Bab 1

1132 Words
Dengan langkah tegap Tian berjalan memasuki kantornya. Disampingnya selalu ada Rendi, sekretaris sekaligus asisten pribadinya. Kini Tian pun telah duduk di kursi kebesarannya sambil mendengar Rendi membacakan jadwal kerjanya hari ini. "Hari ini pukul 10.00 WIB, Anda ada rapat bulanan dengan para pemegang saham. Setelah itu pukul 12.00 WIB, Anda ada acara makan siang dengan Pak Hadi beserta putrinya." "Stop! Acara makan siang dengan Pak Hadi dan juga putrinya. Memangnya dalam rangka apa Ren? tanya Tian memotong kalimat Rendi. "Begini Pak Gustian, kemarin Pak Hadi salah satu pemegang saham terbesar di perusahaan kita meminta saya untuk mengatur jadwal makan siang Bapak bersama beliau dan juga putrinya. Beliau bilang, ingin memperkenalkan Pak Gustian secara langsung kepada putrinya yang baru saja menyelesaikan studinya di luar negeri." "Memang penting Ren, saya harus bertemu dengan putrinya Pak Hadi. Seharusnya kamu diskusikan masalah ini dulu dengan saya, jangan asal terima saja." "Maaf Pak Gustian, Pak Hadi adalah pemegang saham terbesar di perusahaan kita, saya tidak enak untuk menolaknya." "Hmm, kamu ini Ren, bikin saya pusing saja. Ya sudah, tapi sebentar saja. Saya tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan meraka." "Baik Bos, nanti akan saya sampaikan kepada Pak Hadi." Jam makan siang pun tiba. Tian pun berusaha menampilkan senyumnya di depan Pak Hadi dan juga putrinya. Sebenarnya Tian sudah tidak betah untuk segera pergi. Apalagi melihat sikap putri Pak Hadi yang begitu over mencari-cari perhatiannya, membuat Tian semakin tidak suka. "Ren, pertemuan saya selanjutnya jam berapa ya?" tanya Tian kepada Rendi sekretarisnya. "Jam 14.00 WIB, Pak Gustian masih ada pertemuan rapat dengan klien kita yang dari Singapura Pak." Jawab Rendi berbohong, Ia tau bosnya itu sudah tidak betah berlama-lama dengan Pak Hadi dan juga putrinya. "Tenang aja Kak, masih ada satu jam lagi. Kak Gustian cobain dulu makanan penutupnya. Ini enak banget, Kak," tawar Mita putrinya Pak Hadi sambil menyodorkan sepotong puding coklat kepada Tian. "Maaf Mita saya sudah kenyang," tolak Tian secara halus. "Tapi tadi aku lihat, Kak Gusti makannya sedikit, mau ya Kak," bujuk Mita sekali lagi. "Memangnya siapa yang kamu panggil Gusti, Mita?" tanya Pak Hadi heran kepada putrinya. "Ya Kak Gustian lah Pa, nggak apa-apa ya Kak aku panggil Gusti? Soalnya aku suka nama itu." "Terserah kamu saja. Kalau begitu Pak Hadi saya mau pamit dulu. Saya takut terlambat, soalnya ada rapat lagi." "Oh ya sudah, nggak apa-apa Pak Tian. Terima kasih ya atas waktunya untuk makan siang bersama saya dan juga Mita putri saya." "Iya Pak, saya juga terima kasih atas makan siangnya." "Kak Gusti, ini makanan penutupnya nggak dihabiskan dulu," tawar Mita yang masih berusaha menahan Tian untuk tidak pergi. "Kamu saja yang makan Mit, saya harus pergi sekarang." "Sudah Mita, biarkan Pak Tian pergi. Lagian lain kali kita kan masih bisa makan bersama lagi," ucap Pak Hadi berusaha memberikan pengertian kepada putrinya itu. "Ya udah deh, Kak Gusti hati-hati dijalan ya." Tian pun mengangguk dan memilih untuk secepatnya pergi. Saat di mobil. "Ingat ya Ren, saya tidak mau lagi ada acara makan siang dengan mereka, kecuali urusan bisnis dengan Pak Hadi. Ucap Tian sambil melonggarkan dasinya. "Baik Bos, saya akan selalu ingat pesan Anda." Tak lama kemudian ponsel Tian pun berbunyi. Drrt! Drrt! Mengetahui ada panggilan telpon dari mamanya, Tian pun langsung mengangkatnya. "Assalamu'alaikum, Ma." "Wa'alaikumsalam, Nak. Kamu dimana sekarang?" "Tian lagi di mobil Ma, mau kembali ke kantor." "Sekarang kamu nggak usah ke kantor ya, Sayang. Sekarang juga kamu ke rumah Mama." "Memangnya ada apa, Ma?" "Nanti juga kamu akan tahu, sudah dulu ya nak. Assalamu'alaikum." Tut! Tut! Panggilan telpon pun terputus secara sepihak. "Ada urusan apa lagi ni nyonya besar?" tanyaTian sambil memandang ponselnya. "Kenapa Bos?" "Nggak apa-apa, sekarang juga belok ke rumah Mama saya Ren." "Baik, Bos," ucap Rendi melajukan mobil yang dikendarainya untuk menuju rumah orang tua Tian. Setibanya di rumah. "Assalamu'alaikum Ma, Pa," sapa Tian memberi salam kepada Mama dan Papanya yang lagi bersantai di ruang keluarga. "Wa'alaikumsalam, eh anak ganteng Mama sudah datang. Duduk sini dulu sayang," ucap Lina mamanya Tian. Tian pun duduk disamping mamanya. "Ada urusan apa si Ma, Tian disuruh datang ke rumah?" "Memangnya Mama nggak boleh ya, nyuruh anak Mama untuk pulang ke rumah?" "Bukanya begitu Ma, Tian lagi banyak kerjaan di kantor," jawab Tian yang hanya beralasan saja. "Lihat tu Pa anak kamu, sibuk banget sama kerjaannya," ucap Mama Lina kepada suaminya yang dari tadi hanya asyik membaca koran. "Biarkan saja, Ma. Bagus kalau dia punya tanggung jawab dengan pekerjaannya," ucap Bagas papanya Tian dengan santainya. "Hmm, Bapak sama anak sama saja." Mama Lina pun mulai kesal melihat tingkah anak dan suaminya itu. "Ni kamu baca," ucap Mama Lina sambil menyodorkan undangan pernikahan kepada putranya."  Ini undangan pernikahan kan, Ma?" "Iya kamu lihat dong, siapa mempelai prianya." Tian pun menuruti perintah mamanya. "Oh, undangan pernikahan Rino, memangnya kenapa Ma? Bagus kan Rino bakalan nikah." "Iya bagus, tapi kamu kapan Tian? Rino itu teman seangkatan kamu. Apa kamu nggak malu teman kamu sudah mau menikah sedangkan kamu masih juga jadi jomblo akut. Kalau begini, lebih baik Mama jodohkan saja kamu dengan salah satu anak teman Mama." "Nggak Ma, Tian nggak mau. Kalau nanti Tian sudah bertemu dengan wanita yang tepat, Tian pasti akan menikah. Mama tenang saja." "Tapi kapan Tian? Mama dan Papa mu ini sudah tua. Kamu jangan kebanyakan pilih-pilih deh." "Tian bukannya pilih-pilih Ma. Kebanyakan wanita yang mendekati Tian, itu kebanyakan melihat Tian karena harta dan status sosial saja. Mereka nggak tulus mencintai Tian." "Ya kamu usaha dong, Nak. Cari wanita yang seperti kamu mau. Bagaimana kamu mau dapat pasangan, kalau waktu kamu dihabiskan hanya untuk bekerja?' "Iya, Ma. Tian janji, Tian akan menemukan wanita yang bisa menerima Tian apa adanya. Tian juga akan segera menikah, Mama tidak usah khawatir," ucap Tian berusaha menenangkan mamanya. Setelah perdebatan singkat dengan mamanya, Tian pun pamit pulang. Kini Tian sudah berada didalam mobil bersama Rendi. "Pusing dech kalau begini urusannya," umpat Tian dengan kesal. "Kenapa lagi Bos? Apa ada masalah di perusahaan?" tanya Rendi penasaran. "Ini lebih para dari masalah perusahaan Ren." "Kalau saya boleh tahu, Pak Gustian ada masalah apa? Mungkin saya bisa bantu," ucap Rendi menawarkan diri. "Yakin kamu bisa bantu saya?" tanya Tian kepada asisten pribadinya. "Akan saya coba Pak." "Ya sudah, kalau begitu carikan saya wanita yang mau saya nikahi. Tapi dengan syarat, wanita itu harus bisa membuat saya jatuh cinta dengan dia dan dia nggak boleh tau kalau saya seorang bos yang tajir melintir." "Ya sudah, kalau Pak Gustian mau cari wanita seperti itu. Pak Gustian harus jadi orang kere dulu, dengan begitu Bapak bisa menemukan wanita yang Bapak cari." "Stop! Stop Ren!" Ssst! "Ada apa Pak?!" tanya Rendi yang tiba-tiba mengerem mobil, yang dikendarainya dengan mendadak karena perintah dari bosnya itu. "Good Ren, ide kamu cemerlang." "Ha, Pak Gustian setuju dengan ide saya?" tanya Rendi yang tidak menyangka. "Yes Ren," jawab Tian dengan penuh keyakinan. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD