Bab 4

1174 Words
Hal ketiga yang harus aku lakukan adalah menjelaskan kondisi pernikahanku ke follower dan juga netijen kepo yang sudah semakin gila memberi komen dan mengirim DM ke semua akun sosial mediaku, aku harus bertindak sebelum gosip tentang batalnya pernikahan seorang Ellia semakin tidak terbendung. "Gue harus bilang apa?" Tanyaku ke Angga saat dia menyuruhku untuk live lagi dan melakukan klarifikasi tentang batalnya pernikahanku. Angga meletakkan jarinya di dagu, matanya berputar ke kiri dan ke kanan untuk mencari cara yang tepat menjelaskan ke kalayak ramai. "Lo bilang kalau ternyata Ilham dan lo nggak cocok dalam segala hal, daripada berlanjut tapi tidak bahagia mending dibatalkan," balas Angga. Aku mencoba mencerna kata-kata Angga, terlalu normatif dan bisa-bisa mereka malah menyalahkanku yang dianggap tidak mau berusaha untuk mempertahankan pernikahan. "Klise banget alasannya," tolakku. Angga membuang napasnya. "Terus apa nona Ellia!" Angga mulai kesal dengan penolakanku. Aku tertawa lebar. "Sebentar, gue coba pikirkan." Saat aku hendak mencoba mencari alasan yang tepat tiba-tiba ponselku berdering, tidak ada nama penelepon. "Lo nggak ngajuin pinjaman online kan?" Tuduhku. Angga melemparkan bantalnya ke arahku lalu merebut ponsel dari tanganku. "Senno ini mah," ujarnya. Senno? Buat apa manusia dingin itu meneleponku. "Halo." "Saya di lobby apartemen kamu, tolong turun." Lalu dimatikan. Dimatikan! Bahkan aku tidak mendengar dia menjawab sapaanku. "Senno?" Tanya Angga. "Ya siapa lagi, ih sepupu lo beneran rese ya!" Ujarku dengan kesal. Angga tertawa. "Tapi cakep kan? Dia di bawah?" Tebak Angga dengan benar. "Lo yang kasih alamat apartemen gue?" tanyaku. Angga mengangguk dengan cepat. "Ngapain sih dia datang? Nggak bisa ketemunya pas akad nikah saja?" Tanyaku dengan nada kesal. Angga mengangkat bahunya lalu berjalan menuju ruang bajuku, tidak lama Angga membawa sebuah gaun sederhana berwarna pink muda dan sepatu berwarna senada. "Senno itu suka wanita glamour dan anggun, please jangan urakan." Ujar Angga menyerahkan gaun dan sepatu tadi. Aku mendengus kesal. "Untung ya dia itu yang mengendors gue, kalo nggak mah masa bodo!" Gerutuku. Angga menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menurutku. "Ya namanya juga istri endors sis, mana bisa lo menolak keinginan yang mengendors lo," balas Angga. Aku mengambil sendal rumah yang terpasang di kaki dan melempar ke arah Angga. "Gara-gara lo!" Makiku kesal. **** Setelah merias diri aku pun turun ke lobby untuk menemui Senno, aku mencoba mencari keberadaannya tapi nihil. Jangan-jangan karena kelamaan akhirnya dia pergi. Ting Ponselku berbunyi. Ada lambang w******p muncul di layar ponselku. Iceman : "Saya tunggu di parkiran." Heh. Aku langsung membalas whatsappnya. Ellia : "Gue ..." Aku langsung menghapus kata yang aku ketik barusan. Ellia : "Saya harus samperin kamu? Parkiran cukup jauh dan saya menggunakan heels." Dibaca tapi tidak ada balasan. Astaga! Dia pikir whatsappku koran! Aku menyimpan ponselku dan menunggu di lobby, masa bodoh ah. Parkiran jauh dan manusia dingin itu yang harus menghampiriku. Satu menit. Lima menit. Sepulub menit. Tidak ada tanda-tanda kemunculannya. Sial! Aku akhirnya memutuskan jalan ke area parkir dengan mulut tidak berhenti menggerutu, sial banget dapat endors rese kayak Senno. Aku benar-benar dibuat tidak berkutik dan harus mengikuti semua kemauannya. Setibanya di parkiran aku kembali mengirim w******p ke Senno. Ellia : "Di mana? Saya sudah di parkiran." Dibaca lagi tapi tidak dibalas. Tidak lama aku mendengar suara klakson dan tanda lampu sein dari ujung parkiran. Astaga! Bisa nggak sih dia nyamperin aku ke sini? Ah aku lupa kalau aku di sini hanya pemberi jasa endors dan Senno adalah orang yang mengeluarkan uang untuk mengendorsku. Jadi, mau tidak mau aku yang harus menyamperinya bukan dia. Dengan langkah semakin berat karena jarak lobby ke parkiran cukup jauh ditambah Senno memarkirkan mobilnya di ujung, kakiku rasanya kebas dan tegang. Sekitar 10 meter berjalan tiba-tiba mobil Senno tadi bergerak maju dan memutar arah, bukan ke tempatku tapi ke arah pintu luar. Sial! Jangan bilang dia pergi setelah menyiksaku dengan berjalan sejauh ini. Whatsappku kembali berbunyi. Iceman : "Saya harus pergi, kamu tunggu saja di sana. 10 menit lagi saya akan jemput." "SENNO! IH BENER-BENER MANUSIA ES!" makiku dengan keras. **** Lagi-lagi Angga menjadi tempat aku melampiaskan kekesalan karena sikap Senno tadi, 10 menit? Setelah satu jam aku menunggu dan tanda-tanda dia akan datang menjemputku tidak kunjung muncul barulah aku menghardik Angga. Gilanya, ternyata Senno pergi meninggalkan aku karena kakak ipar tersayangnya menghubungi dia. Ya tentu saja dia lebih memilih mengejar kakak iparnya dibandingkan aku, calon istri endors. "Rese ya sepupu lo," gerutuku. "Sabar," bujuk Angga. "Pokoknya kalau nanti-nanti dia datang lagi untuk ajak gue pergi, gue nggak akan mau ikut!" Ting tong ting tong Perbincanganku dengan Angga berhenti, aku melihat ke arah pintu. "Lo pesan makan?" Tanya Angga. Aku menggeleng pelan. "Tagihan sudah lo bayar semua kan? Gue nggak mau ya didatangi dept collector," tanyaku. Angga mengangguk dengan cepat. "Sudah dibayar semua kok, jangan-jangan papi lo atau Senno?" Aku menggelengkan kepala. "Nggak mungkin, gue yakin Senno lagi menikmati kebersamaannya dengan kakak ipar tercinta. Lo bilang suaminya lagi dinas keluar kota kan?" Tanyaku. Angga memelototkan matanya. "Mbak Adara nggak seperti yang lo pikirkan, dia sangat mencintai mas Setto dan keluarga kecilnya. Senno nggak mungkin mengulangi kesalahan yang sama." Aku mendengus dan berjalan menuju pintu lalu membukanya tanpa melihat ke arah luar, mataku tertuju kepada Angga. "Susah kalau berhubungan dengan laki-laki bodoh dan gagal move on seperti Senno," balasku. "Ehemmmm," Angga memberi kode sambil menunjuk ke arah luar. "Benarkan? Kayak nggak ada wanita lain saja," lanjutku lagi. "Ellia," sebuah suara memanggil namaku langsung membuatku tersentak kaget. Aku melihat Senno berdiri di depan pintu sambil menatapku tajam. Astaga! "Gue nggak ikutan!" Angga menyambar jaket dan tas miliknya lalu berlari melewatiku dan Senno. "Angga!" Teriakku. Sialan, si Angga cari aman dengan meninggalkan aku berdua Senno. "Ada apa? Sudah selesai urusannya?" Sindirku sambil menyilangkan kedua tangan di d**a. "Temani saya makan," balasnya singkat. Tanpa seizinku dia masuk begitu saja ke dalam apartemenku. "Salah tempat, di sini bukan restoran atau tempat makan. Di sini apartemen wanita yang kamu tinggalkan begitu saja di parkiran," sindirku dengan tajam. Senno melewatiku lalu duduk di sofa dengan santai. "Ganti bajumu," dengan seenaknya dia memerintahku. "Ganti lagi? Baru sejam yang lalu kamu meninggalkan saya di parkiran dan sekarang datang ke apartemen tanpa izin dan menyuruh saya mengganti pakaian saya," gerutuku dengan kesal. Senno menatapku. "Kamu ... sudah saya bayar untuk menjadi calon istri dan nantinya akan menjadi istri saya. Jadi ..." Sebelum dia selesai melanjutkan ucapannya aku langsung mengangkat tangan agar dia berhenti bicara. Aku balik menatapnya. "Saya memang sudah diendors untuk menjadi calon istri kamu, tapi saya manusia dan mempunyai hati serta perasaan. Jadi lo jangan seenaknya memperlakukan gue mentang-mentang lo sudah bayar jasa gue!" Makiku dengan kesal. Senno berdiri dari posisinya dan mendekatiku. "Saya tidak akan pernah jatuh cinta lagi," balasnya. So what! Nggak ada urusan denganku! "Bukan urusan gue! Gue hanya minta bersikaplah profesional, gue akan tetap menjadi istri endors lo dan lo harus membayar dengan menjadi suami konten gue!" Makiku lebih keras. Senno menatapku dalam. Aku bernapas beberapa kali dengan leboh cepat. "Sudah?" Tanyanya. Reflek aku mengangguk. "Temani saya menemui Adara dan bang Setto dan nanti tolong bersikap seakan kita saling mencintai, kalau perlu kamu cium saya di depan mereka," ujarnya dengan tatapan lebih hangat. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD