Kali ini Aru diminta tinggal di rumah Bu Fatma dan Pak Harto. Keduanya tidak memiliki anak. Aru belum berani bertanya hal tentang anak pada Bu Fatma. Aru melihat ada sorot mata sedih setiap Bu Fatma melihat bayi atau pun anak-anak bermain di sekitar rumahnya.
Aru menyimpan pertanyaan itu jauh dalam hati. Dia tidak ingin melukai perasaan Ibu Fatma.
Paginya, Aru akan pergi ke dapur membantu Bu Fatma menyiapkan sarapan. Meski Bu Fatma berulangkali menyuruh Aru untuk siap masuk kuliah, Aru bersikeras membantu.
"Non Aru kenapa belum masuk kuliah?" Kata Bu Fatma dari balik bahu, tangannya sibuk memotong sayuran.
"Belum siap, Bu." Aru mengambil lap dan mengangkat panci berisi air mendidih, menuangkannya ke dalam gelas berisi teh dan gula. Pikiran Aru masih kalut. Terutama tentang kota ini. Dia masih belum percaya sepenuhnya bahwa dia berada di kota antah berantah, tidak satupun yang dia kenal. Terlebih lagi, dia mahasiswi. Memangnya dia mengerti apa soal jadi anak kuliahan?
"Non termasuk yang beruntung bisa kuliah. Apalagi menjadi anak asuh keluarga Kiandra."
Setelah melihat langsung bagaimana sikap keluarga Kiandra, Aru merasa tidak seberuntung itu.
"Memangnya keluarga Kiandra itu seberapa hebat,Bu?"
Begitu mendengar pertanyaan Aru, Bu Fatma merasa heran. Bahkan dia menghentikan sejenak aktivitasnya dan menatap Aru.
"Non Aru bukan dari kota Sabin ya?"
Aru gelagapan. Apakah aneh bila dia berasal dari luar kota? "Apakah ada yang aneh Bu?"
Bu Fatma menghela nafasnya. "Ibu kira, non Aru hanya gadis dari kota yang tidak tahu Huller, tetapi ternyata dari luar kota yang tidak tahu sama sekitar tentang kota ini."
Aru merasa malu ketika disinggung terkait Huller.
Bu Fatma melanjutkan,"Nanti kita bicara setelah makan ya Non, banyak yang harus Non ketahui tentang kota ini."
Aru mengangguk kepala. Mereka kemudian melanjutkan memasaknya. Menyiapkan di meja makan dan menyantapnya bertiga. Bu Fatma ternyata tidak berbohong untuk bercerita lebih tentang kota Sabin.
"Non Aru, boleh memiliki pacar. Tetapi tidak boleh hamil," tegas Bu Fatma.
Aru tersedak ketika mendengar petuah yang tidak biasa.
"Di kota ini, ibu hamil tanpa suami adalah hal yang sangat berbahaya. Bukan karena dia melanggar norma, tetapi dia bisa menjadi sasaran utama Wewe. Non sudah pernah bertemu dengan Wewe?"
Aru menggeleng. Amit amit deh dia harus berurusan dengan Wewe. Meskipun penasaran,tetapi nyalinya ciut juga. Mendengar nama Wewe disebut saja, dia sudah merinding.
"Dan laki-laki harus menunjukkan keseriusan dengan pernikahan. Pernikahan pun tidak cukup, kepercayaan adalah yang utama."
Pak Harto yang sedari sibuk menyesap rokoknya, kini ikut menimpali. "Dulu kami memiliki sempat memiliki anak. Sayangnya sebelum melihatnya ke dunia, kami telah kehilangannya. Sampai saat ini, Bapak masih menyesal menjadi pengecut saat itu. Tidak mampu melindungi perempuan yang kucintai."
Bu Fatma menggenggam tangan Pak Harto. Bu Fatma tersenyum sembari menggeleng lemah. "Ibu pikir, Wewe hanya bisa mengincat yang kandungannya sudah besar. Ternyata tidak."
Aru berdiri langsung memeluk Bu Fatma. Matanya mulai basah membayangkan dua sejoli muda yang saling mencintai, kemudian kebingungan dengan hadirnya janin. Di saat seperti itu, mereka mendapat masalah yang lebih besar yaitu kehilangan calon anak mereka. Mereka belum siap menghadapi kehadiran jabang bayi, malah kehilangannya dengan cepat.
"Non Aru kuliah di mana?"
Aru tidak ingat sama sekali dengan nama kampusnya. Dia masuk ke kamar dan mengambil kartu mahasiswa. "Di Kampus Malawapati. Jauh dari sini lah?"
"Oh non Aru kuliah di kampus favorit. Ada bus yang langsung menuju sana. Hanya setengah jam saja perjalanannya."
Aru merogoh handphone dari dalam tasnya, dia meminta nomer rumah Bu Fatma dan menyimpannya.
Aru meminta ikut ketika Pak Harto akan pergi ke sungai. Selain ke sawah, biasanya Pak Harto juga memancing di sungai. Sungai besar yang dulu pernah dilewati kapal kapal besar itu kini hanyalah sungai biasa. Yang ada hanya perahu penyebrangan atau perahu penambang pasir.
Pak Harto membonceng Aru mengenakan sepeda butut miliknya. Suaranya dut dut mengiringi perjalanan mereka.
Pak Harto memarkir motornya di dekat warung kecil sebelah jembatan lama. Ada dua jembatan di sini. Jembatan lama sudah tidak bisa digunakan.
Bagian tengah jembatan hanya tersisa kerangka besinya saja. Meski demikian Aru berjalan mendekat mengamati jembatan ini. Ada yang membuatnya tertarik.
"Pak, ini jalan menuju jembatannya kok ada aspal dan rel kereta?"
Pak Harto menengok di mana Aru berada kemudian berteriak. "Hati-hati Non." Dia mengambil tas yang dijepit di motornya. Tas tersebut berisi pakan dan juga pancing lipat.
Pak Harto tidak mengerti apa bagusnya jembatan lama itu sehingga membuat Aru tertarik. Menurutnya,Aru juga memiliki selera yang aneh.
"Ini cuma jembatan lama Non, tidak ada yang menarik. Ayo turun ke bawah," ujar Pak Harto. Dia langsung berjalan menuruni jalan turun menuju tepi sungai.
Aru berlari kecil agar bisa berdiri sejajar dengan Pak Harto. "Justru buatku sangat menarik. Jembatan ini ada aspal, tetapi juga ada rel kereta. Berarti digunakan dua transportasi berbeda. Teknologi yang keren."
"Iya dulu memang begitu. Kalau kereta lewat,maka mobil harus minggir di luar jembatan,"jelas Pak Harto sambil terus berjalan.
"Ada dokumentasi tentang jembatan ini nggak ya?" Aru ingin tahu tentang kota ini lebih jauh. Meskipun ada teror Wewe yang menakutkan. Sejarah tentang kota ini tetaplah menarik untuk dikulik. Bagaimana kota ini tetap bertahan terutama secara ekonomi, padahal aktivitas malam tidak dilakukannya.
"Mungkin di perpustakaan Non," Pak Harto mencari tempat yang nyaman untuk diduduki. Dia memasang umpan pada kailnya kemudian melemparkan pancing ke dalam sungai.
Aru menepuk jidatnya. Perpustakaan. Tidak pernah sekalipun tempat itu terbersit di pikirannya begitu dia mengingatkan kaki di kota ini. Pasti di sana banyak informasi yang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan Aru. Terutama tentang kota ini. Bagaimana sejarahnya Wewe bisa hadir dan lainnya.
Aru bertekad dia harus segera ke sana. Banyak daftar yang harus dicarinya lewat buku. Dia menyayangkan hape jadul miliknya Karen tidak bisa menelusuri di internet. Tentu lebih mudah bila memiliki hape canggih. Tetapi Aru memang menyukai handphonenya miliknya.
Aru berjalan mondar mandir di belakang Pak Harto duduk. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. Pak Harto sudah memintanya duduk, namun Aru menolak. Dia ingin melihat di sekitar sungai ini.
"Sepertinya sungai ini tidak dalam ya Pak?"
Pak Harto tersenyum mendengar pertanyaan Aru. "Kelihatannya memang begitu. Padahal tidak. Sungai ini memiliki arus dalam yang deras Non. Banyak orang tenggelam di sini,"
Aru melongo. "Tapi kok ada itu… jembatan penyebrangan Pak?" Jarinya menunjuk jembatan dari bambu yang melintang dari sisi tempat dia berdiri sampai sisi seberang sungai.
"Karena sekarang musim kemarau. Jadi perahu tidak bisa lewat. Makanya warga di sekitar sini membuat jembatan darurat. Seperti itu," jawab Pak Harto setelah mengepulkan asap rokoknya.
"Oh begitu. Pasti butuh waktu lama untuk membuat jembatan bambu ini ya Pak."
Mendengar ucapan Aru, Pak Harto tertawa. Dia tidak menyangka bahwa Aru begitu polos. "Tidak Non, Hanya butuh satu hari saja."
Aru ikut tertawa dengan paksa. Dia berusaha menyembunyikan rasa malunya. Pasti Pak Harto menganggapnya bodoh. Tetapi dia mengakui bahwa ada banyak hal yang dia tidak tahu. Padahal dia sudah membaca banyak buku. Namun ternyata ilmu dan pengetahuan itu tidak terbatas dan selalu berkembang. Semakin dia tahu, semakin banyak pula dia tidak tahu.
Ketika matahari sudah di atas kepala mereka, Pak Harto mengajak Aru ke warung untuk minum es. Hari ini Pak Harto kurang beruntung. Umpannya hanya sedikit mendapatkan ikan.
Aru melongok ke dalam ember yang berisi ikan. "Ikannya apa ini, aneh."
"Ikan gloso. Ikan asli sungai sini. Enak nanti digoreng dan dicocol sambal."
Ketika membayangkan betapa nikmatnya makan ikan dengan nasi hangat, Aru merasakan air liurnya menetes. Dia langsung mengelap ujung bibirnya dan menelan ludah. Dia ingin segera pulang. Lamunannya buyar ketika Pak Harto menyuruhnya untuk duduk, sebab es teh pesanannya sudah datang.
Di warung itu, ada pengunjung lain selain Aru dan Pak Harto. Mereka juga menikmati minuman es di cuaca yang panas ini. Obrolan mereka mengenai ibu hamil membuat Aru memasang telinga lebih tajam.
"Bulan ini sudah sepuluh korban yang tewas. Kasihan sekali," kata lelaki berjaket hitam.
"Padahal katanya pendekar ApiAbadi hebat. Kok masih ada korban ya?" Timpal lelaki berkaos putih.
"Kabarnya mereka kekurangan orang. Siapa yang mau daftar coba? Nyawa taruhannya," Lelaki berjaket hitam itu menenggak esnya sampai habis. Kemudian hendak pergi.
Lelaki berkaos putih itu bertanya pada lelaki berjaket hitam. "Mau kemana?"
"Ke kantor ApiAbadi. Cari data jumlah pendekar," jawabnya singkat dan berlalu pergi.
"Dia wartawan," jelas Pak Harto yang sedari tadi diam saja ikut mendengarkan.
Arunika menganggukkan kepalanya. Dia berencana akan pergi ke perpustakaan setelah makan siang. Tidak bisa ditunda lagi!
"Tidak boleh lebih dari jam empat. Harus segera pulang," pesan Bu Fatma melepas Aru pergi. Aru hanya mengacungkan jempolnya.
Tidak sulit ternyata akses menuju kota. Meski tempat tinggalnya tergolong di desa. Hanya naik bus sepuluh menit, dia sudah berada di perpustakaan. Pperpustakaan ini cukup luas. Terbagi beberapa gedung sesuai tema. Sastra, sejarah, sains dan arsip. Aru memilih untuk memasuki gedung sejarah terlebih dulu. Kebenaran apa yang tersembunyi di kota Sabin ini.
Selain itu Aru berharap dia menemukan petunjuk dari bus sialan yang telah menculiknya ke kota Sabin. Setelah membaca sejarah kota Sabin, Aru beranjak ke gedung arsip.
Melalui koran dan juga kliping kliping yang dia baca, kabar tentang Wewe selalu ada.. Makhluk ini memburu janin yang masih berada di dalam kandungan. Karena itu tingkat kematian ibu hamil begitu tinggi. Aru juga membaca tentang Api Abadi. Organisasi ini didirikan oleh pemerintahan didukung para bangsawan untuk membasmi dan melindungi ibu hamil. Aru begitu tenggelam dalam semua informasi itu dan tidak sadar matahari hari mulai sore.
Peringatan jam malam mulai didengungkan di seluruh kota. Para perempuan diminta untuk segera pulang ke rumah dan memasang musik untuk menangkal Wewe. Sedangkan perempuan yang hamil harus dievakuasi ke gedung milik pemerintah agar aman tanpa Wewe.
Arunika pun keluar menyusuri lorong rak-rak buku. Kakinya berhenti ketika ujung matanya membaca judul sebuah buku. Buku itu berjudul Wewe Yang Menari Dengan Irama Kentongan. Buku yang tebalnya melebihi kamus bahasa Inggris itu diambilnya. Di balik rak itu, Arunika melihat perempuan menangis dan memohon di kaki seorang laki laki memintanya untuk bertanggungjawab. Lelaki itu enggan dan menyuruh si perempuan menggugurkan kandungan saja. Daripada dia dan bayi dimakan Wewe. Lelaki itu juga belum siap untuk menikah dan memiliki keluarga. Lelaki itu meninggalkan perempuan yang malang itu bersimpuh di lantai.
"Lelaki pengecut," gumam Aru.
Tanpa sadar kaki Aru berjalan mendekati dua orang itu. Tinjunya langsung melayang ke wajah lelaki itu. Si perempuan menjerit, lelaki itu terhuyung ke belakang.
"Siapa kamu?" Bentak lelaki itu.
"Dasar pengecut, pecundang," umpat Aru.
Lelaki itu tidak terima. Dia berteriak dan menyebut Arunika sebagai Wewe.
Begitu kata Wewe terdengar di dalam gedung itu, semua orang yang ada di perpustakaan langsung berlarian membabi buta.
Lelaki itu memanfaatkan situasi dan menunjuk Arunika. "Wewenya di sini, dia manusia Wewe."
Orang-orang yang panik dengan kata Wewe, tanpa pikir panjang mereka melempari Arunika dengan buku. Arunika yang merasa terancam langsung berlari menghindar. Dia menarik tangan perempuan itu dan kabur keluar perpustakaan.
Perempuan itu hanya pasrah mengikuti langkah Aru. Mereka bersembunyi di belakang gedung perpustakaan. Belakang gedung ternyata masih berupa sawah ya g luas. Perempuan itu terus menangisi hidupnya. Arunika berusaha berjalan mondar mandir berpikir apa yang harus dilakukan. Perempuan yang malang itu terus menangis. Mereka berdua tidak sadar ketika matahari sudah terbenam sepenuhnya.
Mereka lupa ada setan yang mengincar mereka.