Arunika menutup pintu kamarnya. Membiarkan Naraya dan Kiandra berbicara tanpa gangguan. Selain itu, perasaannya sedikit buruk, dia teringat ibunya.
Dewanti sedang tiduran mengkurep di ranjang. Dia membaca komik sambil tertawa-tawa. Seperti biasa, di dekatnya selalu ada cemilan. Arunika iri melihat hidup Dewanti yang tak pernah punya masalah.
Arunika menatap tajam pada Dewanti. Ada banyak pertanyaan yang ingin dia ajukan. Seperti, kenapa aku harus berada di kota ini? Kenapa harus aku? Tapi pertanyaan itu tak pernah bisa keluar dari mulutnya. Dia terlalu takut mendengar jawabannya.
Dewanti menoleh. "Kau kenapa? Habis kencan kok murung? Apa Bayu membuatmu begini?" Tanya Dewanti menelisik.
"Bukan!"
"Terus kenapa? Gara-gara buaya sialan Laksamana itu? Tenang saja, setelah ini dia tidak akan berani menganggumu," kata Dewanti.
Arunika mengernyit. Darimana Dewanti tahu dia dilecehkan oleh Laksamana? Apa Dewanti mengikutinya? Tunggu, jangan-jangan yang membuat Laksamana patah leher adalah Dewanti. Arunika harus tahu.
"Dew," panggil Arunika. Dia duduk di tepi ranjang.
"Hmm," jawab Dewanti. Matanya masih menatap komik yang dibacanya.
"Apa... Apa kau yang membuat Laksmana celaka?" Arunika bertanya dengan suara setenang mungkin. Menyembunyikan jantungnya yang berdebar keras.
"Iya. Kenapa?" Tanya Dewanti tanpa mengelak.
"Apa? Tapi kenapa?" Arunika sulit percaya.
Dewanti menutup komiknya. "Karena dia berani melecehkanmu." Dewanti berdiri dari posisi tidurnya. Dia memandang Arunika dengan tajam. "Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu, termasuk Bayu."
"Tetapi membuatnya patah leher, itu hukuman yang sadis," bantah Arunika.
Dewanti mengabaikan protes Arunika. Dia membuka pintu kamar. Dan meninggalkan Arunika yang masih mengomel di belakangnya.
Dia melewati ruang tamu, dia malah tambah kesal. Melihat dua orang itu bercanda mesra. Naraya dan Kiandra. Dewanti berjalan menuju bufet, dan menyalakan televisi dengan volume keras. Kemudian dia menghilang.
Kiandra dan Naraya meutup telinga ketika suara telivisi itu meraung dan bergema ke seluruh ruangan. Bayu dan Panji keluar kamar. Bayu menatao dingin pada Naraya.
"Bukan aku, tapi babysitternya bocah itu," kata Naraya seraya mendongakkan dagu ke kamar Arunika.
Bayu memutar bola matanya, dia menuju televisi dan mencari remotenya. Namun tidak ada. Panji membantu mencarinya. Namun mereka tidak menemukannya. Bayu semakin kesal, karena telinganya mulai sakit. Dia langsung mencabut kabel televisi.
Suasana hening, itu hanya berlangsung sebentar. Airlangga datang mencari Kiandra. Dia menyuruh Kiandra untuk kembali ke rumah utama. Kiandra ingin membantah, tetapi melihat raut marah dan keras, dia tidak berani. Maka dia pun berlari ke rumah utama, diikuti bodyguard.
"Kau sudah memutuskan, Bayu? Aku menolak untuk jadi petinggi.,"kata Airlangga. Dia duduk di sofa, berhadapan dengan Naraya. Airlangga tidak menatap Airlangga, dia sedang malas berurusan dengan danyang tak tahu malu.
Bayu berjalan santai menuju sofa, dan duduk di kanan Naraya. "Apa usulmu?"
Naraya memandang mereka berdua dengan skeptis. "Kau menolak usulanku menjadikan Laksamana sebagai petinggi?"
"Ya, kutolak. Dia tidak layak," desis Bayu dengan marah mengingat perlakuannya siang tadi di rapat.
"Jadi usulan bodoh itu darimu, danyang? Apa kau tak gunakan otakmu, Laksamana itu hanya sampah." Airlangga menghina.
Naraya tidak terpancing. Dia hanya menyunggingkan senyum pada calon mertuanya itu.
Airlangga bertambah kesal. "Apa rencanamu dengan Haya?" Dia mengalihkan padangannya ke Bayu.
Panji berdiri di sudut ruang dengan bingung. Apakah dia harus bergabung dengan para tetua itu, atau dia kembali ke asrama? Sebaiknya dia kembali, dengan menggunakan alasan akan bertugas. Dia pun pamit pada tiga orang singa itu.
"Aku akan mencari tahu tentang benda milik Haya," kata Bayu.
"Cincin kutukan?" tanya Airlangga.
"Benar. Apakah kau tahu sesuatu Naraya?" Bayu menoleh pada Naraya.
"Entahlah, aku sudah lama tidak melihatnya, kenapa? Kau mendapatkannya?"
"Benar. Aku belum memeriksanya. Benda itu kuberikan pada Panji."
"Tapi dia sudah pergi, kenapa kau baru mengatakannya?" Airlangga jengkel. Dia juga ingin melihat cincin itu.
Bayu hanya mengangkat bahu. "Tetapi aku tidak merasakan kutukan apapun di cincin itu. Seperti cincin biasa."
Airlangga membantah. "Mana mungkin, cincin itu bisa membuat siapapun gila. Bila dia tidak bisa mengontrol kekuatannya, dia bisa meminta tumbal."
"Apa kau yakin, tidak merasa aneh sedikitpun?" Selidik Naraya.
"Tidak ada perasaan apapun saat aku memegangnya."
"Berarti kutukannya sudah hilang, mungkin pemakai sebelumnya berhasil mengenyahkannya," kata Naraya enteng. "Kau dapat darimana?"
"Aku tetap tidak percaya itu," bantah Airlangga.
"Dari Betari. Katanya hadiah ulangtahun dari Lukman."
Naraya dan Airlangga berteriak bersamaan. "Lukman?"
"Iya," kata Bayu yakin.
Airlangga terdiam. Dia sudah mendengar lama bahwa cincin milik keluarga Haya telah hilang lama. Namun mengetahui Lukman yang membawanya, itu membuatnya sangat tertarik. Dia ingat ada di mana Lukman menghilang selama beberapa waktu setelah dekat dengan perempuan.
"Mungkin ada hubungannya dengan istri Lukman," kata Airlangga.
Naraya tertawa. "Dia punya istri. Dunia sudah kiamat, hah?"
"Airlangga, selama aku bekerja dengan Lukman. AKu tidak pernah dengar dia tertarik dengan perempuan secara khusus. Dia hanya yah memikirkan kota ini sepenuhnya," kata Bayu.
Airlangga menjadi ragu. "Kau benar."
"Selama aku menjadi sekutu Laksamana beberapa generasi, aku baru tahu Lukman memiliki istri. Itu berita yang lucu sekali," ejek Naraya.
Wajah Airlangga menjadi merah padam. Dia mau membantah, tetapi disela oleh Bayu.
"Besok aku akan menuju tempat Haya, kau bantu aku mengawasi Laksamana," kata Bayu.
Airlangga kini menoleh pada Bayu. "Katanya dia patah leher. Aku heran siapa yang mau buang-buang waktu mengurus sampah itu?"
Naraya bergumam. "Si pedang itu. Rela buang-buang waktu." Dia menyengir.
"Jadi ini ulahnya," Bayu tertawa. "Dia sangat protektif bila menyangkut Arunika. Lebih daripada Airlangga."
"Aku dengar itu," sela Airlangga.
Bayu berdeham. "Apakah kau ikut, danyang?"
Naraya menolak. "Tidak. Aku khusus menjaga Kiandra." Dia memberikan anggukan kepala pada Airlangga. Airlangga hanya diam.
"Berarti Panji tidak akan ikut, Aku akan pergi bersama Arunika," terang Bayu.
"Yah, kau kan memang berniat kencan dengan gadis itu," ledek Naraya. "Misi ke tempat Haya hanyalah alasan."
Bayu memberikan cengiran lebar. Tidak membantah ucapan Naraya.
***
Panji memasukkan tali ponsel ke lehernya. Akan lebih mudah, meminta pertolongan bila ponsel selalu dekat dengan tubuhnya. Dia melihat kotak cincin itu, dia sabet dan masukkan ke saku tas biola. Dia mencaklong tas biola dan bersiap berangkat memburu wewe. Panji selalu berangkat lebih awal. Dia bisa bersembunyi di ruang bawah tanah halte bus.
Bus Cosmos yang dia tunggu datang, dia segera naik. Bus Cosmos ini adalah transportasi yang ada sejak kapan ya? Panji jadi tertular kebiasaan Arunika, tertarik dengan sejarah. Panji membuyarkan lamunanya. Dia memasang headset, mendengarkan lagu lebih baik daripada beripikir seperti cewek jadul itu.
Bus Cosmos sampai ke tempat halte yang dituju Panji, sekitar satu jam. Lokasi ini memang dibilang jauh dari keramaian kota. Dia khawatir kalau tidak ada sinyal. Panji turun, beberapa orang naik bus cosmos. Sehingga hanya dia sendirian di halte itu. Sudah biasa. Dia membuka kunci ruang bawah tanah, dan menuruni undakan tangga.
Panji menggesek biolanya. Rasanya sudah lama dia tidak menikmati permainannya sendiri. Pertunjukkan kampusnya dibatalkan lantaran kekacauan di gedung perlindungan ibu hamil dan meninggalnya Lukman.
Dia asyik memainkan biola dan tidak sadar ada seseorang bersembunyi di balik lemari. Orang itu diam, dan tersenyum. Dia ikut menikmati alunan gesekan biola, meski matanya terlihat dingin menatap punggung Panji.
Panji melirik jam di tangannya. Sudah waktunya berburu wewe. Maka dia pun naik ke atas. Panji kaget, ada beberapa wewe menunggunya.
"Hah, manusia wewe kini semakin pintar. Tapi aku juga takut," gumam Panji menyeringai.
Biola masih terpasang di punggungnya. Dia meletakkan biola itu, dan bertarung tangan kosong dengan mereka.
Serangan wewe ada pada kuku tajam dan beracunnya. Panji mengetahui hal itu. Dia tidak akan lengah untuk kesekian kalinya. Latihan dengan Naraya tidak hanya membuat kekuatan tenaga dalamnya meningkat, tetapi fisik yang ditempa pun jadi lebih kuat.
Wewe itu menyerang Panji. Panji menangkis dengan lengannya. Kemudian dia meninju kepala wewe. Tinju itu bukan tinju biasa. Tetapi tinju yang dileselubungi dengan cahaya pendar merah. Membuat kepala wewe itu terlepas dari badannya.
Setelah kepalanya lepas, tubuhnya menjerit dan berasap. Kemudian menghilang. Wewe yang lain rupanya lebih pintar. Mereka menyerang Panji dengan bergantian. Panji tidak takut. Dia bisa menghadapi mereka semua.
Panji menyerang dengan tinju juga tendangannya. Pendar merah menyelubungi tubuhnya. Setiap serangan yang dilancarkan bila mengenai wewe. Maka wewe itu akan terpental atau bagian tubuhnya terlepas.
Panji menjadi lebih kuat.
***
Arunika melongo sejak memasuki wilayah Haya. Tempat yang hanya dia liat di televisi. Berisi singa, jerapah, dan hewan lainnya. Di mana adegan singa mengejar mangsanya, berlari meloncati rumput yang setinggi orang dewasa. Dan menerkam mangsanya.
Tempat ini adalah Savana, Padang rumput yang sangat luas. Dengan tanaman perdu yang bisa dihitung hati, lebih banyak rerumputan tinggi.
Jalan raya ini membelah Padang rumput. Arunika tidak bisa menemukan satu rumah atau manusia sepanjang jalan.
"Kau baru pertama kali ke sini ya?" Tanya Bayu sambil menyetir mobil.
Kening Arunika menempel erat ke kaca. "Iya, apakah kalau aku membuka kaca, akan diterkam singa?" Tanya Arunika.
Bayu tertawa. "Tidak ada singa di sini. Semua hewan buas hanya ada di kebun binatang, dan taman safari. Bukan berkeliaran bebas."
"Tapi tempat ini sangat luas. Bisa saja, ada singa, atau hewan buas lainnya," bantah Arunika.
"Tidak ada. Percayalah padaku," kata Bayu yakin.
Arunika kembali duduk tegak. "Masih jauh ya untuk sampai ke rumah Haya?"
"Hmm lumayan. Kenapa? Kau bisa tidur kalau capek."
Arunika menggeleng. "Bagaimana mereka hidup jauh dari kota. Bahan makanan dan lainnya, tidak pernah terlambat kan?" Tanya Arunika khawatir. Karena Haya mengurus panti asuhan, dia takut anak-anak itu kelaparan.
"Tentu tidak. Tetap ada truk yang mengangkut seminggu sekali. Mereka juga bisa pergi ke kota kalau membutuhkan sesuatu. Di sana tidak primitif seperti bayanganmu."
Arunika nyengir. "Dan Wewe ada juga di sana?"
Bayu menoleh ke arah Arunika. "Sayangnya iya. Tetapi kemunculan tidak tiap hari seperti di dalam kota."
Setengah jam kemudian mereka memasuki pemukiman penduduk. Arunika melihat lihat rumah rumah di sini seperti rumah biasa. Bukan terbuat dari atap jerami atau semacamnya. Mereka lebih banyak membuat rumah panggung.
"Sebentar lagi kita akan sampai, jadi kau bisa istirahat," kata Bayu penuh perhatian.
Arunika mengangguk.
***
Di depan terpampang dengan jelas, Asrama Keluarga Haya. Mereka tidak menuliskan panti asuhan, tetapi asrama. Seperti sekolah biasa. Bangunan ini berlantai dua. Dengan tembok dan bukan kayu.
Begitu mobil masuk gerbang, anak-anak berhenti bermain dan mengamati mobil itu. Mereka jarang mendapat kunjungan, apalagi dari mobil mewah.
Arunika tersenyum mengamati reaksi anak-anak itu. Ada yang langsung berlari mendekati mobil dan menyentuhnya. Ada juga yang terbelalak, ada yang juga berlari ke dalam memanggil orang dewasa.
Bayu membuka kaca jendela. "Hai anak-anak."
Mereka semua berseru. "Paman Bayu datang! Paman datang!"
"Kemarin Paman datang, pamanku dari desa," gumam Arunika.
"Kau nyanyi apa?" Tanya Bayu. "Lagunya asing."
Arunika nyengir. "Bukan apa-apa. Ayo turun."
Ketika Arunika dan Bayu turun mobil. Anak-anak itu segera mendekati Bayu. Bahkan ada yang merangkul Bayu. Arunika heran melihatnya. Tidak disangka mereka semua akrab dengan Bayu.
"Selamat datang di asrama keluarga Haya," kata seorang ibu paruh baya. Dia mengalami Arunika. Bayu masih sibuk dengan anak-anak.
"Terima kasih ibu, bolehkah saya numpang ke kamar mandi?" Tanya Arunika tersenyum kecut.
"Oh iya, mari lewat sini."
Arunika berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh ibu itu.
"Saya tunggu di kantor ini ya, Mbak Arunika."
***
Begitu kembali, Arunika sudah melihat Bayu duduk berbincang-bincang dengan ibu tadi. Dan ada gadis oengemut permen yang asyik dengan ponselnya.
Arunika baru tahu, dia adalah bagian dari keluarga Haya.
"Baru kali ini, Bayu membawa seorang gadis. Biasanya selalu sendirian," kata Ibu yang memperkenalkan diri bernama Dina.
"Iya, dia spesial."
Arunika melirik tajam ke Bayu.
"Spesial, karena dia gadis dicurigai kan?" Gadis oengemut permen itu membuka mulutnya.
"Iya, betul itu," Arunika menyetujuinya.
Bayu meminta gadis pengemut permen itu, Candy, untuk menemani Arunika keliling. Dia akan berbicara sebentar dengan Dina.
"Gigimu tidak sakit, selalu makan permen?" Tanya Arunika membuka percakapan. Mereka telah nyaris mengelilingi semua tempat. Dan gadis itu tidak membuka mulutnya untuk bicara. Dia hanya menunjuk nunjuk saja.
"Tidak. Kalau kau? Apakah akan menikahi Paman Bayu yang terkenal playboy?"
Pertanyaan Candy mengejutkan Arunika. "Kau ini ngomong apa?"
"Gosip kalau kau adalah mata-mata Wewe tenggelam oleh gosip kau memiliki hubungan bjhusus dengan petinggi Bayu. Cerdas kan, petinggi Bayu?" Tanya Candy.
Arunika diam. Candy benar. Kedekatan Bayu dengannya hanyalah untuk menenggelamkan gosip mata mata. Dia tersenyum pada Candy. Senyum yang tidak bahagia.
"Apakah Wewe sering muncul di sini, siapa yang melawannya?" Tanya Arunika mengalihkan pembicaraan.
"Tidak setiap malam. Lagipula sihir perlindungan yang dibuat untuk tempat ini sangat kuat. Dan jarang ada yang hamil di desa ini," kata Candy.
"Yang melawan Wewe?"
"Aku atau ibu Dina," jawab Candy.
Arunika menyangsikan perkataan Candy. Bagaimana kondisi Ibu Dina sudah tuan wajahnya sudah berkeriput, usianya pasti di atas 59 tahun.
"Karena dia tampak tua, bukan berarti dia tua. Bagaimanapun para bangsawan memiliki umur yang lebih panjang."
Arunika malu. "Aku tidak bermaksud begitu. Jadi ibu Dina itu juga keluarga Haya, bukan hanya pengurus asrama ya,"
Candy terkikik. "Kau itu tidak tahu apapun ya. Ibu Dina itu usianya lebih muda dibandingkan Petinggi Bayu. Tapi lihat, Bayu tidak berubah sedikit sejak umur 30 tahun. Dia awet muda. Apalagi dia Keluarga Laksamana. Mungkin dia bisa hidup seribu tahun."
Candy berjalan mendekat, menatap mata Arunika. "Aku jadi ragu, kalau adalah mata-mata," bisik Candy.
Arunika melangkah mundur. Dia merasakan aura Candy berubah, aura siap menyerang.
"Sial usia Bayu itu adalah hal yang umum. Anak-anak itu saja tahu. Kau seperti bukan bagian dari kota ini," desis Candy. Bibirnya melengkung senyum.
Arunika tidak menjawab.
"Yah, tapi itu menariknya kau. Gadis yang tidak tahu apa-apa, tetapi bisa mendapatkan pedang dewa. Bagaimana kalau bertarung denganku. Kalau aku menang, kau harus menyerahkan pedang dewa padaku."