Pulau Wrangel

1063 Words
"Bagaimana caranya kembali?" tanya Arunika.  Panda itu menguap dan melanjutkan tidurnya. Seolah permasalahan Arunika hanya sekedar memilih buah apa yang enak dimakan. Bukan perkara hidup dan mati.  "Hei panda, kenapa malah tidur?" rengek Arunika. Dia menggoyang-goyangkan tubuh panda.  "Aku tidak tahu," kata panda sambil mengusir Arunika. "Kau tanya beruang sana. Dia lebih lama tinggal di sini." Arunika ingin menjitak sekali saja kepala panda songong ini. Di mana mencari beruang seperti itu? Sudah berapa lama dia ada di sini. Apakah ada satu jam? Arunika sadar dia tidak boleh membuang-buang wakt. Dia harus segera kembali ke Kota Sabin. Dia berlari menurut kata hatinya saja. Tidak ada yang pasti di dunia ini. Mungkin dia akan tersesat. Tetapi itu lebih baik daripada berdiam diri.  Arunika mengucap nama beruang berulang kali. Semoga beruang itu atau siapapun yang bisa membantunya keluar dari sini. Dia terus berlari sambil matanya menyapu sekitarnya. Daerah yang dilewatinya bukan lagi tanah, namun sudah penuh dengan salju-salju. Tetapi sekarang anehnya, dia tidak merasa dingin seperti tadi. Dia merasa nyaman saja menginjak salju-salju ini. Badannya juga sudah berhenti mengigil. Apa yang terjadi pada tubuhnya. Semuanya tidak normal. Ah, di mana beruang itu? Kaki Arunika sudah mulai lelah berlari. Larinya berubah menjadi jalan cepat dan menurun lahgi menjadi jalan tertatih-tatih. Ketika medan yang dilaluinya ternyata menurun, Arunika tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya. Dia tersungkur dan terguling berselimutkan salju. "Aaaarggghhhh!" Arunika tidak tahu, sudah berapa lama dia berguling-guling. Dia menutup mulutnya karena kemasukan butiran salju dan terasa dingin menyenangkan.  Buk! Tubuh Arunika berhenti berguling. Dia merasa lega. Tetapi ketika dia membuka mata, rasa leganya hilang. Tubuh mungilnya kini berbenturan dengan seekor beruang kutub. Yang memandang dengan rasa lapar. Sejujurnya Arunika tidak tahu, apakah dia akan menjadi makanan seekor beruang sekarang? *** "Apa nama tempat ini sebenarnya?" tanya Arunika duduk bersimpuh dengan anak-anak beruang kutub itu. "Pulau Wrangel," kata beruang kutub itu. "Hmm, kata panda tadi ini inti Kota Sabin," kata Arunika ragu-ragu. "Itu juga betul. Kau mau apa ke sini?" "Aku ingin pulang." "Pulang ke dunia asalmu?" "Bukan, ke kota sabin. Tunggu, aku bisa kembali ke tempat asalku?" tanya Arunika penuh minat. "Bisa saja. Tetapi yakin itu hal yang kau inginkan sehingga bisa datang kemari?" Arunika menimbang-nimbang. Kalau dia bisa kembali ke tempat asalnya, apa yang akan dia lakukan? Dia senang dan sudah merasa nyaman berada di Kota Sabin. Terlebih lagi, orang itu hanya ada di Kota Sabin. Orang dengan kutukan sialannya itu. Tunggu, kenapa dia bisa memikirkan lelaki itu? Arunika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kau dipanggil ke sini, karena kau memang dibutuhkan. Tetapi kalau sudah bisa sampai ke inti, harusnya kau tahu, kau memiliki kesempatan untuk membantu kota ini lebih baik." "Kenapa harus aku?" "Itu pertanyaan yang belum boleh dijawab." "Kapan boleh dijawab?" Beruang itu menyuapi anak-anaknya dengan daging entah apa itu ke mulut mereka. "Setelah kota ini lebih baik." "Maksudmu setelah para wewe sialan itu lenyap?" Beruang itu hanya tersenyum. Arunika menyangka begitu. Sebab seperti apa sih beruang itu tersenyum. Mereka kan bukan marsha and the bear.  "Coba kau ingat-ingat lagi, kenapa kau bisa datang kemari. Apa permintaanm yang tulus itu?" Arunika mengingat ingat. Sebelum datang kemari dia sedang berada di hutan terbakar. Nafasnya sesak dan dia terasa mau mati. Dia meminta tolong agar api ini lenyap, di mana air?  "Aku mencari air untuk memadamkan kebakaran hutan. Dan tadi panda bilang air bisa ditaklukan," jawab Arunika. Matanya tajam menatap beruang itu.  "Kau ingat rupanya. Elemen bisa digunakan dengan bebas, bisa dimanfaatkan dengan bebas. Tetapi untuk dikendalikan, kau yang sekarang belum mampu." Arunika tidak memiliki waktu banyak. "Apa ada jalan pintas?"  "Ada." Mata Arunika berkilat-kilat di bawah sinar bulan. "Apa itu, dan bagaimana caranya?" Beruang itu menatap langit dengan sorot sedih. "Pusaka itu sudah dimiliki oleh Oriza Sativa. Namun dia sudah rusak." "Bagaimana mungin sebuah pusaka bisa rusak?" "Karena dikotori oleh Manusia Wewe. Pusaka itu lenyap ditelan bumi dalam keadaan rusak. Bisakah kau memperbaikinya?" Arunika menyeringai. Dia tidak tahu pusaka apa itu, dan sekarang rusak. Bagaimana caranya memperbaiki sebuah pusaka? "Aku akan membukakan kuncinya. Kalau kau bisa menggunakannya dengan baik, maka pusaka itu lama kelamaan akan pulih." "Aku akan mencoba. Terus bagaimana aku kembali ke sana? Dan apakah aku bisa kemari lagi?" "Manusia serakah," maki beruang. Arunika merasa malu. Tetapi dia harus tahu semua itu. "Ayolah, kasih tahu ya..." Arunika memohon. "Kau hanya bisa kemari bila meminta dengan sungguh-sungguh. Itupun tidak semua bisa, hanya orang pilihan yang diizinkan datang kemari. Keturunan Candra yang sudah mati itu dan kau salah satunya." "Lukman pernah ke sini?" tanya Arunika. "Iya, kau tidak jadi pulang?" Arunika menyampirkan tas di bahunya. "Jadi dong, pusaka itu berbentuk apa?" "Bentuk pusaka tidak pernah tetap. Dia bisa berubah menjadi apapun sesuai kebutuhan pemakainya." "Terus bagaimana aku mencarinya?" Beruang itu meletakkan kedua tangannay di belakang. Dia menarik napas panjang. "Kau akan tahu bila waktunya tiba. Oh iya, danyangmu sedang sakit. Jadi dia tidak akan bisa berubah menjadi manusia untuk sementara waktu." "Dewanti sakit? Sakit apa?" "Sakit karena kesalahannya sendiri. Di dunia ini ada aturan yang berlaku, kalau kau melanggar, kau harus berani menerima konsekuensinya." Arunika bertanya-tanya, kesalahan apa yang dilakukan oleh Dewanti. Tetapi dia tidak bisa menebaknya.  "Hampir satu jam kau di sini, jadi kembali?" tanya Beruang memastikan pilihan Arunika kembali. "Iya, aku harus menemukan jawabannya kan? Untuk apa aku dipanggil ke kota Sabin." Arunika tersenyum dan melambai pada beruang. Ketika tubuhnya rasanya tersedot ke dalam sebuah pusaran angin.Angin itu terus berpuat bak p****g beliung kemudian bergerak dan menghilang. "Lakukan tugasmu dengan baik, Arunika." *** Arunika membuka mata. Dia masih ada di lokasi hutan, sama seperti sebelum dia pergi ke inti. Tempat itu sudah trubus, meski masih ada sisa-sisa pohon kering dan gosong. Namun tunas-tunas baru mulai tmbuh dan memenuhi tempat itu. Cuaca hari itu sangat sejuk, seperti setelah datang hujan. Arunika meraih ponselnya, waktu menunjukkan satu tahun tepat setelah kejadian kebakaran itu. Apa yang dikatakan panda itu benar, satu jam di sana, berarti satu tahun di Kota Sabin. Dia mencatat hal-hal yang dia ketahui di dalam notes kecil.  Mendadak ponselnya berdering tanpa henti. Notofikasi Ratusan pesan dan panggilan tak terjawab masuk ke dalam ponsel pintarnya. Semua pesan-pesan itu dari teman-temannya. Ada juga dari orang itu.  Arunika, kau di mana? Pesan singkat yang masih menjungkarbalikkan hatinya. Namun dia harus menyingkirkan perasaan itu. Saat ini pasti dia sudah menjadi kepala keluarga Laksamana dan menjadi penebar benih. Tidak ada yang bisa lari dari kutukan itu. Kini ponselnya berdering lagi. Berdering lama. Bagaskara. Arunika mengangkat teleponnya. "Halo Kak," kata Arunika menahan senyumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD