Laksamana tertawa terbahak-bahak.
"Kau akan membuat Bayu seperti Lukman? Jangan bercanda!" Kata Laksamana.
Perempuan itu menegaskan dagu, dan menyeringai. "Aku tidak bercanda."
Laksamana menyeringai. Mungkin perempuan itu belum tahu Bayu yang sebenarnya. Jadi dia bisa dengan mudah mengatakan hal itu. "Bayu jauh lebih kuat dari Lukman. Semua orang tahu itu. Hanya saja dia tidak pernah mengeluarkan kekuatan sebenarnya," tegas Laksamana.
Kali ini giliran perempuan itu yang tertawa. "Aku sudah pernah membuatnya luka parah. Luka itu beracun. Tidak mungkin dia bisa terus bertahan."
Laksamana tidak tahu kejadiannya seperti apa. Tetapi terakhir dia bertemu Bayu. Kondisi Bayu sangat fit dan tidak nampak dia pernah terluka. "Kau lucu sekali. Dia itu Laksamana. Luka semacam itu tak kan membuatnya mati."
Perempuan itu tersenyum miring. "Rupanya kau sangat menyayangi adikmu itu," sindir perempuan itu.
Laksamana melirik perempuan itu sekilas. Dia ingin membantah komentar sinis perempuan itu. Namun sepertinya tidak perlu. Apapun yang dia pikirkan tentang Bayu, perempuan asing itu tidak perlu tahu. Dia hanya penasaran rencana apa yang akan dilakukan. Kalau bisa menyingkirkan Bayu, itu menjadi kentungan sendiri buat Laksamana. "Kalau kau sudah punya rencana pasti bagaimana menyingkirkan Bayu dan anteknya. Beri tahu aku!"
"Apa kau akan membantuku?" tanya perempuan itu minat yang tidak ditutupi.
"Apa keuntungannya bagiku?" pancing Laksamana.
"Bayu akan sedikit sibuk di luar. Dia akan datang sangat terlambat ke pusat kota," jawab perempuan itu tersenyum malas.
Laksamana suka dengan ide tersebut. Selagi Bayu di luar, dia melakukan intervensi di dalam ApiAbadi. Bagaimanapun dia memiliki b***k yang setia padanya. "Aku suka idemu, kapan dilakukan?"
"Tentu saja sudah berjalan. Kau ambil alih Apiaabadi."
"Itu mudah," jawab Laksamana dengan mata berkilat-kilat.
***
Arunika membuka mata. Dia memandang langit-langit. Bukan goa batu yang dilihatnya, melainkan atap kayu yang bersih. Arunika duduk di ranjang yang empuk. Dia melihat, ada Panji tidur di sofa panjang. Dia hanya ingat berada di goa yang penuh bau belerang. Setelah itu, dia tidak apapun. Tumben sekali. Bagaiamana mereka bisa keluar dari goa itu? Arunika akan menanyakannya nanti. Dari celah-celah dinding kayu, Arunika tahu masih malam.
Di ujung ruangan, Bayu duduk menghadap laptop. Baru kali ini, Arunika melihat sosok Bayu di depan laptop.
Arunika menatap.punggung lelaki itu lama. Menimbang akan memanggilnya atau melanjutkan tidur lagi. Tapi sayang rasanya melewatkan pemandangan langka tersebut.
Bayu dengan laptop dan bukan dengan otot. Arunika merasa bibirnya melebar sendiri. Kemudian suara itu membuyarkan lamunannya.
"Nyenyak tidurnya?" Bayu bertanya tanpa berbalik.
"Uh.. iya, kau nggak tidur?" Tanya Arunika.
"Sudah tadi. Kau tidurlah lagi. Sekarang masih jam tiga pagi," imbuhnya.
"Ehmm Bayu, bagaimana tadi kita bisa keluar dari goa belerang?" Arunika tidak kuasa manahan rasa penasarannya. Ada jeda lama. Arunika menghitung dalam hati, apakah pertanyaannya aneh? Atau Bayu tidak mendengarnya. Perlukah dia mengulang pertanyannya. Baru saja Arunika hendak membuka mulut, Bayu menjawabnya.
"Yah keluar begitu saja," kata Bayu singkat tanpa penjelasan lebih.
Jawaban singkat it membuat Arunika berpikir, Bayu pasti sangat sibuk. Bagaimanapun posisi dia kali ini memiliki banyak urusan. Jadi Arunika tidak bertanya lanjut dan memutuskan untuk kembali tidur, dia masih punya banyak waktu untuk bercakap-cakap dengan Bayu.
Namun harapannya pupus. Ketika dia bangun saat matahari sudah muncul dan menyilaukan matanya, Bayu sudah pergi.
Dia juga tidak melihat Panji. Arunika memutuskan untuk turun dan keluar pondok. Ternyata Panji sedang olahraga di halaman berumput itu. Panji juga sudah berganti baju. Sedangkan dia masih mengenakan baju kemarin.
"Panji," panggil Arunika.
Panji menoleh dan tersenyum lebar. "Sudah bangun, cewek jadul? Mandi sana, dan ganti baju."
"Memang tas kita di sini? Bukannya di atas?" Arunika menunjuk langit.
"Buka matamu," ejek Panji. "Kita sudah di atas. Di atas bumi nih!" Panji menginjak -injak rumput yang hijau segar itu.
Arunika menepuk jidatnya. "Oh iya ya, sudah ada matahari." Untuk menutupi rasa malunya, dia tertawa sumbang. Dan Panji meledeknya terus.
Sebuah mobil berhenti di depan pondok kayu itu. Ternyata yang keluar adalah pemandu. Dia membawakan makanan untuk Arunika dan Panji.
"Mari masuk, sarapan dulu," katanya ramah.
Panji dan Arunika bergegas masuk. Perut mereka sudah berisik sejak tadi. Begitu dibuka, tutup sajinya. Arunika berseru senang. "Wah! Nasi goreng!"
Panji bereaksi sebelumnya. Dia adalah penggemar makanan sehat yang pro kukusan. Makanan yang dimasak dua kali seperti nasi goreng ini kurang berselera.
Arunika mengambil piring. Kemudian dia teringat sesuatu. "Ehm Pak, tahu di mana Bayu?" tanya Arunika.
Pemandu itu tersenyum. "Tuan Bayu sedang bersama Tuan Pakubumi," jawabnya singkat.
Panji meledek Arunika. "Memangnya kau istrinya? Harus selalu tahu jadwal suami?"
Arunika mendengus. Pemandu itu pamit pergi.
Arunika makan dengan lahap nasi goreng dengan lauk ayam goreng, lalapan mentimun dan kubis. Dia tidak menyangka akan bisa menikmati makanan faforitnya. Arunika memandang Panji yang hanya meminum jus jeruknya. "Kau nggak makan?" tanya Arunika. Suara kecap keluar dari kulutnya.
"Kau makan kayak kuda. Ckckck," Panji menirukan suara makan Arunika.
"Enak banget soalnya," jawab Arunika memberikan alasan. "Coba donk!"
Panji menggeleng. Membayangkan makanan penuh minyak itu masuk ke kerongkongannya, Uh. Pasti setelah makan itu, dia akan batuk-batuk.
"Kenapa sih?" Tanya Arunika heran.
"Mending aku minta roti aja deh," kata Panji berdiri dan menelpon seseorang.
***
Setelah bergulat lama dengan batinnya, Candy memutuskan untuk menemui Ibu Dina. Hatinya terasa berat sebelum menemui Dina. Dia pergi malu-malu takut. Dia masuk ke ruangan Dina dirawat.
Dina masih terbaring dengan kesadaran lemah. Dia mengenakan masker oksigen di mulutnya. Ketika Candy mendekat persis di samping Dina. Dina meraih tangan Candy dan mengangguk lemah. Candy merasa air matanya jatuh deras.
Candy menutup ruangan kamar dengan pelan. Dia tidak ingin menganggu istirahat Dina. Dia akan kembali ke rutinitas sebelumnya. Berlatih pedang dan mengurus anak-anak. begitu melewati lapangan, dia melihat danyang itu. Wujudnya memang sedikit berbeda dengan kemarin. Sekarang lelaki itu tidak mengenakan kimono melainkan kaos dan celana panjang.
"Hei, di sini dilarang merokok!" tegur Candy pada Bagaskara.
Danyang dan Bagaskara menoleh ke arah Candy.
"Wah jadi Ibu galak sekarang!" ledek Naraya.
Candy berjalan pelan. Dia berdiri di samping Naraya. "Hei Danyang, kenapa kau pikir pedang dewa tidak mau memilihku?"
Bagaskara mematikan rokoknya. Meskipun dia enggan. Dia baru saja menyalakannya.
"Hmm. kenapa ya?" kata Naraya menggoda.
"Danyang sialan. Jangan bercanda!" ancam Candy.
Naraya terkekeh. "Kau galak sekali. Pedang dewa ya, ya karena dia sudah memilki pilihan sejak dia lama."
"Apa istimewanya gadis itu?"
"Hmm gadis itu memiliki hubungan khusus dengan pedangnya."
"Aku bisa membunuhnya Arunika," tegas candy.
Naraya tertawa dengan kepercayaan diri Candy. Dia salut dengan gadis yang terang-terangan. "Pedang itu akan membunuhmu lebih dulu." Naraya tersenyum.
"Jadi gadis itu selalu berlindung di balik pedang dewanya, Hah? Pengecut!" Candy merasa marah. "Ketika aku menantangnya bertarung, dia bahkan tidak mengeluarkan pedangnya, dia tidak melawan ataupun bertahan. Hanya pasrah begitu saja." Candy menyebut beragam nama hewan di kebun binatang.
Naraya menggerling. "Mungkin kau tak layak untuk dilawan."
Jawaban Naraya malah membuatnya semakin marah. Dia merasa terhina. Tidak layak? Meskipun katar belakang keluarganya tidak jelas. Tetapi dia telah diakui sebagai pendekar di keluarga Haya. Dia memiliki kekuatan.
"Bukan dari segi kekuatan," tegas Naraya. "Kau tidak belajar ya? Kau itu hanya memikirkan dirimu sendiri. Hal hal yang berguna buatmu. Kau tidak peduli perasaan orang lain. Lihat bocah itu? Seberapa besar luka yang terima dengan kelakuanmu?"
Sindiran Naraya tajam mengiris. Namun Candy tetap belum bisa menerima fakta tersebut. "Apa hubungannya dengan pedang dewa dan sifatku? Yang kuat yang akan bertahan."
"Bukan! Bukan yang kuat!" sahut Bagaskara. Dia menatap Candy lekat-lekat. "Tetapi yang bijaksana," kata Bagaskara.
Candy kehabisan kata-kata. Dia memutuskan meninggalkan mereka berdua dan kata-kata absurdnya. Prinsipnya masih sama. Yang kuat yang akan bertahan. Maka dia harus berlatih lebih keras, sehingga menjadi lebih kuat.
"Heh, Bagaskara bagi rokokmu," kata Naraya setelah Candy pergi.
Bagaskara menyalakan rokoknya kembali. "Kinadra tak kan suka."
"Yeah aku tahu. Tapi dia tidak di sini," kata Naraya tersenyum
Bagaskara menyeringai. "Kukira kau b***k cinta, nih," kata Bagaskara memberikan satu batang. "Ngomong-ngomong, Bayu sedang apa, dan bagaimana keadaan bocah Arunika dan Panji?"
Naraya menikmati aktivitasnya. "Mereka berhasil menangkap tikus. Tikus raksasa," kata Naraya.
"Wah, kita juga harus menangkap tikus. Jangan sampai kalah dengan mereka."
"Kau benar. Ayo!" ajak Naraya.