Setelah suasana canggung terlewati di ruang makan tadi, Panji menempel terus pada Arunika. Dia berbisik-bisik supaya tidak terdengar Bayu.
"Hei, apa di duniamu sana juga menarik?" tanya Panji.
"Tentu saja menarik. Lebih menarik daripada hidupmu," ejek Arunika.
"Melihatmu hidup di zaman jadul," Panji meragukan kata-kata Arunika.
Arunika berjalan cepat meninggalkan Bayu dan Pakubumi yang sudah berjalan jauh di depan mereka berdua.
Bayu merasakan sensasi aneh berada di bawah tanag. Sensasi yang beda dari biasanya.
"Aku sudah curiga di sekitar sini, ada yang aneh. Namun aku belum berhasil menemukannya."
Arunika mencium bau busuk. Sangat busuk. Dia memutup hidungnya. "Uh, bau bangkai!" seru Arunika.
"Bukan bangkai, tapi belerang," jawab Bayu.
"Aku nggak kuat." Arunika bergerak mundur menjauh.
Panji pun mentup hidungnya.
Bayu nampak tidak terganggu. Pakubumi apalagi, bau belerang sudah menjadi napasnya tiap hari.
Bayu menelusuri area situ. Dia yakin akan menemukan sesuatu. Mereka memutari area itu lebih dari setengah jam. Arunika mengetuk-ketk dinding goa, dia menir siapa tahu akan ada pimtu rahasia di sini. Meskipun Pakubumi mengatakan tidak ada pintu di goa ini. Siapa tahu ada, batin Arunika.
Namun pencarian mereka ternyata tidak menemukan hasil apaun. Arunika mulai megap-megap karena tidak tahan bau belerang. Panji juga wajahnya pucat, namun malu untuk mengeluh.
Arunika mulai merasakan kepalanya pusing. Dia melihat dinding gua berputar-putar. Kakinya mulai bergoyang. Panji melihat Arunika akan roboh. Dia berteriak,"Aru!"
Arunika tergeletak.
Bayu dan Pakubumi kaget. Bayu bergegas menolong. Namun dia merakan Arunika aneh.
"Lepaskan tanganmu serigala!" geram Arunika.
Bayu melepaskan tangannya. "Dewanti?" panggil Bayu. Dia menduga bahwa Dewanti telah menguasai tubuh Arunika. Arunika tidak pernah membentak padanya. Dan juga tidak memiliki sinar mata benci padanya. Hanya satu orang, yaitu Dewanti.
"Pintar juga kau!" puji Dewanti, menggunakan tubuh Arunika.
"Sebaiknya Arunika segera keluar dari sini. Harusnya aku menyuruhnya keluar dari tadi," kata Bayu menyesal.
Dewanti mengabaikannya. Dia mengeluarkan jepit hitam dari tas Arunika. Dan menghunuskan pedang tersebut. Dia mengucap mantra. "Minggir kalian!" kata Dewanti.
Bayu, Panji dan Pakubumi merapat ke dinding. Dewanti membuat lingkarang sihir. Dan sinar biru melingkupi lingkaran itu. Lingkaran itu bergerak melebar dan membuka mengelupaskan dinding batu itu.
Begitu dinding itu mengelupas, nampak daging merah berdenyut. Mereka tidak lagi berada di dalam gua, namun berada di dalam tubuh sebuah makhluk.
Panji merasa mual melihatnya.
"Di mana kita?" tanya Pakubumi. "Aku baru kali ini melihatnya."
"Di dalam makhluk kegelapan. Mereka memanggil makhluk itu dan menyamar ke inti bumi. Seharusnya dia aman, namun karena aku di sini, mantra penyamarnya tidak bekerja," Dewanti mendengus jijik.
"Apa yang akan kita lakukan?" tanya Bayu.
"Membunuhnya tentu saja!" Jawab Dewanti enteng.
"Tetapi kita ada di dalam perutnya, kau serius?" Panji terlihat panik.
"Yah, lihat saja nanti!" Dewanti tersenyum.
Suara gemuruh terdengar kencang. Suaranya yang keras itu mampu membuat telinga sakit. Lantai yan mereka pijak bergelombang. Bergerak seperti ombak di lautan. Mereka bertiga berusaha menyeimbangkan tubuhnya.
Dewanti menggertakkan giginya. "Ayo habisi dia, sebelum dia bangun. Repot nanti!"
Bayu, Pakubumi dan Panji bersiap.
Dewanti menusukkan pedangnya ke bawah kakinya. Dia terlihat senang melakukannya. Makhluk itu menjerit kesakitan. "Bunuh, jangan sisakan apapun!" teriak Dewanti.
Dewanti membuat lubang, dengan pedangnya, darah mancur dari lubang itu. Darah itu keluar seperti banjir bandang. Baju Dewanti basah. Panji, Bayu dan Pakubumi badannya separuh tenggelam darah.
"Ayo kucing! Selesaikan makhluk ini!" Dewanti mengatakannya dengan nada senang.
Bayu menyengir. "Dewa sinting!" Bayu merasa tidak nyaman. Dewanti mengatakannya dengan bar-bar menggunakan tubuh Arunika. Sangat berlawanan dengan Arunika yang lebih lembut.
Bayu mengeluarkan kilat merah dan bioru bersamaan. Dinding daging itu terbelah dan terbuka besar. Mereka berempat keluar dari onggokan daging. Makluk itu mengerang kesakitan.
"Wah tikus yang sangat besar!" ejek Panji.
Mereka berempat seperti bersenang-senang melawan tikus raksasa itu. Tikus itu kewalahan melawan empat orang. Dia meringkuk kesakitan.
Dewanti mengayunkan pedangnya. Menebas kepala tikus itu. Begitu kepala tikus itu lepas. Sebuah simbol keluar dari sana. Dewanti menganyunkan kembali pedangnya.
Sinar kilat yang kelar dari pedang itu berupa simbol simbol yang merantai simbol tikur. Huruf asing itu bergulat dengan simbol tikus. Sampai simbol tikus itu hilang dan lenyap.
Dewanti menyeringai puas.
"Kau kemanakan Arunika?" tanya Bayu. Seluruh bajunya basah dan penuh darah. Namun dia tetap mengkahwatirkan Arunika.
"Ada," jawan Dewanti singkat.
Pakubumi berlutut di hadapan Dewanti. "Pedang dewa yang agung, terimalah salam dari Pakubumi."
Dewanti memutar bola matanya. "Tidak perlu begitu, aku tidak sekolot dulu." Dewanti mengusir Pakubumi. "Memalukan diperlakukan seperti itu."
"Siapa sebenarnya tikus tadi?" tanya Panji.
"Pintu gerbang. Dia menjaga pintu gerbang kemunculan wewe." Dewanti mengubah pedang menjadi jepit rambut dan menjepitnya di rambut Arunika.
"Jadi itulah alasannya aku tidak bisa menemukan musuh?" gumam Pakubumi lebih mirip pernyataan.t "karena sifatnya ab-abu, jadi aku tidak mendeteksi aura gelapnya." Dia membungkuk pada Bayu. "Ini kesalahan Pakubumi, Tuan."
Bayu mengibaskan tangannya. Menyuruhnya agar tidak mengungkit masalah ini lagi.
"Musuh kita licik dan pintar. Aku kagum sekali. Ingin kuhabisi dia langsung,"desis Dewanti.
"Apakah urusan kita sudah selesai?" tanya Panji berharap.
"Sepertinya begitu, bagaimana danyang?" kata Bayu.
"Iya, kita naik ke atas dan membereskan Laksamana," gumam Dewanti.
***
Laksamana duduk bersandar pada bantal yang ditumpuk tinggi. Lehernya dipasang collar neck untuk mempertahankan posisi lehernya agar tidak bergeser. Baju mewahnya telah berganti dengan piyama kumuh khas rumah sakit. Dua asistennya masih setia duduk di sebelah kanan dan kirinya.
"Uh.. di mana si pecundang Bayu itu? Kenapa dia tidak menengokku?" keluh Laksamana.
"Dia tidak menerima telepon kami. Mungkin dia senang melihatmu seperti ini," jawab asisten satu yang memakai rok sepaha.
Asisten dua pun mengangguk setuju.
Laksamana ingin bertemu dengan Bayu. Bayu harus mencari siapa pelaku yang berani membuatnya seperti ini. Sebagai kepala keluarga Laksamana, dia merasa dipermalukan. Harusnya itu menjadi masalah buat seluruh anggota keluarga Laksamana. Tetapi tak satupun dari mereka yang peduli dengan keadaannya.
Laksamana menjadi marah. Sangat marah.
"Kau harusnya membunuh Bayu. Bukan malah berlindung di ketiaknya," ucap seseorang.
Laksamana menengok. Seorang perempuan, wajahnya tak asing. Tapi Laksamana tak bisa ingat.
"Siapa kau?"
"Aku adalah kawan lamamu," permepuan itu tersenyum menampakkan gigi putihnya. "Kau ingin menyingkirkan Bayu? Aku bisa membantumu." Perempuan itu memberikan penawaran.
"Dia kuat," jawab Laksamana. Meskipun Laksamana ingin Bayu mati, dia tahu tidak semudah itu mengalahkan Bayu. Ditambah lagi, banyak bangsawan yang memihaknya. Seharusnya Bayu setuju, dia menjadi petinggi. Dengan begitu, dia bisa menguasai para bangsawan dan juga kekuatan Apiabadi.
Laksamana kesal mengingat perlakuan Bayu terhadapnya setelah rapat. Tangannya masih terasa nyeri dinjak oleh Bayu.
"Aku bisa mengalahkannya. Dan membuatnya berakhir seperti Lukman," kata perempuan itu.