Beberapa hari yang lalu
Bayu memanggil Naraya untuk bicara empat mata. Mereka bicara di ruang bawah tangan rumah kedua milik Airlangga. Ruang itu cukup aman dari gangguan. Para pelayan tidak bisa masuk ke ruang tersebut. Dan Bayu memang sengaja meminta kuncinya langsung pada Airlangga.
"Apa rencana konyolmu lagi?" tanya Naraya dingin.
Bayu manahan senyumnya. Danyang b***k cinta ini sangat defensif.
"Aku menjadikan pendekar ApiAbadi, sesuai saran Lukman. Kurasa itu adalah ide yang sangat tepat," saran Bayu.
"Trus dia memegang senjata apa? Jangan bilang kau akan membiarkan dia bertarung dengan tangan kosong!
"Dia akan berlatih menggunakan busur dan panah. Dia bisa menjadi pemanah yang handal."
"Fisiknya lemah," sahut Naraya.
"Karena itu, aku akan mengirimkan salah satu pengawal terbaik," kata Bayu meyakinkan.
"Siapa?"
"Diananda."
"Mantan pacarmu?" ledek Naraya.
"Ah!" Bayu tersipu. "Bisa dibilang begitu. Kau mendengar gosip rupanya. Tidak disangka."
"Aku suka mendengar cerita tentangmu. Apakah kau masih menyukai sang bulan atau tidak."
Bayu tertawa. "Jadi begitu. Untunglah tidak. Ada gadis yang lebih menarik dari Sang Bulan," sahut Bayu.
"Ibunya galak. Jangan main-main," saran Naraya.
"Aku tahu. Kau tahu soal itu?"
"Tentu saja. Aku membantunya menyebrang," kata Naraya.
"Menyebrang dimensi?" tanya Bayu penasaran.
"Huuh. Apa rencanam untuk menangkap tikus?"
Bayu mengeluarkan rokoknya. Namun ketika dia sadar ada di ruang bawah tanah. Maka dia memasukkan kembali rokoknya. "Aku akan mengejarnya sampai dapat. Aku sudah mendapat kabar, sesepuh pakubumi bangun. Aku akan menanyakannya."
"Orang tua kolot dan suka teka-teki itu bangun?" Naraya tampak terkejut.
"Katanya mencari pemilik pedang dewa. Kira-kira kenapa dia mencari Arunika?" Bayu meminta pendapat Naraya.
"Karena itu senjata buatannya. Mungkin dia ingin memastikan senjata itu digunakan dengan baik?" uusul Naraya.
"Aku tidak berpikir demikian. Apakah sang dewa mengenal secara pribadi sesepuh itu?"
"Aku tidak tahu. Kau tanyakan sendiri."
"Dia jarang muncul. Bahkan Arunika pun mencarinya."
"Begitu ya? Dia memang begitu dari dulu. Seenaknya sendiri. Apakah kau sudah memberi tahu Airlangga?"
"Setelah bicara denganmu. Aku tidak menyangka kau mudah dibujuk," Bayu nyengir.
Naraya memandang atap ruangan. "Aku hanya ingin takdirnya berbeda. Aku ingin menghormati keputusannya. Dia memutuskan untuk membantu Kota Sabin ini."
"Kalau dia menyesal?"
"Mungkin dia sudah menyesal sekarang." Bayu tertawa. "Kau memilih Kiandra, bukan sang bulan. Kenapa?"
Naraya tidak menjawab. Sebab dia pun tidak tahu jawabannya. Kenapa dia membantu Kiandra, bukan Sang bulan? Saat di serang ratsan wewe di rumahnya, Sang Bulan akan bangkit. Tetapi Naraya malah membantu menidurkannya kembali. Dia belum tahu kenapa dia melakukan hal itu.
"Kau tahu? Setelah pertarungan kita. Aku berpikir, pertarungan itu sangatlah bodoh. Kenapa aku bertarung demi perempuan yang mengadu kita berdua? Sedangkan dia malah memilih keabadiannya sendiri. Aku ingin tertawa karena kebodohanku," Bayu memberi pengakuan.
Naraya tersenyum malas. "Dan kemudian kau bermain-main dengan banyak perempuan," sindir Naraya.
Bayu nyengir.
"Yah, aku sarankan. Si pedang itu selalu serius menyangkut Arunika. Kalau kau menyakitinya, kau mati."
Bayu tidak menjawab.
***
Airlangga merasa bersalah terhadap putrinya. Namun dia tidak bisa berbuat apa-apa. Takdir itupun tidak bisa dia ubah. Jadi dia mengikuti saran Bayu untuk melatih Kiandra. Airlangga tahu benar siapa pelatih perempuan itu.
Diananda.
Pemanah terbaik di Kota Sabin. Dia berhasil menyelesaikan misi-misi sulit. Kemudian akhirnya ditarik mundur ke belakang meja, mengurus administrasi karena kesalahan keluarganya.
Diananda juga salah satu orang kepercayaan Bayu.
Sebagai anggota keluarga Laksamana, Bayu memiliki kecapakan untuk memimpin dibanding Lukman. Banyak bangsawan yang akan menaruh kesetiaan pada Bayu. Tetapi gegara Sang Bulan, Bayu nyaris kehilangan semangat hidupnya.
Tetapi akhir-akhir ini Airlangga bisa melihat banyak perubahan dalam diri Bayu. Setelah kematian Lukman, dan kedekatannya dengan Arunika. Arunika banyak membuat perbedaan pada setiap lakon. Termasuk dirinya sendiri.
Melihat Arunika, dia ingin Kiandra juga berjuang untuk melindungi dirinya sendiri. Bukan sebagai Sang Bulan. Melainkan sebagai putrinya, Kiandra. Dan sebagai penerus keluarga Airlangga, Kiandra harus tahu seberapa berat beban yang dipikulnya.
Selama ini dia selalu mengurung Kiandra. Berpikir bahwa dia bisa menghapus takdir sang bulan dari Kiandra. Ternyata perkiraannya meleset. Kiandra dalam bahaya.
"Dia bukanlah anak kecil, selamanya. Berikan kesempatan dia memutuskan hidupnya sendiri!"
Kata-kata Bayu terngiang di telinga. Dan karena dia selalu memanjakan Kiandra, maka sifat anak itu seperti itu. Dia bisa dengan mudah memanfaatkan kekuasaan ayahnya untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan.
Airlangga baru menyadari bahwa itu salah.
Kiandra harus dididik dengan benar. Airlangga tidak bisa menyalahkan apalagi menghukum Diananda karena memberi pelajaran pada muridnya. Dalam keluarga bangsawan sekalipun, murid tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap gurunya.
Dan Kiandra telah melakukannya.
Maka seperti yang diperintahkan Bayu, Airlangga harus lepas tangan soal pelatihan Kiandra. Kiandra harus dewasa, dia harus bisa bertanggung jawab atas apapun keputusannya.
Pintu kantornya dibuka lebar. Kiandra masih mengenakan celana training dan kaos. Dia baru akan memulai latihan. Namun memilih ke kantor Airlangga lebih dulu.
"Ada apa, sayang?"
"Ayah, kenapa tidak mengganti pelatih panahanku?"
"Dia yang terbaik di bidangnya, Kian." jawab Airlangga.
"Tapi dia itu barbar sekali. Aku harus selalu lari, lari, dan lari. Belum boleh memegang busur sama sekali," kata Kiandra jengkel. "Metode latihannya aneh."
Airlangga menarik napas dalam-dalam. Seperti inilah sifat Kiandra yang selalu minta dituruti. Dia berharap dengan merayu Airlangga, maka dia bisa mendapatkan yang dia mau. "Tidak bisa, Kian. Ini keputusan Bayu."
Kiandra memandang ayahnya lekat-lekat. Apakah ayahnya diancam oleh Bayu atau danyang k*****t itu? Kiandra akan membuat perhitungan dengan mereka berdua.
"Kian, ayah senanh sekali kau memikirkan ayah dan ibu. Sehingga kau bersedia menjadi umpan dalam rencana Bayu. Meskipun ide menjadi umpan itu, ayah tidak setuju. Tetapi niatmu sudah membuat ayah senang."
Kiandra pura-pura tersenyum. Sekarang dia menyesali keputusan tanpa pikir panjang itu.
"Ayah juga berharap, kau berlatih serius dengan Diananda. Apapun yang dia perintahkan. Semuanya pasti bertujuan baik."
Kiandra mengangkat kedua tangannya. Memperlihatkan tangannya yang masih membiru bekas dicekal Diananda. Dia tidak percaya ayahnya mengatakan hal itu.
"Kian, penting bagi seorang murid untuk menghormati gurunya. Terlebih guru itu bertujuan baik."
Kiandra tidak bisa berdebat lagi. Percuma. Apapun yang akan dia katakan pasti tidak akan menggeser posisi Diandan menjadi pelatihnya.
Kiandra mengangguk memberi salam pada Kiandra. Dia meninggalkan Airlangga yang berwajah murung.
***
Naraya sedang mengungsi. Dia dipaksa oleh Bayu untuk menjauhi Kiandra untuk sementara. Dan Bayu memberikan tugas padanya untuk mengawasi Asrama keluarga Haya.
Jadi di sinilah dia, duduk di atas gedung Asrama Haya. Dia bisa melihat pemandangan anak-anak bermain dengan suka di bawah. Ada salah satu kaki tangan Apiabadi sedang memberikan pelajaran bela diri. Dia memberikan pelajaran dengan pertunjukkan menarik. Anak-anak membentuk lingkaran. Dan pendekar itu berada di tengah.
Naraya tidak suka anak-anak. Jadi dia malas kalau berurusan dengan mereka. Namun dia juga tidak tahu harus melakukan apa di sana. Entah apa yang dimau Bayu mengirimnya ke sana. Ke tempat penuh anak-anak ini.
"Hei danyang! Turun!" Teriak Bagaskara.
Naraya mengabaikan Bagaskara.
"Aku punya informasi tentang Kiandra!" teriaknya lagi.
Naraya terbang turun.
"Bagus, itu menarik perhatiannya," gumam Bagaskara.
Bagaskara mengajak Naraya menuju ruangan Candy di rawat. Setelah kecelakaan itu, Candy menolak dikunjungi. Dan menolak untuk bertemu dengan anak itu. Sedangkan anak itu merengek terus pada Bagaskara agar bertemu dengan Candy.
"Kenapa Kiandra?" tanya Naraya. "Siapa dia?" tunjuk Naraya pada Candy yang terbaring di ranjang sambil membaca buku.
"Dia Candy. Dia punya cerita untukmu," kata Bagaskara. Sejujurnya Bagaskara tidak punya hal apapun tentang Kiandra. Jadi dia mengarang cerita. Dia bingung mengahdapi anak kecil yang berdiri di luar pintu sambil menangis, sedangkan yang di dalam ruang seperti harimau yang siap mencengkram mangsa.
Naraya melirik Bagaskara sekilas. Bagaskara tertawa gugup.
"Kau temani dia, aku akan mengurus sesuatu," kata Bagaskara dan angkat kaki dari sana.
"Dasar penipu!" umpat Naraya.
Candy tidak peduli dengan keberadaan Naraya. Dia sibuk membaca. Dengan membaca perhatiannya teralihkan dari segala masalah yang muncul.
"Kau gadis permen itu?" tanya Naraya berdiri dengan tangan bersendekap di d**a.
"Apa maumu?" balas Candy sinis.
"Kau ingin pedang dewa, heh?"
Candy meletakkan bukunya. Matanya menatap tajam pada Naraya. "Siapa kau?"
Naraya terkekeh. "Kau tidak kenal aku? Aku danyang Naraya."
"Ah, tuanmu adalah penebar benih itu!"
Naraya cemberut. "Sekarang tidak, aku bersekutu dengan Panji. Apakah menurutmu Panji juga penebar benih?"
Candy tidak menjawab. Dia tidak punya urusan dengan para keluarga Laksamana. Baik Panji atau danyang yang cerewet ini.
Naraya mengubak topik pembicaraannya. "Kenapa kau ingin sekali pedang rongsokan itu?"
Kali ini Candy melototi Naraya.
Naraya menyengir. Taktiknya berhasil.
"Pedang itu hanyalah rongsokan tanpa nyawa selama ratusan tahun. Dan baru hidup kembali setelah Arunika datang. Tidakkah kau berpikir itu aneh?"
Candy memutar bola matanya. "Katakan apa maumu!"
"Membunuh Arunika tidak akan membuat pedang itu jatuh ke tanganmu," kata Naraya memberikan informasi sedikit demi sedikit.
"Itu kan belum dipastikan!"
Naraya tersenyum. Gadis yang sangat keras kepala. Pantas Bagaskara kesulitan menghadapinya. Gadis ini memiliki pendirian kuat. Sayang pikirannya keliru.
"Kau tidak tertarik senjata pusaka lain?" tanya Naraya.
"Aku ahli menggunakan pedang!" sahut Candy.
Naraya mulai kehilangan kesabaran. "Cobalah senjata yang lain. Dan rasakan sensasinya. Kau akan berubah pikiran."
"Kalau kau berisik terus. Sebaiknya keluar!"
Naraya bersandar pada dinding tembok. Di sebelah dia berdiri terdapat jendela kaca berukuran besar. Dia bisa melihat dengan jelas ada siapa di luar ruangan ini.
"Kau tahu? Luka di perutmu itu akan sembuh," kata Naraya. Suaranya berubah dingin menusuk tulang. "Tetapi luka di hati, sukar sembuh!"
Perkataan Naraya membuat Candy terpaku. Dia menoleh, Naraya memandang sesuatu. Candy mengikuti arah padangan Naraya.
Seorang anak kecil usia sekitar enam tahunan sedang berdiri di luar ruangan. Wajahnya tertunduk lesu. Meskipun dari jauh, Candy bisa melihat mata anak itu bengkak. Hatinya terasa sakit melihatnya. Dalam beberapa hari, Candy telah mengabaikan anak itu. Dia sangat syok dan juga marah. Marah karena anak itu telah berhasil menusuknya, marah karena dia kecolongan sehingga salah satu anak didiknya kerasukan.
Dia lebih marah pada dirinya sendiri karena tidak mampu melindungi asrama ini. Karena itu dia menghukum dirinya, untuk tidak mau bertemu siapapun. Kecuali orang-orang Apiabadi yang merawat lukanya.
Tetapi melihat anak itu, Candy sadar hukuman itu ternyata juga berlaku buat mereka. Buat anak itu yang belum memahami apa yang terjadi. Anak itu pasti merasa sangat bersalah dan ketakutan. Rasa sedih yang terlihat juga membuat Candy sedih.
"Kau.." panggil Candy.
Anak itu mendongak menatap Candy. Wajahnya sumrigah senang dipanggil Candy. Seperti anak kucing yang minta dibelai tuannya.
Candy menghela napas. Dia merentangkan kedua tangannya. "Kemari!" kata Candy.
Anak itu berlari ke pelukan Candy. Dia mendekap Candy, tangisnya pecah. "Maafkan aku, Kak!" Anak itu meraung-raung di pelukan Candy.
Candy merasa beban di hatinya terangkat lepas.
Naraya mengangguk dengan senyum melihat pemandangan di depannya. Dia melihat cuaca hari ini sangat cerah. Mendung yang menganggu telah hilang.
Naraya tahu, memiliki orang yang mencintai kita bisa membuat hati terasa hangat. Dan meleyapkan amarah. Dia tahu itu.