Rahasia Haya

2035 Words
Gadis permen itu menatap Arunika dengan pandangan meremehkan. Arunika tidak terkenal karena kekuatannya. Melainkan karena pedang dewa dan juga dia dicurigai sebagai mata-mata di dalam organisasi ApiAbadi. Arunika baru memahami bahwa tidak semua orang yang menganggukan kepala atau memberi salam padanya, benar melakukannya dengan tulus. Mereka melakukanya karena saat itu Arunika selalu berada di samping Bayu. Arunika melihatnya sekarang. Orang - orang itu kemungkinan membenci dirinya dengan alasan yang tidak dia lakukan dengan sengaja. Dia tidak pernah memilih pedang dewa. Pedang itulah yang memilihnya. Bahkan dia tidak tahu kalau Danyang dalam pedang itu adalah sahabatnya. Orang yang dia kira sahabatnya. Arunika tidak menjawab tantangan Candy. Dia malah membuang wajahnya menatap langit. Menatap Padang rumput yang terhampar jauh. Dia bertanya-tanya, apakah kehidupannya yang normal tidak pernah akan kembali. Dia harus lagi menghadapi rasa takut, rasa sepi dan rasa tak diinginkan. "Keluarkan pedangmu. Kita mulai pertarungan ini," kata Candy dengan menyeringai. Dia yakin sekali bahwa akan menang. Tetapi Arunika tetap mematung, tanpa mengeluarkan pedangnya. Dia menghirup dan menghembuskan nafas berulang kali. "Kau tuli ya?" Bentak Candy tidak sabar. Arunika menoleh pada Candy. Tatapannya tak terbaca. "Kau tahu, Dewanti bukan barang bisa dipertaruhkan. Aku tidak mau bertarung," kata Arunika. Candy berang. Dia mengeluarkan permen. Permen itu berubah menjadi senjata pedang. Pedang itu mengeluarkan pendar merah yang menyilaukan. Arunika menghalangi sinar masuk mata dengan telapak tangan. Dia mendengus putus asa. Kenapa sulit sekali bicara dengan baik tanpa harus bertarung. Candy berlari menyerang Arunika. Pedang itu mengayun ke kepala Arunika. Arunika diam tak bergerak. Tak ada tanda perlawanan darinya. Beberapa centi lagi kepalanya akan tertebas. Arunika menutup matanya. Prang! Pedang itu terpental jauh dari Arunika. Candy kaget. Dia tidak bisa melihat apapun yang mementalkan pedangnya. Dia mendesis marah dan tidak percaya. "Apa yang terjadi?" "Cukup Candy!" Kata Dina dengan suara serak. Arunika membuka mata. Dia melihat Dina dan Bayu di sana. Bayu berdiri santai dengan tangan bersendekap, dan senyum miring khasnya. Candy kesal. "Kenapa? Dia bahkan tidak berusaha melawan, dia tidak layak mendapatkan pedang dewa!" Seorang anak kecil muncul dari belakang kaki Dina. Wajahnya takut tetapi ingin tahu. Dia memandang bergantian antara Arunika dan Candy. "Lihat tempatmu. Ini bukan arena pertarungan. Kau sebut dirimu keluarga Haya? Tidakkah kau malu?" Bentak Dina. Dina terlihat berusaha menahan amarahnya. "Dinginkan kepalamu!" Perintah Dina. Mendapat perintah seperti itu, Candy berlari memungut pedangnya kemudian berlari menjauhi mereka semua. Anak kecil yang bersembunyi itu pun lari mengikuti Candy. "Kakak, tunggu!" Seru anak itu pada Candy. Dina menghampiri Arunika. "Kami minta maaf kepada nona Arunika, dia masih anak-anak. Belum bisa menempatkan dirinya dengan baik." Dina meraih tangan Arunika. "Kau tidak apa kan?" Arunika tersenyum mengangguk lemah. Dina menunjukkan kamar untuk Arunika. Dia meminta Arunika untuk beristirahat. Arunika hanya melirik Bayu sekilas. Bayu mengangguk setuju dengan saran Dina. Arunika masuk kamar dan menutup pintu. Dina dan Bayu berlalu dari depan kamar Arunika. Arunika merebahkan tubuhnya di kasur. Dia mengeluarkan jepit rambut itu dari saku bajunya. Memandangnya dengan tatapan sedih. Bayu berjalan dia menemani Dina menuju kantor. Dia tahu diam adalah pilihan terbaik. Dia tidak ingin memojokkan Dina karena kelakuan Candy. Lagipula, kalau bukan Candy, akan ada orang lain yang bersikap seperti itu pada Arunika. Dia tidak heran. Dia memaklumi hal itu. Hanya saja dia khawatir, kenapa Arunika tidak mengeluarkan pedangnya. Apa yang dipikirkan gadis itu. Dia pikir, akan melihat pertarungan yang seru. Tetapi alih alih pertarungan. Arunika nyaris tewas di tebas oleh pedang Candy. "Sudah kubilang padanya berulang kali. Tetapi dia tidak mau dengar. Kenapa anak-anak susah sekali diatur," desah Dina. Mereka masuk ke kantor Dina. Dina melemparkan dirinya di kursi. Dan Bayu duduk di sofa, di depannya. Dia hanya diam mendengarkan Dina berceloteh. "Aku tidak bisa mengerti jalan pikirannya. Apakah dengan memenangkan pertarungan, kemudian dia bisa menguasai pedang dewa? Kalau itu bisa. Pedang dewa sudah bisa dikuasai oleh para petinggi ApiAbadi sejak dulu. Tetapi tidak ada satupun yang bisa membangkitkan pedang dewa. Pedang itu sudah seperti rongsokan tak berguna karena tak ada yang bisa menggunakannya dengan benar. Kenapa dia tidak bisa memahami hal sederhana seperti itu?" Dina kini menatap Bayu dengan tatapan kesal. Bayu tersenyum. Dia bersiap akan mendapat Omelan dari Dina. Dina pasti akan melampiaskan kemarahannya pada Bayu. "Dan kenapa tuan Bayu kemari? Apa tujuan tuan? Apakah tuan meragukan kesetiaan kami pada ApiAbadi?" Tanya Dina dalam satu tarikan nafas. Bayu tidak menjawab. Dia malah berdiri dan mengintip dari jendela. Apakah ada orang dia sekitar kantor atau tidak. Setelah memastikan tidak akan ada orang yang menguping pembicaraan mereka, Bayu berbalik memandang Dina dengan wajah serius. "Apakah kau sudah bisa diajak berbicara?" Dina merasa terhina."Bicara saja sekarang!" Bayu merendahkan suaranya. "Aku ingin meminjam cincin milik keluarga Haya." Dina sangat kaget dengan permintaan Bayu. Dia terdiam. Kemarahannya berganti dengan ketakutan. "Apakah yang tuan maksud adalah cincin kutukan?" tanya Dina hati-hati. Meskipun dia yakin cincin itu yang dimaksud, dia tetap ingin memastikan. "Benar. Cincin itu." Dina menelan ludah. Nampak dia ragu mengatakan hal yang sebenarnya pada Bayu. Dan Bayu menanti dengan santai, menunggu jawaban Dina. "Cincin itu tidak ada di sini, Tuan. Cincin itu hilang berabad-abad yang lalu." Dina mengatakan hal itu sambil sesekali melirik Bayu. Dia takut Bayu akan marah. "Kenapa bisa hilang? Dan apa istimewanya cincin itu?" tanya Bayu. Dina penasaran dengan apa yang ada dipikiran Bayu. "Ada cerita panjang tentang cincin itu disebut cincin kutukan, Tuan. Dan terkait soal bagaimana hilangnya, aku tidak terlalu tahu. Bahkan seuumur hidupku, aku belum pernah melihatnya." Dahi Bayu berkerut. "Ceritakan tentang cincin kutukan itu." Dina mengambil nafas panjang. Dia tidak tahu apa motif Bayu. Tetapi dia tidak bisa memberikan cincin itu, sebab cincin itu benar-benar sudah hilang. "Cincin itu memang milik keluarga Haya. Menurut cerita yang aku dengar dari tetua cincin itu meminta tumbal kesetiaan bagi pemakainya. Tapi hal itu hanya berlaku bagi pemakai perempuan. Perempuan yang diamanati cincin tidak boleh menikah. Selama turun temurun, keluarga Haya menjaganya. Cincin itu hanya diwariskan pada lelaki. Sebab kutukan itu tidak berlaku untuk lelaki. Namun ada satu waktu di mana, semua anak yang lahir di keluarga Haya, adalah anak perempuan. Termasuk anak-anak yang masuk ke dalam panti ini. Pada waktu itulah, kutukannya mulai bereaksi. Saat itu pemilik cincin adalah perempuan yaitu bibiku. Namanya Sukmawati. Aku dengar, Sukmawati melanggar larangan cincin itu. Dia kemudian dia ditemukan telah meninggal. Dan cincin itu hilang sejak saat itu." Bayu mendengarkan dengan seksama cerita itu. "Kenapa kau tidak mencarinya? Sebagai penerus, cincin itu milikmu." Dina menggeleng. "Tidak bisa. Penerus sebelum aku sudah pernah mencarinya ke penjuru Kota Sabin. Tetapi tidak menemukannya." "Dan kau tidak berusaha mencarinya lagi?" "Aku tidak butuh cincin itu." "Kenapa, kalau cincin itu simbol keluarga Haya. Seharusnya itu milikmu." "Sejak dilantik menjadi pempimpin keluarga Haya, aku memutuskan untuk melepaskan cincin itu. Simbol keluarga Haya tidak terletak pada cincin. Tetapi pada kesetiaan kami dalam menjalankan tugas. Untuk menjaga anak-anak yang yatim piatu." Bayu tertawa. "Pembohong!" "Kenapa tuan berbicara seperti itu? Aku sudah melakukan kewajibanku dengan baik," kata Dina membela diri. "Pasti ada alasan kenapa kau tidak bisa mencarinya. Kau sudah tahu siapa yang membawa cincin itu kan?" Dina menggeleng berulang kali. "Tidak benar, Tuan." "Kau tidak bisa mengambilnya, karena yang menyimpannya adalah Lukman. Petinggi Agung." Kata-kata Bayu membuat Dina gemetar ketakutan. Dia merasa tubuhnya lemas. Dia pun bersimpuh di kaki Lukman. "Ampun Tuan. Ampuni aku!" Bayu melangkah mundur. Dia akan mengorek informasi lebih dari Dina. Siapa saja yang tahu soal itu? "Katakan semua yang kau tahu!" "Ba...baik Tuan." Dina menceritakan dia mengetahui cincin itu ada pada Lukman saat dia kemari untuk menjemput Panji. Lukman menemui dirinya secara pribadi, dan memperlihatkan cincin itu. Dia bertanya, apakah dia perlu mengembalikan cincin itu atau tidak? Dina menolak keras. Karena dia tidak pernah mau menjadi pemimpin. Dia memiliki seorang kekasih. Dia tidak mau terikat oleh kutukan cincin itu. Dia dan Lukman membuat kesepakatan. Bahwa keluarga Haya akan membantu seluruh proyek Lukman, termasuk mendukung ApiAbadi. Bayu duduk. Dia ingat, hari di mana dia dan Lukman menjemput Panji. Lukman telah banyak melakukan hal menarik tanpa sepengetahuan dirinya. Dan semua itu untuk kota Sabin. Bayu ingin tahu, kenapa Lukman begitu mencintai kota ini? "Apakah kau berniat mengambil kembali cincin itu?"tanya Bayu. "Tidak, Tuan." "Kenapa?" "Aku merasa meskipun aku tidak memegang cincinnya. Kutukan itu tetap menimpaku," kata Dina tersenyum. Tetapi sorot matanya sedih. "Hubungan dengan kekasihku tidak berjalan lancar. Dan saat patah hancur seperti itu, aku bersumpah akan menjaga tempat ini sampai akhir hayatku." Bayu menghentakkan kakinya ke lantai. Muncul sebuah lingkaran dengan simbol kunci. "Kau adalah kunci tempat ini, begitu?" Dina mengangguk. "Benar tuan, aku menjadikan diriku sebagai tameng." "Baiklah kalau begitu. Sekarang katakan padaku, apa istimewanya cincin itu?" "Bolehkah aku berdiri, tuan?" tanya Dina. Bayu tersenyum. "Aku tidak pernah menyuruhmu berlutut." Dina mengangguk kemudian berdiri. "Cincin itu katanya mampu membawa seseorang ke tempat yang dia inginkan. Cincin itu juga bisa melindungi pemakainya dari serangan sihir maupun fisik." "Apakah ada danyang di dalam cincin itu?" tanya Bayu. "Sejujurnya aku tidak tahu, Tuan." "Baiklah. Aku akan menyimpan cincin itu. Kalau kau ingin cincin itu kembali, kau atau penerusmu, maka katakan padaku," kata Bayu. "Tidak, Tuan. Candy masih anak-anak. Dia belum layak untuk dibilang penerus. Lebih baik digunakan oleh Tuan." Bayu tersenyum. Dia tidak mengatakan kalau cincin itu sekarang dibawa Panji. Sebab dia tidak membutuhkannya. "Kalau begitu, aku akan istirahat. Tunjukkan kamarku." Dina meminta Bayu mengikutinya. Pintu kantor ditutup. Mereka berlalu dari ruangan itu. *** Bayu merasa lega, kebenaran tentang cincin itu sudah terkuak. Dia bisa menerka dari mana Lukman mendapatkan cincin itu. Bayu menduga, Sukmawati adalah ibu Lukman. Dan ayahnya dari keluarga Candra. Cincin itu akhirnya menunjukkan kutukannya ketika Lukman lahir. Cincin yang mengerikan. Kenapa korbannya harus selalu perempuan? Dia ingin menyalakan rokoknya. Jadi Bayu keluar kamar begitu sampai di teras, dia melihat Arunika sedang duduk termenung sambil melihat langit. Bayu berjalan pelan dan mendekati Arunika. "Kau tidak bersama Dewanti? Kemana dia?" tanya Bayu. "Entahlah. Kami sedang marahan." Bayu menahan tawanya. Marahan? Adalah kata yang digunakan anak muda untuk bertengkar. Sangat lucu menyaksikan seorang danyang diam-diaman. Kalau dia tidak tahu siapa Dewanti, Bayu pasti mengira Dewanti beneran manusia. Bayu duduk di samping Arunika. "Apakah di duniamu sana, kau bisa melihat bintang setiap hari?" "Tidak setiap hari, kalau mendung bintang maupun bulan tidak kelihatan. Karena sekarang lampu sudah menerangi hampir semua tempat, bintang yang terlihat mungkin pesawat terbang." "Apa itu pesawat terbang?" tanya Bayu. Arunika baru sadar, bahwa di sini tidak ada pesawat terbang atau helikopter. "Hmm dia benda yang seperti burung. Dan bisa terbang kemanapun." Arunika berhenti bercerita, dia merasa aneh, kenapa Bayu menanyakannya? Apakah Bayu tahu kalau dia bukan bagian dari Kota Sabin? "Apakah kau tahu aku bukan warga kota ini?" Bayu tersenyum. "Tentu tahu. Orang mengira kau adalah mata-mata wewe, tapi aku tahu itu bukan. Kau hanyalah terdampar di kota ini." Bayu menoleh pada Arunika. Arunika merasakan matanya basah. "Kau menangis?" tanya Bayu khawatir, Arunika mengusap air matanya. "Ak hanya rindu tempat asalku. Aku bisa berbincang apapun dengan Dewanti. Kami bisa menertawakan hal-hal konyol yang kami alami. Tapi sekarang, dia pergi entah kemana." Air mata yang keluar tambah banyak. Bayu merutk dirinya tak membawa tisu atau saputangan layaknya gentelman. Jadi dia hanya mengusap kepala Arunika dengan lembut. "Kau bisa ceritakan semuanya padaku, aku akan mendengarkannya." Arunika ingin sekali meneriaki Bayu. Dengan segala kemarahannya, bagaimana dia dipandang hina oleh orang lain. Tetapi tak ada satupun kata yang keluar. Arunika hanya terisak cukup lama. "Kau bisa bersandar padaku," bisik Bayu lembut. "Playboy cap kadal!" Bayu terkekeh. "Kau mengumpatiku?" "Semua orang bilang begitu. Pasti itu benar." "Tidak semua yang dikatakan orang lain itu benar. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Apalagi kau tidak melanggar norma atau menyakiti orang lain." Arunika mendengus. "Kau kan melanggar norma, dengan kehidupanmu itu." Bayu kembali tertawa. "Standar norma kita berbeda. Tetapi aku bisa menyesuaikan denganmu. Kalau kau tidak suka." "Huh! Kenapa harus repot-repot?" "Karena penilaianmu tentangku itu penting," kata Bayu menyentuh pipi Arunika. Arunika menatap tajam ke dalam mata Bayu. "Ini salah satu trik playboy kan? membuat gadis polos untuk jatuh ke perangkapmu!" Bayu mencubit Arunika gemas. "Aduh! Lepaskan tanganmu!" Teriak Arunika. "Jangan selalu percaya apa kata orang. Sesekali kau harus membuktikannya sendiri, apakah itu benar atau hanya rumor." "Bodo amat!" Arunika berdiri. Dia menepuk-nepuk celananya. "Apa itu? Sejenis umpatan?" Arunika melirik Bayu dengan tatapan tidak percaya. *** Panji merasakan punggungnya sakit. Tangannya memeriksa punggungnya, sebuah senjata menancap di punggungnya. Panji melihat tangannya, penuh darah. Dia berbalik, siapa yang menyerangnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD