Satu Tahun

1083 Words
Bagaskara membuka jendela kamarnya. Badai hujan telah pergi. Dia mengembuskan napas keras. Menarik nafas dalam-dalam menikmati aroma tanah selepas hujan. Bau ampo. Matahari yang semula sembunyi kini sinarnya masuk ke ventilasi dan jendela kamar Bagaskara. Sinar matahari pagi, Arunika. Bagaskara mengambil ponsel dari kasur. Dia membuka pesan Arunika. Sudah setahun gadis itu menghilang. Dia berpikir mungkin Arunika kembali ke dunia asalnya. Sebab di Kota ini, pasti menyakitkan buatnya. Bagaskara menyesal sering meledeknya dengan lelaki itu.  Jadi setiap pagi ketika, matahari bersinar terang seperti ini. Bagaskara akan teringat dengan Arunika. Maka yang dia bisa lakukan hanya memandangi pesan-pesannya pada Arunika. Namun pagi itu dia tersentak kaget. Notifikasi pesan Arunika online, setelah selama setahun ini nonaktif. Apakah dia masih ada di kota ini. Bagaskara tak menunggu lama, dia langsung menyentuh gambar ganggang telepon itu. Jantungnya berdegup kencang. Apakah ponsel Arunika dipakai orang lain, apakah benar Arunika yang kembali ke kota Sabin. Atau dia keluar dari persembunyiannya. Apakah Arunika baik-baik saja? Smeua pertanyaan itu tertahan di lidahnya. Ketika dia mendengar suara gadis itu. "Halo Kak." Bagaskara merasakan matanya basah. Dadanya terasa sesak namun lega. "Aru, kau baik-baik saja?" hanya itu yang keluar dari mulut mulutnya. *** Begitu melihat sosok mungil Arunika yang berdiri dipinggir jalan. Bagaskara menginjak rem mobil. Begitu mobil berhenti,dia membanting pintu dan berlari ke arah Arunika.Memeluk gadis itu. Arunika agak kaget mendapat perlakuan seperti itu. Sebab baginya, mereka hanya tidak bertemu selama beberapa hari. Tetapi bagi Bagaskara tentu berbeda. Arunika hanya bisa menepuk-nepuk punggung lelaki yang dianggap kakaknya itu. Arunika jadi teringat beruang kutub. Bagaskara mirip dengannya. Arunika terkikik. Bagaskara melepaskan pelukannya ketika mendengar Arunika tertawa. "Apa yang lucu?" "Kau!" Jawab Arunika tak tahan menahan tawanya. Bagaskara merasa malu. Mungkin tindakannya tadi sedikit berlebihan. Tetapi dia tidak dapat menahan diri, setelah selama setahun mereka mencari Arunika ke seluruh penjuru Kota Sabin, dan tak menemukan jejaknya sekecil pun. Bahkan Bayu menyuruh tim forensik mengobrak abrik bekas kebakaran untuk mencari jejak Arunikja, barang sehelai satu rambut saja, namun tak ada hasilnya. Dan kini gadis itu berdiri di hadapannya dengan sosok yang sama seperti satu tahun lalu. Tak ada perubahan, rambutnya masih pendek, dan gaya berpakaiannya masih saja jadul. celana jeans dan kaos belel.  "Kau berhutang banyak cerita padaku. Ayo kita cari makan, peliharaanku sudah kelaparan," kata Bagaskara. Arunika berjalan cepat di sampaing Bagaskara. "Kau sekarang memelihara hewan?" Arunika tercengang, dalam setahun pasti banyak yang berubah.  "Iya ada," jawab Bagaskara. "Hewan apa itu?" Arunika membayangkan Bagaskara memelihara kucing, burung atau kelinci. "Naga." Arunika tak percaya. "Naga? apa naga juga ada di sini?" "Tentu saja ada." Bagaskara terlihat terhina.  Arunika baru saja mau meminta maaf ketika Bagaskara melanjutkan perkataannya. "Di dalam sini," tunjuk Bagaskara ke perutnya. "Dia sudah berisik dari tadi." Bagaskara menahan tawanya. Mata Arunika melotot. Dia telah kena jebakan Bagaskara. "Sialan!" Maki Arunika. Bagaskara tertawa terbahak-bahak.  Arunika masih cemberut ketika duduk di mobil.  "Pasang sabuk pengaman," kata Bagaskara. Arunika mematuhinya. Bibirnya masih manyun. "Sebentar lagi, aku punya peliharaan baru. Bebek manyun." Arunika memukul keras lengan Bagaskara. "Dasar rese!" Kemudian mereka berdua tertawa terbahak-bahak. "Bagaimana kau bisa berada di hutan itu? Dan kemana saja kau selama setahun ini?"  "Hmmm... besok besok saja ceritanya. Aku masih malas menjelaskan." "Baiklah. Kau mau makan apa? Kita akan cari makan di sekitar sini. Ada warung nasi jagung yang enak di wilayah Oriza Sativa." "Aku nggak mau. Aku mau mi instan," rengek Arunika. "Makan mie instan tidak sehat Aru. Bagaimana kalau makanan yang lain." Bagaskara menyebutkan nasi goreng, sate, lontong sayur, nasi pecel. "Nasi pecel aja," sela Arunika. "Oke." Mereka makan di salah satu warung yang ada di pinggir wilayah Oriza Sativa. Sepanjang perjalanan Arunika tak melewatkan satu pun pemandangan yang terhampar. "Apa saja yang sudah terjadi selama setahun ini? Bagaimana kabar Panji, Apiabadi?" Arunika tidak menyebutkan nama itu. Meskipun dia ingin sekali tahu kabar lelaki itu.  "Banyak. Dari wilayah Oriza Sativa ini saja ada." "Apa itu?" "Belakangan ini mereka kesulitan mendapatkan air. Sepertinya waduk yang digunakans udah tidak mampu menampung air hujan dalam jumlah yang normal. Sehingga ada beberapa wilayah yang tidak mendapatkan air. Mereka mengalami gagal panen yang pertama. Kami curiga hal inia da hubungannya dengan manusia wewe. Mana mungkin waduk yang bisa rusak dalam waktu singkat." Arunika mengernyitkan dahinya. "Apakah manusia wewe masih sering muncul?" "Sayangnya iya. Dan ada wilayan yang tidak bisa kita pertahankan," kata bagaskara berubah muram. "Maksudnya bagaimana itu?" "Ada beberapa keluarga yang menolak Bayu sebagai petinggi agung Apiabadi. Sehingga terjadi penolakan." "Kenapa, apakah dia tidak cukup kompeten?" "Bukan itu. Dia tidak boleh menjabat dua kekuasaan. Dia harus melepas satu. Dan dia tidak melakukannya." "Serakah," kata Arunika ikut kesal. "Kau marahi saja dia. Dia mungkin mendengarkanmu," tuntut Bagaskara. "Males berurusan dengan penebar benih," kata Arunika merengut. "Selama setahun ini, dia tidak melaksanakan kutukannya. Alias dia tidak berhubungan dengan perempuan manapun," kata Bagaskara. Arunika tercekat. "Kenapa?" Bagaskara menoleh pada Arunika, tersenyum. "Kau tahu kenapa." Arunika merengut. "Aku tidak menyangka, kau akan membelanya. Setelah kau menyuruhku untuk melupakannya," cecar Arunika. Bagaskara terkekeh. "Kau akan menghubunginya?" Arunika menggeleng. Dia memiliki misi yang lebih penting. Menemukan pusaka Oriza Sativa. "Apakah aku bisa tinggal di sini, tanpa ketahuan olehnya?" "Di sini? Di wilayah Oriza Sativa?" Arunika mengangguk. "Kau bisa bicara pada Aditya, sekarang dia kepala keluarga Oriza Sativa." "Apa? Itu artinya ayahnya meninggal?" "Iya, satu bulan setelah kebakaran itu. Pelaku tidak tertangkap, dan kau menghilang. Bayu jadi orang gila. Aku mengingat masa-masa kelam berada di sana." Bagaskara merinding mengingatnya. "Kacau semuanya." Arunika bersimpati. Dia tidak ada di sana, mungkin juga dia tidak bisa membantu apapun.  "Sekarang Bayu lebih sering memberi perintah dari rumahnya. Betari yang lebih sering mengatur di Apiabadi." "Betari? Nona penjaga senjata itu?" "Oh iya, kau mengenalnya. Iya dia. Meski aku merasa dia agak aneh sekarang. Dari dulu dia aneh, sekarang lebih aneh." Bagaskara mengangkat bahunya. "Kalau kau tidak ingin diketahui oleh Bayu, matikan saja ponselmu. Kau bisa menggunakan ponsel Aditya, kalau kangen aku." "Idiiih!"  Bagaskara tertawa. "Kau tahu, aku kangen padamu. Aku bersyukur kau kembali ke sini. Kau menduga kau kembali ke duniamu." "Sempat terpikir untuk kembali ke sana. Tetapi aku penasaran dengan kota ini. Selain itu ada jawaban yang harus kucari, dan jawaban itu hanya ada di sini." "Apapun alasannya, terima kasih sudah kembali." Arunika merasa hatinya hangat.  "Ngomong-ngomong, kau tahu pusaka yang bisa mengendalikan air?" "Pusaka milik Oriza Sativa?" Arunika bertepuk tangan. "Aku tidak menduga, kau tahu soal itu." "Kau menghinaku ya?"  Arunika menyeringai.  "Pusaka itu sudah musnah. Terbakar. Itu kejadian yang sangat lama. Tetapi disembunyikan." "Terbakar?" "Iya, salah satu leluhur Oriza Sativa adalah manusia wewe. Dia sendiri yang merusak pusaka itu." Arunika sulit percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD