Luna sedang menyiapkan makan malam untuk durinya dan Danis. Dia sudah memesan makanan khusus dari dapur untuk disiapkan.
Luna memang memegang kendali penuh di rumah ini saat ini. Dia yang mengatur semua rumah tangga. Ya ... setidaknya itu adalah tugas seorang istri, meskipun dia bukan seorang istri di mata Danis.
Tepat pukul 7 malam, Danis datang. Dia selalu datang tepat waktu. Karena Danis memang orang yang selalu menghargai waktu.
Danis menuju ke meja makan, dia melihat ada Luna di sana dan menata meja makan.
“Siapkan makan untuk 3 orang,” ucap Danis.
“Tiga orang? Kamu mau kedatangan tamu?”
“Iya, dua temanku bakal dateng. Siapin semua. Biasanya mereka juga belum makan.”
“Baiklah. Kamu mandi dulu. Semua baju sudah aku siapkan.”
“Makasih.”
Luna terdiam mendengar kata terakhir dari Danis. Kata yang baru pertama kali dia dengat setelah dia menjadi istri Danis selama hampir 2 minggu.
Kaya sederhana tapi besar artinya untuk Luna. Sebuah kata terima kasih yang bisa bearti bahwa apa yang di kerjakannya itu di hargai oleh Danis.
Tapi hal berbeda terjadi pada Danis. Pemuda itu seolah tidak ada yang special dengan apa yang di ucapkannya. Dia segera saja pergi dan masuk ke kamarnya di lantai dua. Dia tidak lagi melihat Luna yang sedang mematung melihat punggungnya.
“Nyonya ... apa ada menu tambahan yang akan kita siapkan?” tanya Lisa yang membuyarkan lamunan Luna.
“Hmm menu tambahan? Hmm kalau Danis ada tamu dia biasanya suka makan camilan ga?”
“Kalau ada Tuan Zain dan Tuan Yoga, biasanya harys ada kopi dan juga beberapa makanan pendamping yang gurih tapi ringan.”
“Zain dan Yoga? Siapa mereka?”
“Mereka adalah sahabat Tuan Danis. Mereka sering main ke sini saat mereka libur atau saat mereka membicarakan pekerjaan.”
“Berarti mereka kenal Maya?”
“Iya Nyonya.”
Luna membuang nafasnya kasar, “Ayo kita buat makanan ringan untuk mereka.”
Luna menyuruh pelayan untuk menambah porsi makanan yang sudah ada di atas meja. Menambah piring untuk tamu dan juga meminta chef untyk segera membuatkan makanan pendamping.
Luna terlihat sangat hebat saat memimpin semua orang di rumah ini. Dan para pekerja juga senang dengan arahan dan perintah Luna yang tidak terkesan menyuruh, tapi Luna selalu memakai kata “Tolong” saat dia meminta sesuatu pada mereka.
“Luna ... Luna!” teriak Danis dari lantai dua.
“Iya ... ada apa?”
“Kalo di panggil itu datang. Bukan malah jawab!”
“Iya aku datang.”
Luna meninggalkan ruang makan. Dia segera melangkah ke lantai dua, di mana Danis menunggunya. Dia segera mengetuk kamar Danis dan setelah dipersilahkan masuk, dia pun masuk ke dalam.
“Mau apa?”
“Kamu liat jam tanganku yang gelangnya hijau ga?”
“Jam tangan? Aku ga pernah perhatiin.”
“Kamu gimana sih! Kerjaan kamu di rumah ini mgapain aja. Katanya mau ngurus aku, tapi baru ditanya soal jam aja udah ga tau.”
“Aku jarang masuk ke kamar kamu. Kan kamu yang larang.”
“Ya meskipun gitu kan kamu bisa liat barang aku masih lengkap apa enggak. Sekarang kalo ada barangku yang ilang gimana?”
“Kamu udah cari lagi. Masa sih di rumah sinj ada yang maling. Itu ga mungkin kayanya, Dan.”
“Ya buktinya ini ga ada. Ilang!”
“CCTV gimana? Bisa di cek?”
“Hellowww ... ini di kamar Luna. Mana mungkin aku pasang CCTV di kamar. Emang kamu mau liat aku ga pake baju apa ya?”
“Eh, males banget! Coba aku tanya dulu sama pelayan yang ngurus di sini.”
“Tanyain dan temukan! Kalo sampe ilang, kamu yang bakal gw hukum!”
Luna melihat ke arah Danis dengan tatapan tajam. Dia kesal setiap kali Danis bialng akan menghukumnya kalau dia melakukan kesalahan.
Tanpa berpamitan, Luna segera berbalik badan dan meninggalkan Danis. Danis yang merasa dia tidak dihargai karena dia ditinggalkan begitu saja pun hanya bisa mengomel. Dia mengomel karen Luna pergi begitu saja.
“Cepat cari!” ucap Danis terakhir kali sebelum Luna menutup pintu kamarnya.
Luna pun berdiri di depan pintu kamar Danis. Dia meninju-ninju udara dan terkadang sesekali dia menendang angin yang mengarah ke arah pintu. Dia meluapkan kekesalannya pada Danis malam ini.
“Dasar arogan! Ga tau diri! Egois! Ga punya akhlak! Ga ada sopannya sama orang! Kamu nyebelin banget Danis! Nyebeliin!!”
Luna terus saja meninju angin ke arah pintu. Tinjunya itu di sertai dengan umpatan yang keluar sebagai kata mutiara dari Luna untuk Danis.
Ceklek
Tangan Luna terulur ke depan tepat di wajah Danis saat pemuda itu membuka kamarnya dengan tiba-tiba. Kepalan tangan yang hannya berjarak 10 centi dari wajah Danis itu membuat Danis kaget.
“Apa ini? Lu mau pukul gw!” tanya Danis sambil melotot.
Luna yang sadar dari posisi bekunya pun segera menurunkan tangannya, “Eh enggak. Aku tadi mau ketuk pintu kamar kamu. Iya bener, mau ketuk pintu kamar kamu.”
“Mau ketuk kamar tapi tangannya kaya orang mau mukul. Emang kamu pikir pintu ini kuat banget apa ya. Buruan cari jamnya!”
“Iya ini juga mau di cari.”
Luna segera melipir pergi dari hadapan Danis. Dia segera menuruni anak tangga untuk bertanya pada pelayan kamar Danis. Dia harus segera tahu di mana letak jam tangan yang di tanyakan oleh Danis.
Danis melihat sikap aneh Luna. Dia menggelengkan kepalanya, tidak mengerti mengapa papanya memilih gadis tidak jelas seperti ini.
“Dasar orang aneh. Ngapain juga coba dia kaya gitu. Makan apa dia dari kecil kok bisa aneh begitu.”
Luna segera menuju ke ruangan pelayan. Dia menyuruh Lisa untuk memanggil pelayan yang bertugas membersihkan kamar Danis hari ini. Selagi menunggu, Luna duduk di meja makan sambil mengecek makanan yang disiapkan.
“Maaf, Nyonya. Ini pelayan yang hari ini membersihkan kamar Tuan Muda.”
Luna melihat dua orang pelayan berdiri di depannya, “Kalian yang membersihkan kamar Danis hari ini?”
“Iya Nyonya. Kami membersihkan pagi dan sore ini.”
“Apa kalian membersihkan area walk in closet juga?”
“Iya, Nyonya. Kami membersihkan semuanya di ruangan itu.”
“Waktu kalian membersihkan tempat itu, apa ada jam tangan Danis yang tidak masuk di tempatnya?”
Dua pelayan itu saling bertatapan. Mereka seolah mencoba untuk mengingat apa yang ada di kamar majikan mereka. Setelah memastikan semuanya berdasarkan ingatan, mereka pun menggeleng.
“Kalian tidak melihat ada jam tangan Danis tergeletak di satu tempat?”
“Jam tangan Tuan Danis? Demi Tuhan saya ga ambil, Nyonya. Saya tidak berani menyentuhnya.”
“Saya juga tidak berani, Nyonya. Saya masih betah kerja di sini. Saya bersumpah saya tidak melihat apa pun tadi.”
Luna melihat netra mereka jujur dengan apa yang mereka katakan saat ini. Luna juga tidak mungkin menuduh begitu saja. Melihat mereka ketakutan seperti ini saja, dia sudah tidak tega.
“Maaf, Nyonya. Jam apa yang hilang dari ruangan pribadi Tuan Danis” tanya Lisa.
“Aku juga belum tahu jam apa yang dia maksudkan. Soalnya aku juga belum terlalu hafal dengan barang yang dimiliki Danis. Cuma tadi dia bilang, kalo jamnya mempunyai tali hijau. Mungkin yang biasa dia pakai di rumah itu.”
“Jam itu yang di cari Tuan Danis? Bukankah tiga hari lalu, Tuan menyuruh saya untuk memasukkan jam tangan itu ke toko untuk di ganti batrenya ya?”
Luna kaget dan menoleh ke arah Lisa, “Sialaan Danis! Dia bikin masalah lagi ama gw!”