya udah, kita makan bareng.” “Nanti nggak cukup untuk Mas Aksa. Mas makan aja duluan, aku bisa nanti,” tolak Raya. “Nanti kapan? Sayang lambung kamu, sekarang makan berdua. Nggak usah protes segala,” celetuk Aksa tegas. “Iya, iya.” Raya menatap tas bekal yang kosong, ia lupa jika hanya memasukkan sendok dan garpu satu yang artinya peralatan makan itu cuma untuk Aksa. “Mas makan duluan, baru aku,” lanjut Raya. Aksa menatap istrinya sembari memikirkan cara lain. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, Aksa mengucap syukur di dalam hati ketika melihat nama Taehoon muncul di layar ponselnya. Lelaki itu bangkit dari sofa dan mengangkat panggilan dari Taehoon. “Kamu aja yang makan duluan, ini telepon dari Taehoon penting.” Raya mengerucutkan bibirnya. “Aku tungguin, nanti pokoknya aku makan terakhir.” Aksa mendengus, dasar keras kepala! Aksa tidak menatap Raya lagi, ia pura-pura fokus pada suara Taehoon dari seberang. “Ya? Ada file yang harus di periksa sekarang? Sudah di kirim dari email?” Berbagai pertanyaan terlontar di mulut Aksa dan membuatnya terlihat sangat sibuk di mata Raya. “Sebentar saya periksa dulu,” lanjut Aksa. Sedangkan di seberang telepon sana, Taehoon merasa aneh dengan bosnya. “Tuan, apakah anda baik-baik saja? Saya bertanya pada anda, apakah anda sudah makan siang? Kebetulan saya akan membeli makan siang, menu apa yang anda inginkan?” “Baiklah, aku akan menyelesaikannya dengan segera. Nanti aku akan memanggilmu jika laporannya sudah aku periksa,” balas Aksa tidak nyambung. Tanpa mempedulikan balasan dari Taehoon lagi, Aksa memutus sambungan telepon. Pria itu mendekati Raya. “Ray, kamu makan duluan. Sisain aja nggak apa, ada hal yang harus aku kerjakan sekarang.” “Buru-buru banget, Mas?” Aksa mengangguk, “Iya.” Aksa berjalan menuju kursinya dan menghidupkan komputernya. Pria itu berharap aktingnya tidak buruk. Beberapa menit kemudian, kedua sudut bibir Aksa terangkat ke atas melihat Raya yang makan duluan. Usahanya tidak sia-sia. Padahal tidak ada dokumen yang harus ia periksa sekarang. Tapi demi melihat Raya mengisi perutnya terlebih dahulu, Aksa rela mengundur waktu makannya. “Aku udah kenyang, giliran Mas Aksa lagi,” celetuk Raya. Raya mengambil satu chicken cordon bleu yang masih utuh dan juga membawanya ke meja kerja Aksa. Raya menatap tangan suaminya yang sibuk mengetik hal yang tidak ia pahami. “Atau mau disuapi aja?” tawar Raya polos. Aksa tersedak oleh salivanya sendiri, ia menatap Raya dan tersenyum kaku. “Kalau kamu nggak keberatan aku sih nggak masalah.” Raya mengangguk. Gadis itu langsung mengambil satu suap nasi dan menyuapkannya ke mulut Aksa. “Gimana, Mas? Enak?” Aksa mengangguk dua kali. “Enak. Lain kali buatin lagi ya, aku suka.” “Tentu!” sahut Raya gembira. Gadis itu begitu senang karena masakannya begitu pas di lidah Aksa. Aksa menatap istrinya yang berdiri sambil menyuapinya. Tanpa mengatakan sepatah katapun, tangan kanannya meraih pinggang Raya dan mendudukkan gadis itu dipangkuannya. “Mas!” pekik Raya terkejut. “Capek kalau berdiri. Suapinya sambil duduk aja,” ucap Aksa santai. Pipi Raya bersemu merah. “T-tapi malu, aku berdiri aja.” Aksa menahan pinggang istrinya dan tidak memperbolehkan Raya bangkit. “Cuma ada kita berdua kok. Suapi lagi biar cepat!” titahnya tidak mau dibantah. Raya mengatupkan bibirnya dan mematuhi perintah Aksa. Selagi menyuapi suaminya, sesekali mata Raya menatap komputer Aksa. Cklek! “Eh?” Raya tersentak kaget dan buru-buru melompat dari pangkuan Aksa. Taehoon masuk ke dalam ruangan tanpa mengetuk pintu. “Maaf, Bos. Saya membawakan makanan untuk anda, tapi sepertinya anda sedang makan. Kalau begitu, saya permisi. Maafkan ketidaksopanan saya Nyonya,” ucap Taehoon cepat. Aksa menatap sekretarisnya dengan tajam. “Tutup kembali pintunya.” “Baik, Tuan.” Taehoon berjalan keluar dari ruangan Aksa dan menutup pintunya dengan rapat. “Masih lapar, Ray. Suapi lagi,” pinta Aksa. “Makan sendiri ya, Mas. Aku malu digep Taehoon,” ungkap Raya sembari menutup wajahnya. Aksa terkekeh. “Malu kenapa sih? Sama suami sendiri kok, nggak usah pikirin Taehoon. Sekarang kamu suapi saja suamimu,” balas lelaki itu enteng. Raya tetap menggeleng. Bermesraan seperti ini masih terlalu baru untuknya, ia merasa kurang nyaman terlalu dekat dengan Aksa karena selama ini ia tidak pernah sedekat ini dengan suaminya. Rasa canggung tentu saja mendominasi dirinya. Aksa menyerah, ia tidak akan memaksa Raya lagi. “Aku akan makan sendiri, kamu bisa duduk di sofa.” Dengan cepat, Raya kembali ke sofa sambil membereskan beberapa barang yang sudah tidak diperlukan lagi. “Habis ini kamu ada rencana apa, Ray?” Raya menoleh sekilas lalu kembali fokus pada kotak-kotak yang kosong dan dimasukkan ke dalam tas. “Pulang, Mas.” “Tungguin di sini mau? Pulang dari kantor aku mau mengajakmu ke suatu tempat,” tutur Aksa berharap. Raya terdiam, tampak berpikir. “Tapi, Pak Jani menunggu di luar, Mas.” “Kamu bisa menyuruhnya pulang.” “Aku nggak bawa ponsel, kalau ke bawah pun capek karena bakal bolak-balik,” ungkap Raya dengan helaan napas berat. “Itu mudah. Jadi kamu mau tetap di sini bersamaku hingga jam kerja usai?” Raya mengangguk ringan. “Iya, mau.” Aksa meraih ponselnya dan menghubungi Pak Jani. Pria itu menyuruh sang supir untuk pulang lebih dulu dan tidak perlu menunggu istrinya. “Kamu bisa menunggu sambil baca buku di sudut situ. Ada banyak buku di sana,” ujar Aksa sambil menunjuk sudut ruangannya yang berfungsi sebagai pojok baca. Raya menatap Aksa dengan ragu, tidak yakin ia boleh menyentuh buku-buku itu dengan bebas. “Boleh, Mas?” “Tentu saja boleh, kamu istriku. Lakukan apapun yang kamu mau, kalau haus kamu bisa membuat minum di sebelah ruangan ini,” pungkas Aksa. “Oh okay. Mas Aksa habiskan dulu makannya.” “Iya, sayang.” Lagi-lagi, pipi Raya bersemu karena Aksa melakukan hal yang tidak seperti biasanya. Beberapa menit kemudian Aksa telah selesai mengisi perut. Raya membereskan kotak-kotak yang dipakai Aksa dan menyimpannya di paperbag. Seperti izin yang telah diberikan suaminya, Raya memilih-milih buku yang akan ia baca. Untung saja di sini ada novel baru yang masih tersegel. Dari sampul novelnya, sudah membuat Raya tertarik. “Mas kenapa nggak pernah buka novel ini? Buku ini masih bersegel,” tanya Raya menunjukkan buku ditangannya. “Oh, itu sengaja dibeli Taehoon untuk memenuhi rak bukunya. Aku tidak terlalu suka membaca novel, makanya buku itu masih tersegel,” sahut Aksa santai. “Kamu suka baca novel?” tanya lelaki itu. Raya langsung mengangguk. “Suka banget.” “Ya udah, kamu bisa membuka segel buku itu dan membacanya.” “Okay!” Raya membawa buku itu ke sofa. Setelah membuka segel plastik novel, dunia Raya benar-benar teralihkan. Bahkan ia tidak mempedulikan Aksa lagi dan fokus pada bacaannya. Hingga waktu terus berjalan, tidak sadar jika jam sudah menunjukkan pukul dua siang lewat. Mata Raya sedikit berat karena ia merasa sedikit lelah juga dari pagi pergi ke pasar membeli bahan makanan dan juga memasak seorang diri. “Kamu ngantuk?” tanya Aksa tiba-tiba. Pria itu sangat peka dan juga sering sekali mencuri-curi pandang ke arah istrinya selagi bekerja. “Hah?” kedua mata Raya terbuka lebar lantaran terkejut. Aksa tersenyum tipis. “Kalau ngantuk kamu bisa tidur dulu,” saran Aksa. Raya menggeleng. “Nggak, Mas. Malu tidur di sini, nanti kalau ada pegawai yang masuk gimana?” “Siapa bilang kamu tidur di sofa?” Aksa bangkit dari kursinya dan menghampiri Raya. Pria itu memegang pergelangan tangan sang istri dan membawa Raya ke sebuah ruangan tersembunyi. Mata Raya terbelalak kaget ketika dinding di samping meja kerja Aksa terbuka setelah di dorong sedikit. Padahal jika dilihat, itu seperti dinding biasa karena warnanya senada. Tapi ternyata itu adalah sebuah pintu. Aksa mengajak Raya masuk ke dalam kamarnya. Tangan lelaki itu tak lepas dari tangan Raya. “Jika aku lelah dan lembur, biasanya aku akan tidur di sini. Kamu juga bisa tidur di sini Ray.” “Wah, keren ya.” Tanpa sadar, Raya memuji dan berdecak kagum. Interior kamar ini sangat sederhana namun tampak elegan. Kasur ukuran king size juga terletak di tengah-tengah kamar. Ada lemari berukuran sedang juga yang Raya tebak berisi baju-baju Aksa. Aksa melepaskan tangannya dan mendudukkan Raya di pinggiran ranjang. “Ya udah, kamu tidur dulu. Nanti kalau kerjaan udah pada siap, aku akan membangunkanmu.” Raya mengangguk kecil. “Oke, Mas. Makasih.” Aksa mengangguk dan mengayunkan kakinya keluar dari kamar. Raya langsung menjatuhkan dirinya di kasur. Hidungnya mengendus pelan bau yang ada di sarung bantal, bau khas suaminya tercium. Raya tersenyum kecil dan mulai menutup kedua matanya. Bau Aksa benar-benar membuatnya tenang dan nyaman. Ia sangat suka itu dan tidak butuh waktu yang lama, perlahan Raya mulai memasuki dunia mimpi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD