Angga menyerahkan amplop berisi data pribadi sepupunya itu, aku membuka amplop itu dan mengeluarkan isinya. Ada beberapa foto serta kertas berisi data pribadinya. Aku menatap foto yang memperlihatkan bentuk dan rupa laki-laki yang rela mengeluarkan uang sangat banyak untuk mengendors seorang istri.
Namanya Senno Gumilar Elang.
"Senno," panggilku.
"Iya, sepupu gue itu namanya Senno. Umurnya 30 tahun dan dia punya sebuah perusahaan penerbit buku. Dia juga jago nulis dan ada beberapa karyanya jadi best seller," ujar Angga bak marketing yang sedang menawarkan barang dagangannya.
Aku melihat lagi foto Senno dan juga Angga.
"Kok kalian beda ya? Yakin sepupuan? Senno cakep sedangkan lo bikin mata sepet." Godaku.
Aku akui Senno memang memiliki sebuah karisma yang membuat sebagian wanita suka tapi sayangnya hati dan cintanya sudah berlabuh ke wanita lain. Gilanya lagi wanita itu adalah kakak iparnya sendiri, lucu dan juga tragis. Bisa-bisanya mereka memperebutkan wanita yang sama, seakan tidak ada wanita lain di dunia ini.
Angga menjentik keningku dan langsung membuyarkan lamunanku.
"Sakit!" Rutukku.
"Senno memang cakep tapi gue lebih cakep ya," balas Angga membela diri.
Aku mendengus dan mencibirnya dengan kesal.
"Sayang, cakep sih cakep tapi korban gagal move on," jawabku.
Angga mengangguk setuju.
"Ya sudah, gue sudah atur pertemuan kalian malam ini. Lo coba jalin komunikasi dan atur gimana maunya lo selama kalian menikah, Senno asyik kok diajak ngobrol dan gue yakin dia nggak bakal nyesel nikahi lo," lagi-lagi Angga menjual sepupunya seperti marketing menjual barang dagangannya.
Aku pun mengangguk pelan dan tidak sabar bertatap muka dengan laki-laki gagal move on seperti Senno itu.
****
Aku berdiri di pintu masuk sebuah restoran ternama, aku mengedarkan mata mencari keberadaan Senno. Untungnya aku masih ingat bentuk dan rupanya dari foto yang diberi Angga tadi. Ciri khas Senno terletak di tatapan sendu matanya.
Mataku berhenti tepat di meja yang ada di ujung restoran, seorang laki-laki sedang duduk sambil memegang ponselnya.
Aku membuang napas sebelum berjalan mendekatinya.
"Santai, Ell. Ini hanya kesepakatan endorsan, tidak lebih!" Ujarku mengingatkan diri sendiri.
Setelah agak tenang barulah aku mendekati meja itu. Aku berdiri di depannya tapi dia acuh dan masih sibuk dengan ponselnya.
"Ehemmm," dehamku agar dia memalingkan wajahnya ke arahku.
Sayangnya dia masih bersikap acuh.
Aku mendengus pelan lalu mengetukkan tanganku di meja, awalnya pelan tapi tetap tidak ada reaksi apa-apa dan aku mengetuk lebih keras barulah dia mengangkat wajahnya dan melihatku.
"Senno?" Tanyaku.
"Silakan duduk," ujarnya dengan dingin dan tanpa ekspresi.
Datar gitu mukanya seakan tidak ada reaksi apa-apa saat melihatku untuk pertama kalinya.
Aku pun duduk di depannya, aku bingung mau memulai perbincangan darimana dan aku juga nggak mungkin langsung membahas tentang kesepakatan mengendors jasaku sebagai istrinya.
Hening.
Hanya ada suara musik dari speaker yang memecahkan keheningan di antara kami.
Sepuluh menit berlalu dan masih tidak ada yang memulai percakapan. Aku mulai tidak nyaman dan meminum habis air putih yang ada di atas meja.
"Jadi ..." Aku berniat memulai tapi belum selesai aku bicara, Senno menatapku tajam dan lidahku langsung kelu untuk melanjutkan pembicaraan yang ingin aku mulai.
"Nama saya Senno," ujarnya untuk pertama kali.
"Gue tau, Angga sudah memberitahu semua tentang diri lo," balasku dengan santai sambil mengunyah kentang goreng yang baru datang.
Matanya masih menatapku dan aku mulai tidak nyaman ditatap seperti itu.
"Bisa bersikap lebih anggun?" Ujarnya dengan dingin.
Aku langsung berhenti mengunyah.
"Seperti ipar lo?" Sindirku.
Senno langsung berhenti menatapku dan meminum air putih yang ada.
"Angga pasti sudah menceritakan semuanya dan saya harap kamu melakukan apa yang saya inginkan," lanjutnya, setelah itu dia berdiri dan berniat pergi begitu saja.
Aku tertawa sinis.
"Gitu doang?" Tanyaku sinis sambil menatapnya.
"Angga akan mengatur semuanya," balasnya singkat.
Aku berdiri dari posisi dudukku dan menatapnya tajam.
"Lo bahkan nggak bertanya nama gue siapa," sindirku.
Ya, dia hanya menyebutkan namanya tanpa sedikitpun ingin tahu namaku siapa, apa saja yang harus dilakukan dan kesepakatan kedepannya selama satu tahun menjadi istrinya.
"Ellia," balasnya dan dia pergi setelah mengucapkan namaku.
Aku kehabisan kata-kata dan membuat gerakan ingin memukulnya saking kesal melihat sikap dinginnya.
"Angga sialan!" Aku memaki Angga yang tega menjerumuskanku ke dalam kontrak endors tergila ini.
Sialnya, aku sudah menandatangani kontrak itu tadi dan mau tidak mau aku harus menerima laki-laki dingin itu menjadi suamiku selama setahun.
****
Aku melemparkan bantal ke arah Angga yang baru datang setelah aku memakinya lewat telepon sepulangnya dari restoran.
"Sabar," ujar Angga menenangkanku.
"Sabar apanya! Lo mau gue nikah sama tembok kayak dia? Ya ampun, gue nggak bisa bayangkan selama satu tahun gue bakalan tinggal satu atap dengan manusia kayak dia," makiku lagi.
Angga duduk di sampingku dan aku langsung membuang wajah ke arah lain.
"Senno itu orangnya hangat kok, mungkin karena kalian belum dekat saja."
Hangat apanya!
"Bahkan dia tanpa basa basi langsung ninggalin gue gitu saja di restoran," balasku lagi.
Angga menggaruk kepalanya.
"Gagal move on ternyata bisa membuat manusia kehilangan empati, lo sabar saja. Gue yakin lambat laun Senno bakalan mencair kok," bujuk Angga.
Ya kalau bisa mencair, apa jadinya kalau ternyata manusia es seperti Senno malah semakin dingin dan mengeras.
Bisa stress aku menghadapinya.
****
Hal kedua yang harus aku lakukan setelah sepakat menikah dengan Senno adalah memberitahu papi tentang rencanaku menikah, LAGI. Meski aku yakin papi akan bingung kenapa bisa dalam waktu singkat aku bisa menemukan pengganti Ilham.
"Hah, nikah lagi?"
Reaksi yang sudah aku duga keluar dari mulut papi.
"Iya," balasku singkat.
"Gimana ceritanya kamu bisa memikirkan untuk nikah lagi? Baru beberapa hari yang lalu keluarga kita dipermalukan dan sekarang kamu bilang mau nikah lagi, jangan aneh-aneh Ell!" Kata papi dengan suara seraknya.
Aku menghela napas.
"Karena mau menjaga nama baik keluarga kita aku memutuskan untuk menikah lagi, namaku sudah tercoreng pi dan untungnya ada laki-laki yang mau menggantikan posisi Ilham. Aku nggak rugi, papi pun aku rasa nggak akan rugi karena nama keluarga akan tetap terjaga," balasku.
Papi diam.
Sepertinya papi sedang memikirkan semua ucapanku barusan.
"Kamu nggak hamil kan?" Tuduh papi.
"Ya nggak lah pi!" Tolakku dengan yakin.
Papi membuang napas seperti bersyukur kalau aku menikah bukan karena hamil.
"Syukurlah, nama keluarga kita sudah hancur karena batalnya pernikahan kamu jangan sampai semakin hancur karena kamu hamil di luar nikah," balas papi.
Aku memang tidak hamil tapi papi nggak boleh tahu kalau aku menikah demi menjaga reputasiku sebagai selebgram dan juga agar rekeningku penuh dengan pundi-pundi uang.
"Siapa calon suami kamu?" Tanya papi akhirnya.
"Senno ... Senno Gumilar Elang," balasku.
****
Hai gaesss, ditunggu vote dan commentnya ya
Terima kasih