Nama kota Sabin baru diresmikan sekitar sepuluh tahun yang lalu. Jauh sebelum nama Sabin itu muncul, tempat ini hanyalah hutan belantara. Hutan yang sama sekali belum pernah dijamah. Terkenal dengan sebutan Hutan Perawan. Di dalam hutan perawan, banyak hewan purba yang hidup di sana. Gajah, sapi, dan kerbau yang berukuran lebih besar dari jenisnya masih ada di sana.
Di dalam hutan, sebuah sungai besar melintasi wilayah itu. Saking besarnya sungai itu, bisa memuat kapal-kapal hingga larung sampai laut. Sebelum melintasi sungai tersebut harus dilakukan ritual, agar kapal yang lewat bisa selamat dari penghuni hutan perawan. Meski demikian, jarang yang mau melakukannya.
Hingga ada satu keluarga bangsawan yang berani melakukan pelayaran melintasi sungai besar di wilayah Sabin.
Bukan tanpa alasan keluarga itu menantang nyali memasuki wilayah tersebut. Mereka merupakan pelarian. Dan lebih aman berada di tempat yang belum dijamah manusia. Mereka satu keluarga menyewa tukang kayu yang paling hebat untuk membuat kapal besar. Mereka akan melakukan pelayaran lewat sungai menuju laut lepas.
Sayangnya kapal tersebut tidak pernah sampai pada laut. Orang - orang berasumsi kapal mereka tertahan di wilayah terlarang. Bukannya bersimpati atas hilangnya kapal, banyak orang yang lebih menginginkan harta dari kapal itu. Dikabarkan bahwa bangsawan itu membawa seluruh hartanya dalam kapal.
Kabar tentang peti harta Karun itu membuat suasana memabas. Seperti semut yang menemukan sarang gula. Ribuan orang mencoba menyusuri sungai untuk mencari kapal tersebut. Mereka melakukan penebangan hutan sedikit demi sedikit sepanjang sungai. Mereka berharap setan atau hewan buas segera menyingkir dari pinggir sungai.
Warga dari wilayah lain juga tertarik untuk mencari harta tersebut. Mereka yang memilih takut lapar ketimbang sayang nyawa, membuat rencana sedemikian rupa untuk membuka lahan sepanjang sungai.
Mereka beranggapan kapal tidak mungkin bisa masuk ke dalam inti hutan. Jadi kapal pasti bersandar di tepi sungai.
Ketertarikan mencari harta semakin lama semakin redup. Sebab orang - orang yang pergi mencari harta rupanya tidak pernah kembali.
Pohon-pohon lebat sepanjang sungai telah hilang. Peradaban berubah secara alami. Orang - orang sedikit demi sedikit membuat pemukiman di sepanjang sungai. Anehnya, belum pernah ada satupun bayi yang lahir dari keluarga yang tinggal di wilayah pinggir sungai.
Salah satu tetua di sana kemudian membuka tabir terlarang. Dia langsung masuk ke dalam inti hutan. Dia bersemedi dan meminta keturunan. Dia membuat perjanjian dengan setan.
Setan tersebut memberi syarat agar diberikan satu tumbal bayi yang masih ada di dalam kandungan. Tetua itu langsung menyanggupi. Dia mampu memberikan salah satu calon bayinya kelak.
Kabar tentang perjanjian dengan setan itu dilakukan tidak hanya satu orang. Mereka percaya bahwa mereka bisa mendapatkan keturunan dengan melakukan hal itu.
Benar! Kehamilan istri tetua membuat mereka makin yakin. Terus itu bahkan memiliki lima anak. Harusnya enam, namun yang satu harus jadi tumbal. Tetua itu memanggil setan tersebut dengan nama Wewe.
Sayangnya tetua tersebut tidak menyangka bahwa garis keturunannya akan menjadi manusia Wewe. Manusia Wewe secara fisik hanyalah manusia biasa saat siang hari. Namun ketika malam mereka berubah bentuk menjadi Wewe dan mulai memburu bayi.
Tetua menutup rapat aib yang diterima keluarganya. Dia selalu melindungi anaknya yang menjadi manusia Wewe. Dia berkeliling kampung untuk mencari tahu siapa yang sedang hamil, kemudian membuat rencana agar anaknya bisa memakan calon bayi itu.
Waktu berjalan, jumlah ibu hamil yang meninggal semakin banyak. Orang-orang mulai curiga kematian tersebut bukan kecelakaan atau sakit. Tetapi pembunuhan. Namun mereka tidak memiliki satu prasangka apapun terhadap manusia Wewe.
Hingga suatu hari, sekelompok pemuda berhasil menemukan setan yang mencelakakan ibu hamil. Mereka melihat seorang perempuan berubah penampilan cantiknya menjadi setan yang kelihatan kepala dan organ dalam saja.
Kelompok pemuda ini memberi tahu tetua mereka. Namun tetua tidak percaya,dan menganggap mereka hanya salah lihat saja.
Para pemuda ini membuat grup ronda. Dan pada hari hari tertentu, memang benar perempuan jadi-jadian itu selalu muncul di sekitar ibu hamil. Dengan modal nekad, pemuda itu menyerang Wewe.
Bukannya berhasil mereka terpelanting menjauh dan tidak sadarkan diri.
Keesokan harinya ditemukan jenazah seorang perempuan dengan perut yang sudah tercabik-cabik.
Seorang bangsawan dari kota lain mendengar kabar itu dan datang ke Sabin. Dia membuat sebuah alat perlindungan bagi ibu hamil dan anak-anak. Larangan keluar malam buat perempuan dan anak-anak mulai diberlakukan. Tetapi nyatanya tetap ada korban. Meski jumlahnya mulai berkurang.
Para bangsawan ini kemudian menjadi tokoh yang disegani dan juga berkuasa di Kota Sabin. Mereka memiliki wilayah masing-masing. Ada sepuluh bangsawan yang mendiami Kota Sabin. Namun hanya dua yang berada di pusat kota.
Setiap bangsawan memiliki bisnis sendiri. Dan warga biasa hanya mengikuti bangsawan mana yang menguasai daerah mereka.
Peradaban berkembang. Teknologi - teknologi mulai muncul untuk mempermudah manusia. Termasuk diantaranya mesin penebang pohon. Pembangunan membutuhkan banyak kayu, perlahan pohon di hutan perawan mulai ditebangi.
Kepercayaan akan Hutan yang memiliki penghuni menyeramkan tidak berlaku lagi. Wilayah hutan kian sempit. Terlebih lagi ditemukannya jenis pohon jati kualitas super yang berada di dalam hutan.
Warga saat itu menyadari bahwa kayu di sana memiliki nilai jual dari kayu jenisnya. Maka mereka mulai menebang pohon dan menjual kayunya. Yang berkuasa atas wilayahnya itu tentu saja yang memiliki modal besar untuk membayar blandong dan memiliki koneksi pengusaha kayu.
Pembalakan liar terjadi setiap saat. Deru mesin gergaji terdengar setiap hari. Hewan hewan mulai berlarian, melihat rumahnya dibasmi. Bahkan mereka pun jadi buruan manusia. Tidak hanya dijadikan makanan, kulit dan tulang juga manusia jual untuk menambah kekayaan mereka. .
Tanah yang penuh dengan kesan angker kini berubah fungsi menjadi sawah. Lambat laun, nama hutan perawan dihilangkan. Wilayah itu kini berubah nama menjadi kota Sabin.
Satu yang tidak berubah adalah jumlah kematian ibu dan bayi yang terus pada angka tinggi. Kematian tersebut menjadi borok Kota Sabin yang tidak bisa dipulihkan citranya.
Para penduduk pun seolah sudah pasrah dengan keadaan tersebut. Mereka tidak bisa meninggalkan tanah kelahiran mereka, namun juga mengalami ketakutan setiap malamnya.
Peresmian Kota Sabin dilakukan dengan bantuan bangsawan. Keturunan bangsawan yang pernah dianggap hilang, kini muncul di tengah-tengah masyarakat. Publik bertanya-tanya, namun mereka tidak pernah menjelaskannya.
Kata Sabin sendiri diambil dari bahasa Jawa kuno, yang berarti sawah. Sebab nyaris seluruh wilayah Sabin adalah persawahan. Di mana petani dan peternak menjadi mata pencaharian mereka.
Bangsawan itu mencetuskan pembentukan organisasi ApiAbadi untuk membasmi Wewe. Dana yang digunakan adalah hasil penjualan kayu-kayu hutan perawan. Dan jumlahnya sangat besar hingga menopang seluruh operasional ApiAbadi. Mulai dari riset sampai pembentukan sumber daya manusia untuk membasmi Wewe.
Api abadi memiliki dedengkot manusia yang memiliki kelebiha. Manusia super ini disebut dengan empu. Empu empu ini membuat senjata yang mampu mengalahkan Wewe.
Bangsawan juga memberikan ide untuk terus melakukan reboisasi terhadap kayu jati super. Hal ini bertujuan agar perputaran uang dalam Kota Sabin.
Perlahan kota Sabin terus berkembang, lahan sawah mulai tergerus menjadi gedung dan rumah-rumah. Meski demikian, pembangunan tersebut belum merata. Pusat kota Sabin, masih ada lahan sawahnya. Para pemilik sawah enggan menjual sawah mereka pada pemerintah daerah. Mereka beranggapan tidak akan memiliki pekerjaan lain selain menjadi petani.
Wewe. Adalah kata yang sangat dikenal dan menjadi teror bagi penduduk Kota Sabin. Meskipun teknologi semakin canggih, listrik dan internet masuk kota Sabin. Teror Wewe belum menunjukkan akan musnah.
Teror tersebut menjadikan ApiAbadi menjadi pahlawan bagi kota Sabin. Setiap malamnya para pendekar apiabadi membasmi Wewe yang muncul.