Gelas Retak

1074 Words
Naraya menatap langit. Suasana ini, perasaan ini. Dia tahu, ada makhluk asing yang mendekati asrama Haya. Pemilik segel sihir perlindungan sedang lemah, karena itu musuh bisa saja lolos. Dan menyerang asrama ini. "Bocah songong itu, benar benar ya," gumam Naraya tersenyum. Dia mengerti kenapa Bayu mengirimnya kemari. Dan bukan selalu berada di sisi Kiandra. Perlindungan Kiandra dalam posisi prima. Sedangkan asrama ini, sudah seperti gelas retak. "Mereka sudah mengintai kita dari kemarin," kata Bagaskara. Mereka berdua bercakap-cakap santai dengan asap mengepul keluar dari mulut mereka. Seorang bocah kecil berlari menubruk Naraya. "Hati-hati bocah," tegur Naraya. Bocah perempuan dengan kuncir kuda itu menarik baju Naraya. "Om, Bu Dina memanggil," katanya sambil terengah-engah-engah. Naraya melirik Bagaskara dan keduanya saling mengangguk. Dina sudah merasakan bahaya. Tubuh Dina menggigil, sebagai pemilik segel tunggal, dia tahu risikonya. Ketika dirinya lemah, maka perlindungan tempat ini akan lemah. Dia ingin mewariskan kunci pada Candy. Tetapi sifat Candy yang belum dewasa, selalu membuatnya ragu. Dan sekarang dia terkapar tak berdaya. Apa yang harus dia lakukan selain meminta bantuan dua orang ApiAbadi. Dia mendengar bahwa ada dua pendekar yang menggantikannya dan Candy yang terluka untuk mengurus anak-anak. Dia sangat berterimakasih pada mereka. Namun ternyata asrama ini juga diincar musuh. Dia akan merepotkan para pendekar lagi. Para tetua sedang melindungi warga desa, mereka jarang datang ke asrama lantaran yakin dengan kekuatan Dina dan segel sihir perlindungan miliknya. Namun sekarang? Dia tidak yakin mampu menahan mereka. Bagaskara dan Naraya membuka pintu kamar Dina. Dina bisa menebak bahwa yang di depan adalah Bagaskara. Namun siapa yang di belakangnya? Lelaki itu memiliki aura yang tidak biasa. Aura mengintimidasi yang kuat ini, mungkinkah? "Danyang Naraya?" Tebak Dina ragu-ragu. Lelaki itu tersenyum malas. Bagaskara melirik Naraya. "Kau terkenal ya?" Tanya Bagaskara. Naraya hanya mengangkat bahu. Bagaskara tahu itu benar, dan Naraya hanya enggan mengakuinya. "Salam hormat Dina, pada Danyang Naraya," kata Dina lirih. Bagaskara mencibir. Untuk apa Danyang b***k cinta ini diberi salam hormat? Mubazir. "Tuan-tuan, kami ingin minta bantuan. Musuh sudah dekat, dan mereka akan menghancurkan segel perlindungan milikku," kata Dina. Butuh usaha keras untuk mengucapkan kalimat panjang. Sebab nafasnya tersengal-sengal. Bagaskara mengacungkan jempolnya. "Sudah menjadi tugas kami membasmi hama. Serahkan pada kami," kata Bagaskara riang. Naraya hanya diam mengamati. Dia juga tidak menjawab salam hormat, karena merasa tidak perlu. Dia tidak biasa dihormati. Pendekar ApiAbadi jarang sekali yang menganggapnya dewa. Mereka lebih sering menyebut dirinya anjing mabok asmara. "Ini," kata Dina. Dia membuka telapak tangannya. Terdapat kunci bundar dengan simbol tertentu. Itu adalah kunci tempat ini. Bagaskara mengambil dari tangan Dina. "Kami akan melindungi tempat ini," janji Bagaskara. Dina mengangguk lemah. "Ayo Danyang, saatnya berburu," kata Bagaskara. Danyang itu hanya melirik Dina sekilas. Kemudian dia beranjak keluar ruangan tersebut bersama Bagaskara. Dina menutup mata. Berdoa sepenuh hati. *** Candy menganyunkan pedangnya berulang kali. Lebih dari limapuluh kali. Dia hanya bisa melampiaskan amarahnya dengan berlatih. Kata kata Danyang dan Bagaskara membuatnya kesal setengah mati. Mereka berdua tidak tahu rasanya direndahkan dan dihina. Dia berusaha sangat keras agar diakui oleh keluarga Haya. Dia, anak yatim piatu, seringkali mendapatkan perlakuan yang menyakitkan. Setelah mendapatkan proteksi khusus dan pengakuan dari keluarga Haya, dia bisa menegakkan kepalanya. Siapapun yang berani menghinanya, akan dia lumpuhkan. Dan ketika dia mendengar adanya pedang pusaka, pedang dewa. Pedang dengan kekuatan paling hebat itu, ada. Dia menginginkannya. Dia sangat menginginkan pedang pusaka itu. Sayangnya karena bukan pegawai dekat resmi ApiAbadi, dia tidak bisa mengikuti ujian mendapatkan senjata ApiAbadi. Pedang yang dia gunakan adalah pedang milik keluarga Haya. Pedang Dina yang diwariskan padanya. Dia menyukai pedang tersebut. Hanya saja ketika tahu ada pedang yang lebih hebat, dia pun tergoda. Dia tidak ingin membuang pedang lolipop ini, tetapi dia ingin mencoba menggunakan pedang dewa untuk bertarung. Maka statusnya sebagai yatim piatu tidak akan pernah diungkit lagi. Oleh karena itu dia sangat menyayangi tempat ini. Menyayangi anak-anak di asrama ini. Mereka sama seperti dirinya. Kehilangan kasih sayang orang tua asli. Sering mendapat pandangan miring dari orang luar. Candy tidak akan membiarkan siapapun berani merisak anak-anaknya. Dia juga ingat pernah menghajar seorang pria tua karena menyebut anak asamara dengan anak haram. Anak itu pulang dengan bercucuran air mata. Candy sangat marah, dan ingin langsung menghajar orang itu. Tetapi Dina melarang. Kekerasannya tidak akan menyelesaikan masalah, katanya. Tetapi Candy tidak sependapat. Orang seperti mereka akan terus dan terus menghina dan merisak anak-anak. Bagi Candy, orang semacam itu berani merundung karena menganggap anak-anak itu lemah dan bisa ditindas. Para pelaku bullying itu merasa berkuasa atas hidup anak anak itu. Mereka tidak akan berani mengolok-olok anak-anak dari keluarga berada atau keluarga bangsawan kaya. Mereka juga tidak berani melawan pendekar yang kuat. Candy tidak memiliki latar belakang yang bagus. Dia juga tidak kaya, yang dia punya hanya semangat bertarung. Karena itu dia diam-diam mendatangi lelaki tua itu dan membuatnya babak belur. Babak belur itu kata yang halus, mengingat hidung tua Bangka itu patah, begitu juga tulang jemarinya. Candy memastikan dia tidak akan muncul di hadapan anak-anak itu lagi. Dina tidak pernah tahu itu. Candy mengayunkan pedangnya sekali lagi. Namun ayunan itu mendadak berhenti. Dihentikan oleh sebuah tangan. Candy melotot. Siapa yang bisa? Dia menengok ke wajah pemilik tangan itu. Dan di sana Danyang sialan itu tersenyum geli. "Mau apa kau?" Bentak Candy. Danyang itu menggeser pedang yang terapung. Candy menurunkan pedangnya. "Memberimu pekerjaan," jawab Naraya riang. Candy mendengus tak percaya.  "Apa hidungmu tumpul atau bagaimana?" Tanya Naraya geli. "Katakan apa maumu!"  Naraya menggaruk hidungnya. "Sehasrusnya kau itu juga mengasah kemampuan membaca," "Aku bisa baca. Bukan buta huruf," sambar Candy marah. Dia tahu danyang sialan itu memiliki kabar penting. Tetapi membuatnya bertele-tele ini membuat Candy kesal. Informasi apa lagi yang danyang itu punya. "Belum selesai bicara, udah main sambar aja. Membaca situasi. Bukan membaca huruf," kata Naraya dengan nada tinggi. Candy menyimpan pedangnya. "Situasi apa yang kau maksud? Jangan-jangan..." Insting Candy baru bekerja. Dia melompat. Dengan beberapa pijakan, dia bisa sampai di atap gedung asrama. Tenggorokannya terasa kering seketika. Dia melihat ada beberapa musuh yang mengintai mereka.  "Beraninya mereka," geram Candy.  Suara angin berhembus di samping Candy. Naraya bergerak ringan, dia seperti terbang. "Bagaimana?" tanya Naraya di belakang Candy. candy menggeram marah. "Meskipun kau tidak mempekerjakanku. Tugasku adalah menjaga tempat ini!" desisnya. "Baguslah. Ayo berpesta babi," seru Naraya. "Babi?" "Mereka adalah jelmaan babi babi." Candy baru mengerti apa yang dikatakan Naraya. Ketika para babi, maksudnya musuh berwujud kepala babi menggunakan kapak mereka untuk mengahancurkan segel perlindungan. Segel itu mulanya transparan, kini terlihat seperti gelas kaca yang akan retak. "Hancurkan mereka!" Suara musuh bergema di seluruh asrama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD