Anak Manja

1698 Words
Kiandra merasa kaget. Ternyata latihan yang diberikan oleh pelatih panahannya juga ada latihan fisik. Seperti lari. Kiandra tidak suka. Kiandra curiga jangan-jangan, orang yang ada di hadapannya adalah pelatih abal-abal. Dia mengamati perempuan yang ditunjuk sebagai pelatihnya. Perempuan itu memakai celana training dan kaos olahraga. Dia memakai anting panjang berwarna putih. Selain itu dia tidak memakai perhiasan lainnya. Perempuan itu sedang melakukan pemanasan. Dia mulai menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri. Dilanjut dengan tangan ke atas dan badan melengkung ke samping kanan ke kiri. Kiandra menarik nafas panjang. Dia tidak suka olahraga fisik seperti ini. Sebab membuat seluruh badannya pegal-pegal. "Kenapa belum-belum?" Tanya perempuan itu pada Kiandra. Kiandra tersenyum malas. "Apakah aku harus olahraga juga, kenapa kita nggak langsung latihan memanah saja?" Usul Kiandra. Perempuan itu menghentikan pemanasan. Dia menatap Kiandra si anak manja itu lekat-lekat. "Ya, kalau kau mau badanmu kuat melakukan pertarungan lama. Sebaiknya kau mulai melatih tubuh cekingmu untuk olahraga!" Kiandra syok. Badan seksinya disebut ceking. Pelatih kurang ajar! "Hei, jaga bicaramu! Atau kau kutendang keluar!" Ancam Kiandra. Perempuan itu tersenyum miring. Dia tidak takut dengan ancaman itu. "Kau bahkan tidak sanggup menangkapku. Bagaimana mungkin kau bisa menendangku!" Perempuan itu meremehkan Kiandra. Maka Kiandra memanggil pengawal di luar ruangan. Pengawal itu tergopoh-gopoh datang. "Ada apa Nona?" Tanya pengawal berbadan besar. "Usir perempuan itu!" Perintah Kiandra. Perempuan itu menahan tawanya. Dan membuat Kiandra semakin marah. "Cepat! Usir dia!" Kaindra berteriak lagi. Bukannya bergerak, pengawal itu sepertinya bingung. Dia menatap bergantian antara perempuan itu dan Kiandra. Mana yang harus dia turuti. "Hei! Kau tuli ya!" Bentak Kiandra melihat pengawal itu diam saja. Pengawal itu menunduk. "Tapi dia dia adalah pelatih yang ditunjuk Tuan Bayu, Nona!" "Persetan dengan Bayu. Aku mau Panji yang melatihku!" Kiandra berteriak. "Maaf Nona, tidak bisa," kata pengawal itu dengan berat hati. Kiandra berang. Dia tidak menyangka pengawal itu menolak perintahnya. Terlebih lagi perempuan itu menertawakan dirinya. Dia tidak suka diremehkan. Maka Kiandra pun melayangkan tamparan ke pengawalnya. Plak! Pengawal dan perempuan itu kaget. "Rasakan!" Gumam Kiandra. Kiandra berharap pengawal itu tahu tempatnya. Siapa yang berkuasa di rumah ini. Dan perempuan itu bisa dia tampar juga. Namun harapan Kiandra lenyap. Begitu dia menengok ke arah perempuan itu. Dia semakin kesal. Perempuan itu bukannya takut, malah tersenyum geli. "Kenapa kau tersenyum, hah? Aku juga bisa menamparmu!" Ancam Kiandra. Perempuan itu tidak bisa menahan tawanya lagi. Dia tertawa terbahak-bahak. Tangannya menunjuk ke pengawal, dan dia masih tertawa. Kiandra menganggap perempuan itu sudah gila. Sedangkan pengawal itu tetap diam seperti batu. "Kau pikir kau bisa menyakitinya? Hanya dengan tangan kecil dan lemah itu?" Kata perempuan itu setelah tawanya berhenti. "Tamparanmu hanya seperti bulu yang menempel di pipinya," ejek perempuan itu. Kiandra semakin kesal diolok seperti itu. "Aku akan menamparmu juga!" Kiandra maju menerjang perempuan itu. Tapi hanya dengan gerakan singkat, tangan Kiandra sudah dibekuk. Tangannya diikat ke belakang, dan badannya ditempel ke dinding. "Lihat? Mudah kan aku menahanmu?" Ejek perempuan itu. Kiandra merasa pipinya dingin dan sakit ditempel ditempel ke dinding. Tapi dia lebih kesal karena pengawal itu hanya diam di sana, tanpa membantunya. "Kenapa kau diam saja! Tangkap dia!" Teriak Kiandra. Pengawal itu tetap saja diam tak bergerak. Kiandra putus asa. "Panggil ayahku! Sekarang!" "Panggil saja, aku ingin lihat apa yang bisa dilakukan Airlangga pada anak manjanya ini!" Kata perempuan itu dengan nada mengejek. "Lihat saja! Kau akan dihukum!" Gumam Kiandra tak sabar. Pengawal itu pergi memanggil Airlangga. Terdengar derap langkah mendekati ruangan Kiandra tidak sabar melihat perempuan itu akan bertekuk lutut. Airlangga datang ke ruangan. Wajahnya pucat. Apalagi melihat anaknya diperlakukan seperti penjahat. "Lepaskan Kiandra!" Geram Airlangga. Perempuan itu melepaskan Kiandra. Begitu lepas, Kiandra berlari menuju ayahnya dan merengek. "Ayah, usir perempuan ini. Lihat tanganku merah!" Kiandra menunjukkan pergelangan tangannya. Airlangga melirik sekilas. Kiandra tersenyum senang. Menanti ayahnya memberi pelajaran pada perempuan tak tahu diri itu. Perempuan itu sama sekali tak takut, hal itu membuat Kiandra makin kesal. Siapa dia sebenarnya? Airlangga berjalan mendekati perempuan itu dan mengulurkan tangan. "Aku minta maaf atas tindakan putriku. Dia memang tidak biasa melakukan hal ini," kata Airlangga.  Perempuan itu menyambut tangan Airlangga dengan santai. Dia melirik Kiandra yang matanya nyaris copot sebab melihat ayahnya tidak memarahinya. Mereka berjabat tangan sebentar. Airlangga menoleh ke arah Kiandra. "Kian, kenalkan orang ini adalah pelatihmu. Namanya Diananda." Kiandra sulit mempercayainya.  Diananda tersenyum pada Kiandra, senyum yang menantang. "Maaf soal tadi, tapi kau harus mulai sadar posisimu di sini," kata Diananda. "Ayah, kenapa kau tak memarahinya? Dia bersikap..." "Kiandra Airlangga!" geram Airlangga. Kiandra menutup mulutnya. Wajahnya sangat syok. Ayahnya tidak pernah memanggil nama lengkapnya. Dan bila itu terjadi, dia benar marah. Tapi kenapa?  "Tenanglah Tuan, aku bisa memahami sikapnya. Dia selalu dimanja. Dan karena keputusannya sendiri, dia harus berani mengambil risiko. Benar kan?" "Keputusan a.." tanya Kiandra menggantung. Ketika dia ingat dia setuju untuk menjadi umpan dalam menyelamatkan Kota Sabin. Meskipun dia tidak menyangka harus berlatih seperti seorang pendekar ApiAbadi. Wajah Airlangga sulit dibaca. Ada amarah, khawatir dan kecewa yang dalam. Namun dia tidak mengtakan apapun. Dia berusaha kuat menahan dirinya dari hal yang akan membuatnya menyesal. Jadi dia berjalan ke arah putrinya dan menepuk pundak Kiandra. "Berjuanglah Nak!"  Kiandra merasa dirinya telah dibuang. *** Bayu mengumpat keras. Dia menendang dinding goda. Tendangannya begitu kuat hingga meretakkan sedikit dinding. Arunika tercekat. Dia tidak pernah melihat Bayu seperti ini. Panji menarik lengan tangannya. "Paman, tenanglah! Kita masih memiliki tujuan lain di sini," bisik Panji di telinga Bayu. Kepala keluarga Pakubumi memberikan hormat pada sesepuh yang telah menjadi batu itu. Baru setelah itu dia meminta para tamunya untuk menuju ruang yang lebih nyaman. Bayu menarik napas dalam-dalam. Panji benar, dia masih memiliki tujuan lain. Bayu menahan amarahnya dan memfokuskan untuk melangkah mengikuti kepala Pakubumi. Arunika menggeret lengan Panji. "Panji, sesepuh itu kenapa berubah jadi batu?" "Sebab dia sudah mati. Anggota keluarga Pakubumi kalau mati, maka jenazahnya berubah jadi batu," bisik Panji. "Jadi dia mayat hidup?" "Bukan!" Suara Panji sedikit keras dan mengundang perhatian orang di sekitarnya. Kepala Keluarga Pakubumi meminta Arunika duduk.  Arunika melemparkan senyum dan duduk.  "Mungkin ini hal yang aneh buat Nona Arunika," kata Pakubumi. "Sesepuh kami memang sudah meninggal ratsan tahun yang lalu. Dia bisa muncul kalau ada yang ingin disampaikan." "Ohya, tapi pesannya aneh banget!" "Aneh bagaimana?"tanya Bayu. "Dia bicara soal Dewanti," jawab Arunika. "Hmm, mungkin sesepuh itulah yang membuat senjata pedang dewa," kata Pakubumi. "Benarkah? dan bagaimana dengan danyang di dalamnya?" "Danyang itupun dulunya adalah manusia," jelas Pakubumi. Panji dan Arunika kaget sekali. "Apa? Kok bisa?" Bayu mengunyah makanan dengan santai. "Kau pikir Naraya langsung jadi danyang? Dia juga dulunya manusia." Arunika kesulitan menelan. Dia tersedak. Dia menepuk -nepuk dadanya. Berharap makanan yang tersangkut bisa turun. Bayu menyodorkan gelas. Arunika menerima dan langsung menenggaknya. "Kau kaget?" tanya Bayu. Arunika memandang Bayu, tentu saja.  Pakubumi memotong pembicaraan. "Aku menelpon tuan Bayu, lantaran sesepuh bangun. Dia memang mengatakan musuh ada di goa ini. Dan kami belum berhasil menemukannya. Sungguh aku merasa malu terhadap Tuan. Sesepuh menyebut jumlah musuh tidak hanya satu. Tetapi bisa juga banyak. Sejujurnya aku belum mengerti." Bayu menghentikan makannya. "Aku ingin tahu, kenapa kau tidak aku menanyakan kapan gunung ini meletus." "Sebab itu pertanyaan tabu , Tuan! Meskipun kami emmang bisa mengurus gunung ini. Namun ada garis takdir yang tidak bisa kami ketahui. Yaitu kapan gunung ini akan meletus. Dan Tuan hendak mendauhului takdir tersebut." "Kau tahu apa prioritasku, kan?" "Aku tahu. Prioritas Apiabadi adalah keselamatan Kota Sbain. Namun aku tetap tidak setuju kita  mendahului takdir. Kita tidak memiliki izin untuk mengubah takdir." "Kalau kau yang akan mati, dan kau bisa mengubahnya. Apakah kau akan tetap menerimanya dengan tegar?" ejek Bayu. "Aku akan menerimanya. Meskipun aku berusaha menghindar, bila ditakdirkan mati. Maka aku pun akan segera mati. Meski lewat tersedak sekalipun." Suasana makan pun menjadi tidak nyaman. Pakubumi memang orang yang jarang melakukan konfrontasi langsung. Dia lebih dikenal dengan negoisator. Namun untuk urusan takdir ini, sifatnya kaku sekali.  Bayu tidak sependapat. Begitupun Arunika. Dia ingin bicara, tetapi takut malah membat suasana tambah kacau. "Arunika, bagaimana menurutmu?" tanya Bayu. Arunika memutar bola matanya. Kenapa Bayu menanyakan padanya? Padahal dia sudah duduk diam, berusaha tidak mencolok. Kenapa? Kenapa? Kenapa? "Nona Arunika pasti setuju. Berada di Kota Sabin ini, apa bisa dihindarkan?" kata Pakubumi.  Arunika tersenyum malas. "Aku lebih sependapat bahwa ada dua takdir. Dalam satu ajaran kepercayaan, takdir itu ada dua. Bisa diubah dan tidak. Yang tidak bisa, contohnya aku dilahirkan oleh siapa, memiliki jenis kelamin apa. Hal tersebut tidak bisa aku pilih. Namun aku bisa memilih makanan sehat, dibanding junkfppd. Agar tidak terjangkit penyakit. Begitulah pendapatku." Hidung Arunika terasa mekar ketika mendapat acungan jempol oleh Panji. Bayu dan Pakubumi manggut-manggut memikirkan kemungkinan tersebut. Setelah diundang makan, Pakubumi mengajak mereka untuk naik sekoci lagi. Menyurusi wilayah sekitar dan menunjukkan hal yang mencurigakan di dalam bumi. *** Buak! Buak! Buak! Kiandra melemparkan seluruh bantal ke lantai. Dia sangat marah. Dia tidak menyangka keputusan implusifnya akan berbuntut panjang. Dia mengira, dia hanya harus duduk manis memancing para wewe datang. Dan dia kan dilindungi oleh Naraya dan Panji. Tetapi kenapa dia harus berlatih memanag? Apakah dia akan diterjunkan untuk memburu wewe juga? Apalagi mengingat bagaimana dia diperlakukan oleh pelatih songong itu. Rasanya dia ingin mencabuti rambut di kepala perempuan itu. Sisa bantal terakhir di kasurnya. Kiandra mendengar derap langkah menuju kamarnya. Jadi dia pun melemparkan bantal ke arah pintu. Pluk! Bantal itu mengenai Mira, ibunya. "IBu!" Kiandra terkejut ibunya datang. Ibunya sangat sibuk mengurus perusahaan membantu ayahnya pasca Lukman meninggal. "Kau sedang main apa?" tanya ibunya lembut. "Ibu, aku ingin memberitahu sesuatu. Ayah bertingkah menyebalkan!" gerutu Kiandra. "Soal pelatihmu?" tanya Mira. Dia sebenarnya sudah tah insiden itu, tetapi menenangkan Kiandra menjadi  pilihan bijak. "Benar. Ibu, minta ayah untuk mengganti Panji sebagai pelatihku!" pinta Kiandra memelas. Mira menarik napas. Dia tidak yakin ide itu akan disetujui. Pasalnya yang menyuruh mengganti pelatih adalah Naraya. Bukan dia ataupun Airlangga. Naraya bilang, Diananda sangat berpotensi untuk mengeluarkan bakat Kiandra. Selain itu, dia tidak suka Kiandra terlalu dekat dengan Panji.  "Kita akn bicarakan lagi nanti ya. Bagaimana keadaanmu, apakah alergi masih muncul?" tanya Mira. Kiandra menyenth lehernya. Benar, alerginya sudah tidak muncul lagi. Terakhir muncul saat dia akan pergi kencan dengan Naraya. Tunggu, kencan?  Kiandra memaki dalam hati. Di mana orang itu, mengatakan cinta lalu pergi menghilang? Awas saja kalau dia kembali ke mari. Habis dia, di tangan Kiandra.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD