Teleportasi

1225 Words
Panji berhitung. Satu, dua, tiga, empat, lima. Ada lima Wewe yang sudah dia kalahkan. Jumlah yang cukup untuk hari ini. Dia melakukan perenggangan badan. Panji sedikit merasa aneh, karena biasanya dia harus bertarung sekuat tenaga. Sekarang, bahkan dia tidak mengeluarkan separuh dari energinya. Latihan yang diberikan Naraya sangat efektif. Wewe yang dia lawan tadi juga bukan kelas kroco. Mereka sepertinya sudah diatur untuk menunggu di sini. Dan juga formasi itu, sama sekali bukan gaya Wewe yang pernah dia habisi. Mungkin memang dia lebih kuat sekarang. Panji mencangklong tas biolanya. Dia akan tidur di ruang bawah tanah sampai pagi. Begitu membuka pintu, dia melangkah melalui undakan turun. Panji meletakkan biola di lantai dan dia duduk meluruskan punggung. Rasanya lelah sekali, dan dia ingin tidur nyenyak malam ini. Jlep! Panji meraba punggungnya. Dan melihat tangannya penuh darah. Dia pun berbalik. Orang itu tidak terasa keberadaannya. Sejak kapan dia di sana. Dia berdiri dan tersenyum lebar tanpa suara. Energi Panji sepertinya terkuras. Dia hanya bisa memandang kosong orang itu. Serangan licik yang dilancarkan dari belakang. Panji ingin mengutuknya. Tapi badannya roboh. Orang itu tidak mengatakan apapun. Dia meninggalkan Panji dalam kondisi seperti itu. Dia pergi menaiki undakan dan menutup pintu. Panti mengerang kesakitan. Senjata yang digunakan pasti bukan senjata biasa. Dia memiliki mantra beracun yang mematikan. Panji meringkuk, kakinya menendang tas biola. Kotak biola yang bersandar di dinding itu pun jatuh. Panji berusaha menggapai tas biola. Di dalamnya ada ponsel. Tangannya menggapai sedikit demi sedikit, mengabaikan rasa sakit di punggung yang menjalar ke dadanya. Jemarinya mencapai kotak, dia menarik reseleting tas itu. Dengan terengah-engah entah dia mencari ponselnya. "Aarggh! Panji mendesis. Racun itu mulai menjalar ke bagian syarafnya. Tangannya yang bersimbah darah itu tak kuasa digerakkan lagi. Kesadaran Panji mulai menghilang. Tolong! Tolong aku! Paman, tolong! **** Naraya merasakan Panji dalam keadaan bahaya. Namun dia tidak bisa merasakan keberadaan Panji. "Sial!" Kiandra menghentikan permainan biolanya. Dia sedang berkonsentrasi menetapkan jarinya pada senar yang tepat. Namun konsentrasinya buyar melihat Naraya mengumpatnya. "Kalau kau tidak suka menemaniku. Pergi sana!" Bentak Kiandra. Naraya menoleh. "Siapa yang bilang begitu?" Kiandra mencibir. "Kau tadi mengumpatiku," kata Kiandra dengan nada marah. Naraya bingung. "Aku tidak melakukannya. Tadi, aku hanya mengatakan sial karena tidak tahu Panji ada di mana." Kiandra berdecak. "Cari-cari alasan!" Kiandra meletakan biola ke dalam wadanya. Dia menutup wadah tersebut dan beranjak pergi dari ruangan itu. Naraya mencegahnya. Wajahnya bingung. "Aku tidak bohong." Kiandra melepaskan tangan Naraya. "Ya sudah cari Panji sana. Biarkan aku sendiri." Naraya semakin bingung. Dia tidak pernah menghadapi sikap sang bulan seperti ini. Sang Bulan selalu bersikap anggun dan tidak pernah merajuk. "Semoga kau baik-baik saja," gumam Naraya. Dia pergi menyusul Kiandra. *** Candy menidurkan anak-anak yang dekat dengannya. Dia mendongengkan cerita untuk.mereka. Suaranya nyaring. Meskipun hatinya sakit. Dia mendapat teguran keras dari Dina atas tindakannya terhadap Arunika. Dia tidak ingin anak-anak ini ikut sedih karenanya. Begitu anak-anak itu sudah tidur, dia meninggalkan kamar itu dan menuju lapangan tengah. Asrama tempat dia dibesarkan ini bangunannya berbentuk U, dengan lapangan besar di tengahnya. Biasanya dia latihan saat malam, agar tidak ada anak-anak yang menganggu. Namun ketika dia sampai di lapangan, dia melihat Arunika dan Bayu sedang duduk bermesraan. Dia mendengus kesal. Dia bertanya-tanya apa istimewanya gadis itu, sampai Petinggi pun tertarik padanya. Sebuah sinar muncul dari langit. Sinar itu menyambar tanah. Dan menimbulkan suara debam yang keras. Candy berlari ke arah suara itu. Begitu juga Bayu dan Arunika. Ketiganya begitu kaget, bahwa yang jatuh dari langit, adalah manusia. Tepatnya orang yang mereka kenal. "Panji!" Teriak mereka bersamaan. Tubuh Panji membiru, dan punggungnya bersimbah darah. "Dia diserang dari belakang," desis Candy marah. Dia sangat tidak suka orang pengecut seperti itu. Bayu segera memeriksa Panji. Bayu melihat sekilas, cincin itu terpasang di jempol Panji. Apakah dia memakainya? Bayu mengenyahkan pikiran itu. Lebih penting sekarang, menyelamatkan Panji. Mereka membawa Panji ke kamar Bayu. Bayu mengeluarkan racun itu dengan kekuatannya. Arunika hanya sanggup berdoa. Dia tidak bisa membantu apapun. Bayu menoleh pada Arunika. "Telepon Bagaskara, suruh dia ke sini cepat!" Arunika berhamburan ke kamarnya, mengambil ponsel dan menelpon Bagaskara. Candy memanggil Dina. Mereka berdua berlarian di lorong, dan menuju kamar Bayu. Dina sangat terkejut melihat Panji mengenakan cincin itu. "Bagaimana Panji bisa muncul dari langit dan jatuh kemari?" Gumam Candy. Meskipun lirih, Dina dan Bayu bisa mendengarnya. Bayu dan Dina memikirkan hal yang sama. Cincin kutukan itu yang telah membawa Panji ke asrama Haya. Dina membantu Bayu mengeluarkan racun dengan kekuatannya. Setidaknya Panji sudah melewati masa krisis. Meskipun belum sadar. "Tuan, aku ingin berbicara denganmu," kata Dina pada Bayu. Bayu mengangguk. Mereka berdua menyepi ke kantor Dina. Dina menutup pintu dan menguncinya. Dia juga memasang mantra khusus agar orang luar tidak bisa mendengar percakapan mereka. "Tuan, apakah cincin yang dipakai Panji itu adalah cincin kutukan?" Tanya Dina memojokkan Bayu. Bayu mengembuskan nafas keras. "Iya, aku suruh dia yang simpan." Dina menatap Bayu dengan sorot kecewa. "Cincin itu telah menyelamatkan Panji. Tetapi kenapa dia kemari?" Gumam Bayu. "Mungkin yang dipikirkan adalah tempat ini, atau kau. Sehingga dia datang kemari!" "Karena cincin itu telah berhasil membawa Panji kemari, berarti cincin itu telah setuju dimiliki Panji?" Dina tidak tahu jawabannya. Dia berharap tahu. Sayangnya dia juga penasaran. Kenapa cincin itu bisa memilih Panji. "Aku akan mengenbalikan cincin itu, setelah Panji sadar. Tolong kau tunggu sampai saat itu," kata Bayu. "Sudah kubilang, aku tidak menginginkan cincin itu. Aku tidak mau," Dina menolak keras. "Terserah kau saja! Aku akan kembali melihat kondisi Panji," kata Bayu. Dina mengangguk. Dia melepaskan mantra, dan juga membuka kunci pintu. *** "Kenapa kau tidak bisa datang?" Bentak Arunika panik. "Panji terluka parah?" "Tidak bisa kalau sekarang. Ada sedikit kekacauan di dalam markas. Besok aku akan ke sana. Selama racunnya sudah dikeluarkan, dia akan aman," kata Bagaskara melalui telepon. "Aduh. Pokoknya kalau sduah beres, langsung kemari." "Iya, iya tenanglah." Telepon ditutup. Bayu mengetuk pintu kamar Arunika yang terbuka. "Bagaimana?" "Dia tidak bisa sekarang. Baru besok," kata Arunika sedih. Bayu mengangguk. "Tidak apa." Bayu berlalu kembali menengok Panji. Arunika meletakan ponselnya, dia mengikuti Bayu. Arunika melihat Panji tidur dengan tengkurap. Karena lukanya berada di punggung. Tubuhnya yang membiru mulai pulih. Tetapi bekas tusukan itu masih bernanah dan berbau busuk. Candy masuk dengan membawa baskom berisi air dan juga handuk. Dia menyeka tubuh Panji yang penuh dengan keringat. Berhati hati tidak mengenai lukanya. "Apakah tidak diperban dan diberi antiseptik?" Bisik Arunika pada Bayu. "Nanti, kalau Bagaskara sudah tiba. Aku masih melihat perkembangan racun itu. Apakah dia sudah bersih dari tubuhnya atau belum." Arunika merapatkan selimutnya sampai dagu. Hawa dingin terasa menusuk ke seluruh tubuhnya. Dia merogoh bawah bantal, mengambil minyak kayu putih. Dia mengoleskannya ke perut dan kaki, dan telinga. Setelah merasa hangat, dia tidak bisa kembali tidur. Matanya melirik ke arah jam dinding. Masih pukul empat pagi. Bagaimana keadaan Panji? Arunika menyibak selimut dan membuka lemari. Ada jaket berbahan wool digantung. Dia pakai jaket entah milik siapa itu. Arunika pergi ke kamar sebelah. Tanpa mengetuk, dia membuka pintu kamar Bayu. Di ranjang, Panji masih merintih-rintih. Sedangkan Bayu duduk di sofa. Mulanya Arunika melihat Bayu menutup mata, sedetik kemudian Bayu telah terjaga, Menyunggingkan senyum miring. "Kau nggak tidur?" Tanya Arunika berjalan mendekat. "Aku tidur nyenyak," jawab Bayu. Arunika tahu, Bayu berbohong. "Bagaimana Panji?" "Kondisinya lebih baik. Meskipun masih seperti itu. Kau nggak bisa tidur?" Tanya Bayu. "Mau kunyanyikan dendang tidur?" Arunika mencubit kaki Bayu. Bayu pura-pura mengaduh, namun tertawa. "Paman," Panji memanggil Bayu dengan suara lirih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD