Pasang Jebakan

1279 Words
Naraya melayangkan tinjunya pada Bayu. Serangan itu telak mengenai dagu. Bayu terpental keras. Bukannya takut, Bayu hanya menyeka darah di sudut bibirnya dan berdiri lagi. Bayu memasang kuda-kuda. Dia tidak menyerang, melainkan hanya bertahan dari setiap serangan Naraya. Arunika dan Panji hanya terdiam melihat pertarungan mereka. Mereka tidak mampu berkata, apalagi melerai. Tekanan atmosfer pertarungan antara Danyang dan petinggi ApiAbadi membuat siapapun yang berada di dekatnya, membeku. Pertarungan anjing dan kucing ini berlangsung berulang kali. Mungkin sampai salah satunya tewas. Baru berhenti. Kiandra melihat pertarungan itu dengan ngeri. Perang dengan kekerasan dan kekuatan tidaklah menarik. Apalagi berurusan dengan darah. Euuuh, Kiandra tidak mau. Jadi dia menyingkir jauh-jauh dari arena pertarungan. Tidak peduli kalau pertarungan itu penyebabnya adalah dia. Bayu sudah menduga ketika ide yang dia kemukakan akan membuat Naraya murka. Setiap hal yang akan membahayakan Kiandra, tentu saja membuat anjing protektif itu mengamuk. Namun Bayu tidak punya pilihan lain. Selama seminggu dia telah mengerahkan kekuatan dibantu sepuluh keluarga untuk mencari jejak musuh, namun sia-sia. Jadi apalagi yang harus dia lakukan? Selain membuat perangkap, dan Kiandra sebagai umpannya. Hanya itu satu-satunya cara. "Kalau kau tetap dengan ide konyol itu, aku akan membuatmu jadi daging cincang," geram Naraya. Bayu meludah. "Apa kau ada ide lain?" Naraya mengepalkan tinjunya. "Kau petinggi agung sekarang, gunakan sepuluh keluarga itu. Yang penting bukan Kiandra!" Bayu tertawa. "Apakah kau lupa, Kiandra bagian dari sepuluh keluarga!" "Persetan," hardik Naraya. "Sebaiknya ku habisi saja kau di sini!" Bayu mengehela nafas. Memang sudah untuk bicara normal dengan Danyang b***k cinta ini. Jadi baiklah tinju lawan tinju, kalau itu yang dia mau. Kali ini dia tidak akan kalah dengan mudah. Bayu tersenyum miring. Naraya melepaskan serangan cukup besar. Bola sinar itu menyambar tubuh Bayu dengan kuat, dia meledak. Bayu terbakar. Tapi dia belum mati. Dia masih sanggup berdiri dan menatap hina Naraya. Menantangnya terus dan terus. Naraya mengeluarkan bola sinar lagi di tangannya. Seluruh rambutnya mengembang. Begitu juga baju kimono putihnya. Seolah olah ditiup angin dengan kencang. "Stop!" Arunika berteriak. Nafasnya terengah-engah. Dia tidak sanggup lagi melihat Bayu terluka. Badannya sudah bersimbah darah. Tetapi dia tetap saja berdiri tegak dengan senyum menjengkelkan itu. "Bayu, kemari kau!" Perintah Arunika. Naraya mengangkat alisnya tinggi. Gadis jadul itu memerintah Bayu. Dia menyeringai, penasaran dengan apa yang dilakukan oleh gadis itu. Dia menghilangkan bola sinar dari telapak tangannya. Bayu pun tersenyum, meskipun sedikit bingung. Kenapa gadis itu berani melerai pertarungan mereka. Gadisnya memang pemberani! Bayu melangkah santai mendekati Arunika. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis itu. Arunika memeluk Bayu. Bayu sempat tersentak sedikit. Namun dia tidak memberontak. "Apa kau ingin mati?" Desis Arunika menahan tangisnya. Bayu mengelus punggung Arunika. "Tentu tidak, Sayang. Aku hanya akan membuatnya sedikit lelah. Agar bisa diajak bicara." "Tetapi ketika dia lelah, kau akan mati!" Bayu tertawa geli. "Sayang, kau meremehkanku." "Sayang gundulmu. Aku akan membuatnya diam mendengarkan tanpa harus bertarung!" Tantang Arunika. "Sayang, aku tidak gundul," jawab Bayu. Arunika menggigit bahu Bayu. "Aduh. Sakit itu!" "Diam dan jangan bergerak," bentak Arunika melepaskan pelukannya. Naraya mengamati mereka berdua dengan tertarik. Dia tidak pernah mengira, Bayu akan terpesona oleh gadis itu. Naraya memandang Bayu dengan isyarat bertanya. Bayu hanya mengedikkan dagunya menunjukan Arunika. Yang berarti tunggu saja. Arunika mengangkat kakinya dengan kesal. Dia berjalan cepat menuju tempat seseorang. Dia melihat sasarannya sedang menikmati makanan desert yang lezat. Dia benar-benar tidak peduli dengan nasib orang lain. Bisa saja orang lain mati karena dia diam saja. Arunika mempercepat langkahnya. Ketika dia sudah berada di depan Kiandra, Arunika menggebrak meja pelan. "Ikut aku!" "Mau apa kau?" "Kalau kau ikut denganku, aku tidak akan menyakitimu." Kiandra melirik Arunika. "Sebelum kau melakukannya, kau akan ditangkap seluruh pengawalku." Arunika menyeringai. Dia menjambak rambut Kiandra, dan membekap mulutnya. "Kalau kau tidak ikut, rambutmu akan rontok semua!" Kiandra tidak bisa teriak. Tenaga Arunika sangat kuat. Dia tidak bisa berkutik. Kepalanya sangat sakit, ketika rambutnya dijambak. Dia takut kepalanya akan gundul kalau rambutnya semua diperlukan kejam seperti ini. Kiandra hanya mengangguk pasrah. Barulah Arunika melepaskan Kiandra. "Dasir cewek jadul barbar," ejek Kiandra. "Kalau kau menuruti permintaanku sejak tadi, kau tidak perlu melihat sejumput rambutnya lepas dari kepala," kata Arunika. "Kau sama saja dengan Si sialan Bayu. Dasar barbar kalian berdua." Arunika menjulurkan lidahnya. "Ayo ikut!" "Kau menculik ku?" "Apa gunanya menculikmu?" "Karena aku kaya. Dan tentu saja cantik." "Maaf ya, tapi gajiku dari ApiAbadi juga besar. Jadi aku tidak tertarik. Kenapa pula membahas hal ini. Ikut saja!" "Sebutkan dulu, kau mau ajak aku kemana?" "Ke situ tuh" tunjuk Arunika. "Ke tempat mereka. Kau hanya perlu duduk manis saja." "Ke tempat mereka bertarung. Maaf aku bukan cewek barbar macam kau, yang kuat menonton orang adu otot," tolak Kiandra. Arunika ingin tertawa. Tetapi yang keluar hanya Hah. Apa dia tidak tahu, kalau Bayu dan Naraya bertarung karena dirinya? "Mereka berhenti, ehem meminjam istilah mu, adu otot. Mereka akan bicara. Karena itu, mau harus ke sana." Arunika mulai tak sabar menghadapi cewek manja ini. Kiandra menarik nafas. Dan menghembuskan perlahan. "Baik. Tapi kalau mereka bertarung lagi, aku pergi." Arunika tersenyum menang. Arunika bahkan menyeret kursi untuk Kiandra duduk. Kiandra duduk dengan kaki satu menyilang. Mulutnya terkatup. Dia memandang malas ke dua orang itu. "Apa ini?" Tanya Naraya bingung. Kiandra tak menjawab, dia hanya mengangkat bahu. Bayu masih tersenyum mengamati gerak gerik Arunika. "Nah kalian berdua, bicara yang santai. Wasitnya ada di sini," kata Arunika. Dia berbisik pada Kiandra. Agar ucapannya hanya bisa didengar olehnya. "Suruh anjingmu itu duduk diam." Kiandra berdecak. "Nara, tolong duduk dan dengarkan mereka bicara!" Bayu memuji tindakan Arunika. Naraya hanya patuh terhadap Kiandra. Dia tidak pernah terpikirkan untuk mengancam Kiandra. Alih alih mengajak bertarung si Danyang. Naraya memandang bingung. Namun dia menuruti apa kata Kiandra. Panji bertepuk tangan. "Hebat sekali. Pertarungan anjing dan kucing dihentikan." Mereka manatap Panji dengan isyarat diam. Panji pun mengunci mulutnya. "Kau bisa bicara sekarang, Bayu," kata Arunika. Bayu mengangguk dan dia menjelaskan rencananya. Naraya menolak keras. Bayu menenangkannya. Lebih tepatnya memojokkan Naraya agar memberinya ide lain. Namun Naraya tidak punya. "Pasang Kiandra drama di garis terdepan. Dengan Panji sebagai partnernya." Mereka semua menoleh ke sumber suara. Dewanti muncul. Arunika memekik girang. Dia melompat menubruk Dewanti. Memeluknya. "Kau marah padaku kan?" Dewanti melepaskan pelukan Arunika. Bukan saatnya main romantis romantisan. "He, pedang. Kau bermain api!" Ancam Arunika. "Anjing bodoh. Gunakan kepalamu. Kita tidak punya waktu. Mereka yang menyergap kita lebih dulu. Atau kita yang menyerang persembunyian mereka. Mana yang lebih efektif?" "Memangnya kita tahu mereka di mana? Mereka menggunakan mantra kuat," bantah Naraya. "Makanya gunakan Kiandra. Longgarkan perlindungan terhadap Kiandra. Kau akan mengawalnya. Karena itu Panji harus disandingkan dengannya." "Aku hanya akan melindungi Kiandra. Kau lindungi dirimu sendiri, bocah," kata Naraya menoleh pada Panji. "Diskriminasi," keluh Panji. "Tidak masalah. Dia akan aman," kata Dewanti yakin. "Bagaimana kau yakin, Danyang?" Tanya Bayu. "Kau lupa, cincin itu ada di jarinya." Jawab Dewanti santai. "Cincin itu digunakan Panji?" Tanya Naraya. "Kau pintar bocah," puji Naraya. Panji tidak merasa perlu dipuji. Karena cincin itu melingkari jarinya tanpa dia minta. "Lalu aku bagaimana?" Tanya Arunika. Dia ingin tahu apa tugasnya. "Kau pamungkasnya," jawab Dewanti menyeringai. Kiandra mengangkat tangannya tinggi. "Tunggu sebentar, jadi kalian ingin aku menangkap musuh. Maksudku kalian akan menjadikan aku sebagai umpan untuk para Wewe? Apa kalian gila? Aku tidak mau?" "Yah, kalau kau ingin keluarga mu tetap hidup. Kau harus mau!" "Hei Danyang!" Ancam Naraya. "Aapa maksudmu?" Tanya Kiandra. Dewanti memandang hina pada Kiandra. "Akan ada gerhana matahari total. Kau akan memancing seluruh Wewe mendekatimu. Dan kalau kau tidak siap, sang bulan akan melahapmu juga orangtuamu." Kiandra diam. Dia pernah melihatnya dalam mimpi. Kesendirian yang menyakitkan. Hatinya terasa sakit, pada tubuhnya tidak terluka. Dia tidak ingin melihat kedua orangtuanya mati. Apalagi di tangannya sendiri. "Aku akan menjadi umpan," kata Kiandra lirih. Nyaris tanpa terdengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD